Tuesday 22 May 2012

Foto Human Interest


Oleh ATOK SUGIARTO

Manusia dengan segala aspek kehidupan yang dilakukannya memang selalu menarik untuk suatu objek pemotretan. Kemenarikan yang tidak hanya karena kemudahan menemukannya itu lebih sering dipicu oleh apa yang dilakukannya, yang terasa menyentuh. Baik itu aktivitas dalam suatu adat budaya suatu masyarakat tertentu maupun aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, yang sering terasa biasa bagi mata orang awam tetapi menarik bagi mata seorang pemotret.

Bagi pemotret yang terbiasa mengamati masalah-masalah sosial atau mungkin juga bila dia adalah seorang wartawan foto yang selalu menempatkan diri sebagai pengamat, maka aktivitas manusia baik itu dalam lingkup budaya maupun dalam lingkup kehidupan sehari-hari tak akan terlalu sulit dilakukan.

Untuk memotret human interest manusia dan aktivitasnya, kebanyakan pemotret menggunakan teknik candid atau cara memotret yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi sehingga objek tidak tahu jika dirinya sedang dipotret. Hal tersebut lebih karena alasan untuk menghasilkan foto yang tampak baik dan menarik, spontan dan wajar. Namun, keengganan pemotret untuk melakukan pendekatan mengenal objeknya atau mungkin juga karena perasaan malu, merupakan alasan lain yang sering menjadi penyebab.

Akan tetapi, apa pun alasannya, memotret dengan cara candid memang sering digunakan, khususnya oleh para wartawan foto, karena memang merupakan cara yang efektif, baik dan cepat, guna mendapatkan foto yang tampak wajar. Di media cetak, foto-foto yang mengandung berita, yang mengesankan kewajaran dan objeknya dalam beraktivitas tampak betul-betul asli, biasanya dihargai sebagai sebuah karya yang memiliki nilai lebih tersendiri.

Namun demikian bila foto human interest tidak dimaksud untuk menjadi suatu laporan berita foto, maka foto itu bisa saja dibuat dengan menggunakan cara pendekatan pada objeknya. Hal seperti itu biasanya masih lagi ditambah dengan mengatur berbagai kemungkinan yang dapat dilakukan khususnya berkaitan dengan penyinaran agar dihasilkan foto yang betul-betul baik serta indah dan menyentuh.

Pendekatan langsung pada objek dengan memintanya melakukan aktivitasnya memang terasa lebih baik dan etis, terlebih bila objek mau melakukannya dengan senang hati. Hal seperti itu akan memberi keleluasaan dalam mengatur pose, penyinaran atau latar belakangnya. Akan tetapi kelemahan dalam melakukan cara ini akan muncul bila pemotret tidak betul-betul dapat mengatasi keadaan atau mendramatisir situasinya. Foto yang akan dihasilkan akan tampak kaku, tidak wajar dan kurang kuat dari segi ekspresinya. Sebab, meskipun objek tidak melihat langsung ke arah kamera, dia sesungguhnya telah tahu sedang dipotret. Untuk mengatasinya, pemotret harus mampu menjadikan objeknya seolah betul-betul tidak sedang berhadapan dengan kamera.

Persiapan
Untuk dapat menghasilkan foto human interest yang baik, menarik dan tentu saja indah meski mampu menyentuh perasaan, secara teknis dapat dilakukan dengan mengawalinya terlebih dahulu dengan persiapan. Dan persiapan itu bisa saja dilakukan dengan terlebih dahulu memilih kamera serta lensa yang akan digunakan.

Sebuah kamera berfasilitas motor winder dengan lensa zoom 80-200 mm atau 75-300 mm adalah kombinasi yang cukup baik, karena menjadikan pemotret dapat melakukan pemotretan dari jarak sedang. Akan tetapi bila memungkinkan menggunakan lebih dari satu buah kamera dengan tambahan lensa 28-85 mm, akan lebih baik. Sehingga dari hampir semua jarak dalam pemotretan, baik itu dekat, sedang dan jauh, dapat tercover semua bila diperlukan.

Untuk merekam kehidupan manusia sehari-hari, dengan lensa 28-82 mm pun terasa sudah cukup dapat memenuhi keinginan untuk menghasilkan foto human interest yang baik, khususnya bila pemotret mampu melakukan pendekatan pada objeknya dan memiliki kepekaan yang baik serta cermat mengamati keadaan sekeliling.

Setelah persiapan kamera dan lensanya cukup memadai untuk suatu keperluan memotret human interest yang umumnya dilakukan di luar ruang, perlu pula disiapkan film yang akan digunakan. Dalam hal ini film dengan kepekaan atau ISO 100 sudah cukup memadai untuk menangkap aktivitas manusia dan lingkungannya atau kegiatan sehari-hari yang terjadi pada pagi, siang hingga sore hari di luar ruangan. Akan tetapi bila aktivitas manusia itu sangat berhubungan erat dengan gerak yang cepat, misalnya suatu atraksi kebudayaan, dan pemotret berkeinginan menangkap gerakan-gerakan tersebut, maka perlu disiapkan atau digunakan film yang mampu untuk membekukan gerakan-gerakan tersebut. Yaitu film ber-ISO tinggi misalnya ISO 400. Tujuannya tak lain agar gambar atau peristiwanya dapat terekam dengan baik dan tidak goyang.

Bagi yang menggunakan film jenis slide, persoalan ISO film seolah tak menjadi masalah. Sebab dengan slide ISO 100, bila memang diperlukan masih dapat di-push beberapa stop, misalnya sampai ISO 400 atau ISO 800 dengan kualitas yang cukup baik. Demikian pula dengan menggunakan film hitam-putih, karena juga dapat di-push dengan baik. Bahkan kelebihan dengan film hitam-putih, karena hasilnya terasa lebih dramatis dan menyentuh terutama untuk foto human interest.

Untuk suatu keperluan, kadang memotret human interest juga memerlukan aksesori demi mendramatisasi keadaan. Karena itu sesekali juga perlu membawa filter, seperti filter polarisasi (PL) yang baik digunakan untuk membirukan langit dan mengurangi refleksi serta beberapa filter koreksi warna untuk mengubah warna. Misalnya filter 81B yang berguna untuk menghangatkan.

Bila pemotretan dilakukan pada waktu hari menjelang malam, atau mungkin juga pada malam hari, maka lampu kilat yang menjadi tumpuan satu-satunya untuk dapat memotret juga perlu disiapkan. Lampu kilat dengan jenis TTL adalah lampu kilat yang sangat menguntungkan dalam perburuan foto human interest.


Beberapa Tip
Bagi saya pribadi, sesuai dengan pekerjaan sebagai wartawan foto, maka memotret human interest lebih sering dilakukan dengan teknik candid. Hal ini tentu karena satu alasan prinsip berkaitan foto berita yang cenderung menampilkan foto yang apa adanya. Tapi dengan teknik itu, seseorang perlu kemampuan untuk bekerja cermat, tangkas dan refleks. Akibatnya pemotret perlu melatih diri tentang cara menggunakan kamera dan lensanya serta mampu untuk jeli mengamati kejadian-kejadian seputar manusia khususnya yang mengandung unsur berita.

Meskipun demikian, pada saat-saat tertentu, memotret human interest juga sering saya lakukan dengan model pendekatan. Namun hal ini terjadi lebih karena lensa yang saya gunakan memaksa saya untuk memotret dari jarak dekat. Kelemahan dari cara pemotretan seperti ini, objek yang dipotret sering tampak kurang wajar atau kaku. Akan tetapi, semua dapat diatasi dengan cara menyatu terlebih dahulu dengan lingkungan atau objek. Bila kehadiran kita sudah dirasa tidak mengganggu dan telah dapat menyatu dengan objek, baru dilakukan pemotretan. Menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada sebelum melakukan pemotretan, terutama bila berkaitan dengan manusia serta aktivitasnya dalam kehidupan kelas menengah ke bawah, sering saya lakukan.

Pada banyak kejadian foto human interest memang saya buat dengan menggunakan lensa zoom 80-200 mm. Tetapi ini bukan berarti lensa lain tidak andal untuk mendapatkan foto human interest. Lensa apa pun di bawah 80-200 mm dapat saja digunakan untuk menghasilkan foto sejenis itu yang baik. Kuncinya hanya pada masalah pendekatan atau kemampuan pemotret dalam mencairkan suatu suasana, sehingga apa yang dilakukan objek menjadi tampak wajar.

Selain itu, lensa yang lebih panjang dari 80-200 mm, misalnya lensa 300 mm juga bukannya tak dapat digunakan. Tapi dengan menggunakan lensa tele yang panjang sekali, akan lebih merepotkan pemotret dalam membawanya. Lensa panjang seperti itu sesekali baik untuk digunakan terutama bila objeknya berada jauh atau tidak mudah didekati.

Keberhasilan memotret human interest memang tidak hanya berkisar pada penggunaan kamera maupun lensa saja. Pilihan sudut pandang atau sudut pengambilan foto yang tepat dan baik juga turut menentukan keberhasilan pemotretan. Dengan kata lain, keberhasilan sebuah pemotretan sangat berkaitan erat dengan hal-hal di luar teknis pemotretan. Akan tetapi jika hanya dengan mengandalkan hal teknis saja Anda mungkin sudah dapat menghasilkan foto human interest yang baik, maka itu adalah sebuah pengecualiaan. Anda tergolong pemotret yang beruntung.

DALAM fotografi, memotret benda mati dan memotret manusia memang jauh benar bedanya. Yang pertama membutuhkan pendekatan keindahan visual, sedangkan yang kedua membutuhkan pendekatan personal untuk menggali subyek.

Bagi Aryono yang menggeluti kedua-duanya, inti kedua pendekatan adalah sama, yaitu "pendekatan kawan".

"Dalam memotret gedung, kita mendekati pemiliknya. Dalam memotret orang, kita harus berkawan dengan dia untuk menghasilkan foto yang baik. Sama saja. Kita harus berkawan dulu," katanya setelah "dipaksa" berteori.

Salah satu contoh "pendekatan kawan" yang dilakukan Aryono adalah saat dia memotret anak-anak sekolah dasar (SD) untuk poster wajib belajar. Anak-anak SD di sebuah kota kecil itu masih belum terbiasa dengan kamera. Maka, ekspresi mereka sangatlah kaku.

Maka, setelah mengatur posisi mereka, Aryono lalu melontarkan pertanyaan," Satu tambah satu sama dengan sem...............bilan...."

Tentu saja anak-anak SD itu tertawa karena ada "matematika sederhana seburuk itu". Saat mereka tertawa, kamera Aryono lalu bekerja. Jadilah foto anak SD dengan ekspresi yang ceria dan wajar.

Lalu, untuk memotret "orang-orang tinggi", Aryono melakukan pendekatan personal cukup lama sampai orang- orang itu sungguh-sungguh jadi teman. Banyak orang heran bagaimana Aryono bisa memotret Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra seperti itu. Bagaimana seorang Yusril bisa begitu menurut "diapa- apakan" Aryono di bawah terik matahari.

"Dengan pendekatan kawan, semua hal bisa diatasi," kata Aryono yakin.

Foto human interest berkaitan dengan manusia dan kemanusiaan, karena itu sebagai manusia tentu kita akan dengan mudah mengerti dan menghayati segala aktivitas yang dilakukan seseorang secara wajar, dramatis, utuh dan menyentuh.*