This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday 3 October 2013

Sedulur Papat Limo pancer : Empat Malaikat Penjaga Manusia

Siang dan malam keempat pendekar gaib ini setia menunggu kita. Saat genting dan bahaya, dia menyeret kita ke tempat yang aman. Saudara penjaga gaib ini bukan jin bukan pula gendruwo.
Semakin lama belajar ajaran-ajaran leluhur Jawa, kita akan semakin terkagum-kagum pada para nenek moyang. Ilmu yang mereka ajarkan tidak bertentangan dengan agama, bahkan sesuai dan memperkaya pemahaman agama yang kita anut.

Sayangnya banyak yang masih memandang sebelah mata ajaran para leluhur Jawa ini. Bahkan ada yang menuduhnya sebagai syirik, khurofat dan takhayul. Para penuduh ini mungkin lupa, bahwa ajaran Jawa disampaikan secara sederhana agar mudah dipahami orang Jawa. Memang, para leluhur kita kadang tidak fasih melafalkan kata-kata Arab. Para leluhur ini juga orang yang masih gagap iptek. Namun, jangan salah sangka dulu.

Dari segi kebijaksanaan, ngelmu batin dan olah rasa para nenek moyang kita dulu bisa diandalkan. Mereka adalah para waskita yang mampu membangun candi Borobudur, Prambanan dan mampu membuat sebuah bangunan dengan ketepatan geometris dan geologis. Tidak kalah oleh nenek moyang bangsa Mesir yang mampu membangun piramida, atau nenek moyang suku Inca, bangsa Peru yang bisa membangun Manchu Picchu.

Saat agama Islam masuk ke nusantara, sementara di Jawa saat itu sudah berkembang agama Hindu, Budha dan berbagai kepercayaan animisme, dinamisme, politeisme. Islam melebur secara pelan dan damai, berasimilasi serta berosmosis tanpa pertumpahan darah. Islam agama damai dan tidak memaksa. Orang Jawa bersifat pasrah, sumeleh, sumarah, ikhlas dan mengandalkan rasa pangrasa. Jadi? Klop sudah!

Bagi orang Jawa, masuknya Agama Islam yang kaya dengan aspek kebatinan (tasawuf) sangatlah tepat. Orang Jawa pun tidak kebingungan dengan ajaran-ajaran mistik yang ada di dalamnya. Namun orang Jawa berhasil menyederhanakan ajaran-ajaran mistik ini dengan terminologi dan kalimat-kalimat sederhana dan mudah dimengerti. Harap maklum saja, orang Jawa dulu mayoritas hidup di pedesaan yang sederhana dan tidak banyak berwacana ilmiah.

Salah satu ajaran Kejawen yang membahas tentang adanya malaikat pendamping hidup manusia adalah SEDULUR PAPAT LIMO PANCER. Pancer adalah tonggak hidup manusia yaitu dirinya sendiri. Diri kita dikelilingi oleh empat makhluk gaib yang tidak kasat mata (metafisik). Mereka adalah saudara yang setia menemani hidup kita. Mulai dilahirkan di dunia hingga kita nanti meninggal dunia menuju alam barzakh (alam kelanggengan).

Sebelum hadirnya agama Islam, orang Jawa tidak memahami konsep malaikat. Maka mereka menyebut malaikat penjaga manusia dengan sedulur papat. Konsep “sedulur papat” ini oleh orang Jawa ditamsilkan melalui sebuah pengamatan/niteni.

Mulai saat janin tumbuh di perut ibu, janin dilindungi di dalam rahim oleh ketuban. Selanjutnya adalah ari-ari, darah dan pusar. Itulah saudara manusia sejak awal dia hidup dan selanjutnya “empat saudara” ini kemudian dikubur. Namun orang Jawa Percaya bahwa “empat saudara” ini tetap menemani diri manusia hingga ke liang lahat.

Karena Air Ketuban adalah yang pertama kali keluar saat ibu melahirkan, orang Jawa menyebutnya SAUDARA TUA. Saudara ini melindungi jasad fisik dari bahaya. Maka ia adalah SANG PELINDUNG FISIK.

Selanjutnya yang lebih MUDA adalah ari-ari, tembuni atau plasenta. Pembungkus janin dalam rahim. Ia melingkupi tindakan janin dalam rahim yang kemudian mengantarkan kita ke tujuan. Maka ia adalah SANG PENGANTAR.

Saudara kita selanjutnya adalah DARAH. Darah ini membantu janin kecil untuk tumbuh berkembang menjadi bayi lengkap. Darah adalah SARANA DAN WAHANA IRADAT-NYA pada manusia. Darah bisa disebut nyawa bagi janin. Maka, darah disebut dengan PEMBANTU SETIA MANUSIA MENEMUKAN JATI DIRINYA SEBAGAI HAMBA TUHAN, CERMIN TUHAN (Imago Dei).

Saudara gaib kita terakhir adalah pusar. Menurut pemahaman Kejawen, pusar adalah NABI. Pusar secara biologis adalah tali yang menghubungkan perut bayi dalam rahim dan ari-ari. Pusar mendistribusikan makanan yang dikonsumsi ibu ke bayi. Pusar dengan demikian MENDISTRIBUSIKAN WAHYU “IBU” MANUSIA yaitu Gusti Allah SWT kepada diri kita.

Keempat saudara gaib ini sesungguhnya adalah EMPAT MALAIKAT PENJAGA manusia. Yang berada di kanan-kiri, depan-belakang kita. Maka, tidak salah bila Anda menyapa dan bersahabat akrab dengan mereka. Secara gaib, Tuhan mmeberikan pengajaran tidak langsung kepada hati kita. Namun melalui mereka pengajaran itu disampaikan.

Keempat penjaga (malaikat) itu adalah:
JIBRIL (Penerus informasi Tuhan untuk kita),
IZRAFIL (Pembaca Buku Rencana Tuhan untuk kita),
MIKAIL (Pembagi Rezeki untuk kita) dan
IZRAIL (Penunggu berakhirnya nyawa untuk kita).
Keempat malaikat itu oleh orang Jawa dianggap sebagai SEDULUR karib hidup manusia. Bila kita paham bahwa perjalanan hidup untuk bertemu dengan Tuhan hakikatnya adalah perjalanan menuju “ke dalam” bukan “ke luar”. Perjalanan menembus langit ketujuh hakikatnya adalah perjalanan “diri palsu” menuju “diri sejati” dan menemukan SANG AKU SEJATI, YAITU DIRI PRIBADI/ TUHAN.

Untuk menemukan SANG AKU SEJATI (limo pancer) itulah kita ditemani oleh EMPAT SAUDARA GAIB/MALAIKAT PENUNGGU (sedulur papat). Lantas dimana mereka sekarang? Mereka sekarang sedang mengawasi Anda. Berdzikir mengagungkan asma-Nya. Kita bisa menjadikan mereka sedulur paling akrab bila paham bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka. Caranya? Pejamkan mata, matikan seluruh aktivitas listrik di otak kiri dan kanan dan hidupkan sang AKU SEJATI yang ada di dalam diri Anda. Ya, hanya diri sendirilah yang mampu untuk berkomunikasi dengan para sedulur gaib nan setia ini.
Bagaimana tidak setia, bila kemanapun kita berada disitu keempatnya berada. Bila kita berjalan, mereka terbang. Bila jasad kita tidur, mereka akan tetap melek ngobrol dengan ruh kita. Maka, saat bangun tidur di siang hari pikiran kita akan merasa fresh sebab ruh kita akan kembali menjejerkan diri kita dengan iradat-Nya. Sayang, saat waktu beranjak siang polusi nafsu/ego lebih dominan sehingga kebeningan akal pikiran semakin tenggelam.

Bagaimana agar hidup kita selalu ingat oleh kehadiran sedulur papat ini yang setia menjaga kita? Sunan Kalijaga memiliki kidung bagus:

Ana kidung akadang premati
Among tuwuh ing kuwasanira
Nganakaken saciptane
Kakang kawah puniku
Kang rumeksa ing awak mami
Anekakaken sedya
Pan kuwasanipun adhi ari-ari ika
Kang mayungi ing laku kuwasaneki
Anekaken pangarah
Ponang getih ing rahina wengi
Angrowangi Allah kang kuwasa
Andadekaken karsane
Puser kuwasanipun
Nguyu uyu sambawa mami
Nuruti ing panedha
Kuwasanireku
Jangkep kadang ingsun papat
Kalimane pancer wus dadi sawiji
Nunggal sawujudingwang

(Ada nyanyian tentang saudara kita yang merawat dengan hati-hati. Memelihara berdasarkan kekuasaannya. Apa yang dicipta terwujud. Ketuban itu menjaga badan saya. Menyampaikan kehendak dengan kuasanya. Adik ari-ari tersebut memayungi perilaku berdasar arahannya.
Darah siang malam membantu Allah Yang Kuasa. Mewujudkan kehendak-Nya. Pusar kekuasaannya memberi perhatian dengan kesungguhan untuk saya. Memenuhi permintaan saya. Maka, lengkaplah empat saudara itu. Kelimanya seagai pusat sudah jadi satu. Manunggal dalam perwujudan saya saat ini)

Ajaran Seks Budaya Jawa dalam Serat Nitimani

Ajaran Seks (Hubungan Seksual) Budaya Jawa dalam Serat Nitimani

Dalam budaya Jawa diajarkan bahwa untuk menghasilkan sesuatu yang baik maka proses awal penciptaan juga harus baik dan dengan restu Tuhan sebagai Sang Maha pencipta. Demikian pula dengan proses hubungan seksual yang tujuan utamanya adalah menghasilkan keturunan. Untuk mendapatkan keturunan yang baik dalam segala hal, kehadirannya di sunia ini haruslah melalui niat awal yang baik serta proses hubungan seksual yang benar dan tepat. Untuk dapat berhubungan seksual dengan baik maka dibutuhkan pengetahuan mengenai segala hal tentang seks. Pengetahuan mengenai hubungan seksual sangat dibutuhkan karena akan berhubungan dengan kehidupan selanjutnya. Jika prosesnya sudah salah, maka akibat yang ditimbulkan akan buruk, bukan hanya bagi anak yang dihasilkan tetapi bagi keseimbangan serta keselarasan kehidupan ini. Kesalahan dalam proses berhubungan seksual dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah kama salah. Maka untuk mencegah terjadinya kama salah manusia harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai tata cara hubungan seksual.

Dengan pengetahuan yang memadai maka diharapkan orang dapat berpikir lebih jauh mengenai hubungan seksual sehingga tidak melakukannya dengan sembarangan karena akibatnya sangat fatal bagi keberlangsungan hidup umat manusia dan keselarahan hubungannya dengan alam sekitar tempat manusia hidup. Akibat yang fatal tersebut muncul pada keadaan masyarakat sekarang dimana banyak orang mulai melakukan hubungan seks tanpa mengindahkan norma serta etika yang berakibat pada munculya masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat sepeti pemerkosaan, semakin banyak anak-anak terlantar hingga terjadinya peningkatan kriminalitas.
Dalam kasanah budaya Jawa terdapat ajaran atau pedoman moral, nilai dan kaidah bagaimana cara melakukan hubungan seks yang benar dan tepat, sebagaimana  dalam Serat Nitimani berikut cuplikan-cuplikan yang berkaitan dengan Ajaran dimaksud :

Lamun tandhing, marsudya ing tyas ening, namrih ering, kang supadi tan kajungking. (pupuh 2)
Apabila sedang bertanding, usahakanlah hati tetap hening, agar konsentrasi tetap terjaga, supaya tidak terkalahkan.
Yang dimaksud dengan “bertanding” dalam hal ini adalah analogi dari persetubuhan.

Yen sembrana, den prayitna sampun lena, lamun ina, sayek amanggih weda. (pupuh 2)
Apabila ceroboh, waspadalah jangan sampai lengah, sungguh sangat menyakitkan.
Kata ceroboh maksudnya adalah dalam konteks persetubuhan agar tetap waspada di dalam melakukan hubungan seksual sehingga tidak mengalami hal-hal yang tidak diharapkan.

Lamun cuwa, sampun kawiscareng netya, wrananana, ing suka dhanganing karsa, kang supadya, datan manggih dirgama. (pupuh 2)
Apabila tidak puas, janganlah terlihat di wajah, tutupilah, dengan wajah yang ceria, agar supaya, tidak mendapat kesulitan.
Tidak puas yang dimaksud disini, masih dalam konteks hubungan seksual yaitu keadaan dimana salah satu pihak belum mencapai titik kepuasan atau orgasme.

Lamun gela, jroning nala sampu daga, sengadiya, langkung condong ing wardaya, pamrihira, kang pinanduk tan legawa. (pupuh 2)
Apabila kecewa, janganlah membrontak dalam hati, niatilah, untuk lebih berlapang dada, dengan harapan, agar ketidakpuasan tidak berlarut-larut.
Kecewa dalam ungkapan ini masih dalam konteks hubungan seksual dan tidak mencapai kepuasan.

Lamun lingsem, ing gunem aja katingkem, lamun amem, yekti katara ing klecem. (pupuh 2)
Apabila terjerat rasa malu, janganlah membisu, karena bila berdiam diri, niscaya akan terlihat di wajah.
Ketika seorang laki-laki mengalami kegagalan di dalam berhubungan seksual karena hal-hal tertentu, maka disitulah dia akan merasa sangat malu.

Lamun harda, sampun dadra murang krama, mrih widada, pakartine kang utama. (pupuh 2)
Apa bila punya keinginan, janganlah lepas kendali menerjang etika, agar selamat, utamakanlah sikap luhur.
Keinginan maksudnya adalah dalam hal ingin melakukan hubungan seksual maka jangan sampai lepas kendali, harus tetap memperhatikan etika.

Yen anglaras, penggagas aja sampun kabrangas, dimen awas, ing pamawas datan tiwas. (pupuh 2)
Jika sedang menikmati sesuatu, janganlah kesadaran terlena, agar tetap siaga, kewaspadaan tak akan tiwas.
Maksudnya adalah jika sedang berada dalam kenikmatan berhubungan seksual, kewaspadaan dan kesadaran diri haruslah tetap dijaga, supaya tidak menemui tiwas atau maut.

Yen cecegah, den betah gonira ngampah, nganggah-anggah, yeku pakarti luamah. (pupuh 2)
Selama mengendalikan diri, bersabarlah menahan hawa nafsu, lepas diri tanpa kendali, merupakan prilaku serakah.
Orang harus belajar mengendalikan nafsunya (nafsu dalam konteks ini adalah nafsu birahi) agar tidak kelepasan sehingga menyebabkan sesuatu yang tidak baik.

Wanita punika, upami papan badhe pandhedhering wiji, saestunipun kedah milih ingkang prayogi. (pupuh 3)
Peranan wanita itu ibarat lahan untuk menabur benih, sehingga haruslah memilih lahan yang bagus.
Dalam melakukan hubungan seksual, maka haruslah dicamkam bahwa hasil dari perbuatan itu adalah adanya seuatu mahkluk baru sehingga tidak boleh dilakukan sembarangan dan pasanganyapun harus dipilih baik-baik.

Para sujanma priya yen badhe amilih dhateng wanodya, kaagem pantesing pala krami, anyeplesana dhateng suraosing tetembungan tiga : bobot, bebet, bibit. (pupuh 3)
Kaum Pria yang bermaksud memilih sorang wanita untuk dinikahi, hendaknya memperhatikan tiga hal : bobot, bebet, bibit.
Untuk mempersiapkan keturunan yang baik, maka harus juga dicari pasangan (wanita) yang baik dan memenuhi criteria-kriteria tertentu. Dalam budaya Jawa, ada tiga hal paling penting yang harus diperhatikan yaitu ; bibit, bebet, dan bobot.

Ingkang rumiyin tembung bobot, pikajengipun amiliha wanita ingkang asli. (pupuh 3)
Pertama kata bobot, maksudnya pilihlah wanita sejati.

Wanita, ingkang badhe kapendhet wau amiliha darah ing supudya…. (pupuh 3)
Wanita yang kita pilih hendaklah seorang wanita yang memiliki garis keturunan orang-orang terpilih…..

…. Pramila anitik sarasilah darajatin bapa, ing sapanginggil, gerbanipun, sinten manungsa ingkang winahyu, sayekti awit saking rahayuning batos, dene rahayuning batos punika terkadang kapinujon, asring pinareng tumus mahanani dhateng wewatekaning atmajanipun. (pupuh 3)
…. sehingga cara paling mudah ditempuh adalah dengan melihat garis silsilah leluhur sang ayah, karena wahyu cenderung jatuh pada orang-orang yang memiliki keseimbangan batin, dan keseimbangan olah batin tersebut biasanya mampu menurun pada sang anak.

Ing sapunika kula dumugekaken tembung bibit, pikajengipun, tumrap dhateng wanita ingkang badhe kapendet wau, amiliha ingkang sae warninipun saha ingkang kathah kasagedanipun. (pupuh 3)
Sekarang sampai pada istilah bibit, maksudnya, wanita yang akan dipilih, hendaklah yang rupawan sekaligus memiliki banyak ketrampilan.

…. Kadosta manising ulat, indah ayuning warni, dhemes prigeling solah, punika among kangge minangka sarana amemalat dhateng thukuling sesenenganipun para priya, pramila lajeng wonten pralambang tembung paribasan : “bebukaning pala krami dudu banda dudu rupa amung ati pawitane”, tegesipun dudu banda punika sanes kasugihanipun raja brana, dudu rupa tegesipun sanes ayu indahing warni, ingkang binasdakaken condong utawi jodho. (pupuh 3)
…. kecancitan fisik seringkali hanya didudukkan sebagai wahana kepuasan kaum laki-laki, oleh karena itu ada peribahasa : “bebukaning pala krami dudu banda dudu rupa amung ati pawitane”, (permulaan pernikahan bukan harta benda dan rupa, hanyalah hati sebagai titik awal keberangkatan). Yang dimaksud bukan harta adalah bukan kekayaan, sedangkan bukan rupa adalah bukan kecantikan wajah, yang kemudian disebut sebagai jodoh.
Untuk mengesahkan suatu hubungan seksual, maka pasangan haruslah melewati tahap pernikahan. Pernikahan tersebut menyatukan dua pribadi yaitu laki-laki dan wanita dalam ikatan yang abadi. Supaya tidak mengalami penyesalan, maka pernikahan haruslah didasari dengan hati sesuai dengan peribahasa tersebut, meskipun ada faktor-faktor lain yang juga harus menjadi bahan pertimbangan.

Punika amung dumunung wonten seneng parenging panggalih, runtut utawi rujuk kalih-kalihipun, temahan sami angrumentah ing bapak kaliyan anak, dene panganggepe bapa binasakaken kencana wingka, pikajengipun tembung makaten wau tur kawujudanipun warni wingka, katon warni kencana. (pupuh 3)
Hal itu  hanyalah terdapat pada kecocokan hati, kesesuaian dan keharmonisan antara keduanya, hingga kemudian menumbuhkan kasih sayang antara ayah dan anak, sayang ayah lantas mengiaskan sebagai kencana wingka, maksud dari ungkapan tersebut adalah meskipun kenyataan wujudnya berupa wingka (loyang) namun tampak seperti kencana (emas).
Dalam memandang pasangan hidupnya, perlulah diingat ungkapan kencana wingka. Walaupun wujudnya hanyalah loyang, akan tetapi tampak seperti emas. Jadi meskipun pasangan hidup tidaklah mempunyai rupa yang sempurna, akan tetapi haruslah bisa dilihat kecantikan yang terpencar dari hatinya.

Pala krami punika terang yen gumantung wonten ing kasenenganing priya pyambak-piyambak, dene kasenengan wau boten kenging katemtokaken, liripun makaten kadosta indah ayuning warna boten temtu ndadosaken kasenenganing priya. (pupuh 3)
Perkawinan itu hanyalah berdasarkan kesenangan pribadi kaum lelaki masing-masing, sedangkan rasa sukanya tidak dapat ditentukan, artinya kecantikan wajah ternyata belum tentu menimbulkan rasa cinta kaum priya.
Perkawinan merupakan atau ikatan yang sakral, sehingga untuk melaksanakannya harus dicari pasangan yang benar-benar tepat. Artinya, tidak bisa dilihat hanya dari fisiknya saja.

Supados angatos-atos ing pamilihipun, karana menggah dununging wanita punika tumrapipun dhateng priya, binasakaken amung, swarga nunut liripun makaten yen pinuju saged mimbuhi dhateng seneng tuwin asringing prajanipun, yen pinuju lepat ing pamililipun mangka angsal wanita ingkang ambeg durta, tegesipun pawestri ingkang awon kelakuwanipun punika badhe saged narik damel sangsaraning priya. (pupuh 3)
Berhati-hatilah dalam memilih, sebab kedudukan wanita bagi kaum priya diibaratkan swarga nunut maksudnya adalah tatkala hidupnya diliputi kebahagian, posisi wanita seolah hanya sebagai pelengkap hiasan kebahagiaan tersebut, sedangkan bila sang priya salah memilih, artinya  wanita yang didapat bukan tergolong wanita baik, maka akan menimbulkan kesengsaraan bagi si pria itu sendiri.
Bagian ini adalah sikap manusia Jawa dalam hal kedudukan wanita bagi kaum pria dalam hal rumah tangga (termasuk didalamnya urusan hubungan seksual) yaitu diibaratkat swarga nunut neraka katut yaitu jika suami memberikan hal-hal yang baik maka sang wanita juga pasti akan menikmati segala hal yang baik juga.

Pramila saderengipun kapendhet garwa sasaged-saged kapratitisna ing pamilihipun, awit bilih sampun kalajeng rumentah ing sih kawelasan tuwin katresnan, saestu awrat ing pambiratipun, temahan badhe ngengetaken dhateng tumempuhing kasangsaran. (pupuh 3)
Oleh karena itu sebelum menentukan pilihan terhadap pasangan hidup hendaklah berhati-hati dalam memilih, karena bila terlanjur maka cukup sulit mengatasinya, akhirnya malah sering menimbulkan ketidakbahagiaan.
Jika ingin berhubungan seksual, alangkah baiknya jika pasangan sudah terikat dalam ikatan pernikahan, dan karena sifatnya yang sakral maka diharapkan jangan sampai salah memilih serta berhati-hatilah karena dampaknya sangat besar bagi kelanjutan kehidupan.

…. wanodya ingkang indah ing warni, sarta pantes ing solah bawa lan ambeg tepa ing rasa, tuwin dana ing tepa utawi ingkang temen tobatipun rila dhateng ing atasing kasaenan, sabab kalakuwaning wanodya ingkang mekaten wau watak lajeng kasaenan sarta kinurmatan ingkang kakung, awit pambekaning wanita ingkang makaten punika angrabasa dhateng bedudhening priya ingkang lajeng saged nukulaken dumateng rumentahing kawelasan tuwin katresnan. (pupuh 3)
…. wanita yang cantik baik lahir maupun batin, wanita yang demikianlah yang dihormati oleh setiap laki-laki. Seorang wanita dengan modal kecantikan lahir batin sesungguhnya akan mampu meruntuhkan dinding hati laki-laki yang ada di hadapannya akan bertekuk lutut menyerahkan segenap cinta dan kasih sayangnya.
Buadaya Jawa memandang tinggi posisi wanita. Ada suatu sikap dalam hal memandang soerang wanita yaitu dari kecantikannya, bukan hanya dari segi fisik tetapi juga dari kecantikan hatinya (cantik lahir dan batin), dan wanita yang memiliki kecantikan lahir dan batin itulah yang menjadi istri dambaan setiap pria untuk menjadi pasangan hidupnya.

Tepa ing rasa (rasa tepa) punika pikajengipun sageda sumingkir saking lumuh tuwin rikuh ing liyan, sabab yen boten kadunungan tepa ing rasa (rasa tepa) wau sok ngawontenaken watak iren tuwin meren, ingkang pandukipun lajeng direngki. (pupuh 3)
Tepa ing rasa maksudnya mampu menghindarkan diri dari sikap benci terhadap orang lain, karena jika tidak memiliki sifat tersebut terkadang menimbulkan watak iri yang ujungnya adalah kedengkian.
Dalam konteks pengajaran mengenai seks, hal yang paling penling utama untuk diperhatikan adalah bagaimana cara memilih qwanita yang baik agar kehidupan rumag tangga beserta seluruh aspek didalamnya dapat berjalan dengan lancar. Oleh sebab itu ada beberapa ciri-ciri wanita yang ideal sebagai pasangan agar tujuan hidupnya dapat tercapai.

Dana ing tepa, punika pikajengipun sageda sumingkir saking panyaru tuwin panyikuning liyan, sabab yen boten kadunungan dana ing tepa wau, asring ngawontenaken watak : dahwen tuwin salah open ingkang pandukipun lajeng dados srei. (pupuh 3)
Dana ing tepa, artinya mampu menjauhkan diri dari hasrat menyakiti serta menyengsarakan orang lain, sebab bila tidak memiliki sifat tersebut, cenderung memunculkan watak serakah yang akhirnya menjelma menjadi jahat.

Temen tobatipun rila, punika pikajengipun tobat ingkang kalebetan temen lan rila. Pramila pikantukipun pawestri ingkang makaten wau lajeng kinurmatan ing kakung. (pupuh 3)
Temen tobatipun rila, artinya taubat yang dilandasi kesungguhan dan keikhlasan, sehingga seorang wanita yang mampu bersikap demikian akan disegani oleh setiap laki-laki.

Samangke pamuji kula malih mugi sageda angsal wanodya ingkang kadunungan watek : sama, beda, dana, denda. Tembung sama tegesipun pada, pikajengipun gadhahana  wewatek asih dhateng sakehing dumadi. Beda tegesipun seje, geseh utawi milah, pikajengipun anggadhahana watek kulina sarta saged animbang, inggih punika putusing tepa. Dana tegesipun neganjar, pikajengipun gadhahana watek remen asung kasenengan tuwin kabungahan dahteng sakehing dumadi. Denda tegesipun kukum, pikajengipun gadhaha watek putus lan patitis, pamiyak tuwin milih nalar ingkang awon utawi dhateng ingkang sae, anggenipun ngempan utawi mapanaken. (pupuh 3)
Berikutnya harapan saya semoga anda mendapatkan wanita yang di dalam dirinya terdapat sifat-sifat sama, beda, dana, denda. Kata sama, berarti merasa sama, maksudnya memiliki rasa sayang pada sesama mahkluk. Kata bedha, berarti tidak sama, maksudnya memiliki sifat mengutamakan pertimbangan sebagai wujud kearifan. Kata dana berarti memberi imbalan, maksudnya hendaklah memiliki sifat mudah memberi kepada sesama. Kata dendha, berarti hukum, maksudnya memiliki sifat teliti dalam menentukan sesuatu sehingga tepat memilih mana yang baik dan yang buruk.
Dalam Budaya Jawa wanita dianggap sebagai “wadah” dari benih yang akan ditanam oleh laki-laki dan karena itu maka haruslah dicari wanita yang terbaik. Selain dari tiga faktor utama (bibit, bebet, bobot), seorang wanita yang baik juga harus memiliki sifat-sifat tertentu.

Ingkang kaping kalih kala wau sageda uninga panduking guna, busana, baksana lan sasana wewijanganipun makaten :
  1. Guna tegesipun pangawikan utawi kapinteran, pikajengipun sageda sumerep lan mangretos dhateng wewenang lan wajibing lan pandamelaning pawestri.
  2. Busana, tegesipun pangangge, pikajengipun sageda uninga lan ngetrapaken dhateng raja tadi darbekipun ingkang pancen kasandhang.
  3. Baksana tegesipun pangan, pikajengipung sageda uninga lan nandukaken ubet kekayaning laki ingkang pancen katedha.
  4. Sasana, tegesipun dunung utawi panggenan, pikajengipun sageda uninga tuwin memantes lan memangun anggenipun gegriya. (pupuh 3)
Yang kedua, hendaklah memiliki kepekaan terhadap guna, busana, baksana, dan sasana. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
  1. Guna berarti ketrampilan atau kepandaian maksudnya adalah tanggap terhadap tugas dan wewenang sebagai seorang istri.
  2. Busana berarti seorang wanita haruslah memiliki kepekaan terhadap penampilan serta pakaian miliknya secara proporsional.
  3. Baksana berati pangan, maksudnya memiliki ketrampilan mengatur keuangan/penghasilan suami secara proporsional.
  4. Sasana yang berarti rumah atau papan, maksudnya memiliki ketrampilan untuk mendekar dan menghias rumah dengan indah.
Selain sifat, wanita yang baik juga harus dapat membuat dirinya terlihat menarik agar laki-laki yang menjadi pasangan hidupnya tetap setia dan tetap bisa menjaga hubungan (termasuk dalam hubungan seksual). Hal tersebut dikarenakan pria dan wanita haruslah senantiasa bekerja sama dengan baik untuk dapat mempersiapkan segala hal demi menyambut kehadiran manusia baru sebagai hasil dari hubungan seksual yang mereka lakukan.

Ingkang kaping tiga kala wau ambeging pangrengkuh ingkang sawanda, saeka praya lan sajiwa, wijanganipun mekaten :
  1. Sawanda, tegesipun sarupa, sawangu utawi sawarna, pikajengipun sedya nyawiji badan, empan mapanipun gadhahana ambeg pangrengkuhipun lan rumeksanipun dhateng priya dipunkados rumeksa dhateng badanipun piyambak.
  2. Saeka praya, tegesipun sawiji budi, pikajengipun gadhahana ambeg pangrengkuhipun dhateng priya anedya nunggil kapti.
  3. Sajiwa, tegesipun satunggiling nyawa, pikajengipungadhaha ambeg pangrengkuhipun dhateng priya dipun kados dhateng nyawanipun piyambak. (pupu 3)
Yang ketiga adalah dalam hal kesetiaan hendaklah memiliki sifat-sifat sawanda, saeka praya, dan sajiwa, penjelasannya sebagai berikut :
  1. Sawanda yang berarti serupa, sebangun, atau sewarna. Maksudnya, wanita tersebut bersedia menyatu tubuh dengan cara saling memahami, menjaga suaminya sama seperti menjaga dirinya sendiri.
  2. Saeka praya artinya dapat menyatukan kehendak dengan kehendak suaminya yang tujuannya demi kebaikan, maka sang istri harus merasakan sebagaimana kehendak diri pribadi.
  3. Sajiwa berarti sehati. Maksudnya adalah sikap istri terhadap suami sama seperti terhadap diri sendiri.
Menggah pawestri ingkang sampun nambut silaning akrami, punika kedah netepi punapa ingkang kados wajibing estri kathahipung tigang pangkat, satunggil-tunggiling pangkat wonten tigang pakarti :
  1. Kedah gemi, nastiti, ngati-ati.
  2. Kedah tegen, rigen, mugem.
  3. Kedah titi, rukti, rumanti. (pupuh 3)
Bagi wanita yang telah berumah tangga hedaklah melaksanakan apa yang menjadi tugas seorang istri, dalam hal ini berjumlah tiga tingkatan, masing-masing terdapat tiga komponen perilaku :
  1. Hendaklah gemi (hemat), nastiti (cermat), ngati-ati (hati-hati).
  2. Hendaklah tegen (tidak mengecawakan, rigen (trampil), mugen (meyakinkan).
  3. Hendaklah titi (teliti), rukti (manfaat), rumanti (merata).
Dene panduking damel kedah nglenggahi gangsal prakawis :
  1. Kedah rikat.
  2. Cukat.
  3. Prigel.
  4. Trampil. (pupuh 3)
Sedangkang dalam hal bekerja hendaklah memiliki lima sifat :
  1. Cepat.
  2. Tangkas.
  3. Cekatan.
  4. Lihai.
  5. Terampil.
Menggah labetipun kedah kados ing ngandhap punika :
  1. Kedah ishep, madhep, mantep, sregep.
  2. Kedah wekel, petel, nungkul, atul. (pupuh 3)
Perihal pengabdian, hendaklah seperti di bawah ini :
  1. Hendaklah dilandasi kejernihan berpikir, niat, kesungguhan, rajin.
  2. Hendaklah tekun, telaten, tanpa kenal lelah, sabar.
Lampahing asmaragama, kalamunpasta purusa dereng kiyat lan santosa, ing driya ajwa kasesa, nandukaken pancakara, kang mangkono wau mbok manawa, blenjani neng wiwara, dayane datan widada, temah dela kang wardaya, terkadang amanggih ewa, lan wanita lawannya, marga tan kapadang karsa, tiwas wadi wus kabuka wekasan tan mantra-mantra, tumimbang serenging driya, wangune salah mangkana, yeka kena ing rubeda, aran katitih asmara, awit dereng abipraja, duk wau kagyating pasta, iku uga mbok manawa lagya kaserenging daya, mung sengseming driya harda, sinerus lumaksana, kasengka mangsa ing yuda, marma dayane sapala, tan lama nulya marlupa, kacarita inggih punika, awit rahsa tuwin jiwa, dereng winengku samya dening prabanira Hyang Pramana. (pupuh 6).
Penerapan asmaragama adalah apabila senjata yang dimiliki laki-laki belum siap tempur maka janganlah terburu-buru melakukan pertandingan, karena pertandingan tentu tidak akan berlangsung seru. Sang laki-laki tentu tidak akan mampu bertahan lama, dan si wanita sebagai lawan bertanding pasti tidak akan merasa puas. Janganlah menantang bertanding hanya karena dorongan nafsu, sebab jika laki-laki kalah hanya dalam beberapa jurus saja akan sangat memalukan, ia akan dianggap sebagai laki-laki lemah, loyo, dan tidak ada gunanya.
Dalam konteks pengajaran seks dalam Serat Nitimani, bagian penerapan asmaragama adalah cara bagaimana melakukan hubungan seksual yang baik dan benar. Cara adalah teknik yang dipakai dalam rangka memenuhi proses perubahan dengan mempunyai tujuan yang lebih khusus.

Dene ingkang binasakaken kasor prabawa wau mbok menawi patrapipun makaten, empaning cipta boten kapandan dening mapaning praman, ing wekasan prasa tuwin rahsa katamaning raos welas utawi engah, inggih rubeda patrap makaten wau ingkang binasakaken tumanding kang sanes bangsa. (pupuh 6)
Yang dimaksud kalah wibawa adalah perasaan yang dikalahkan atau diharapkan semula ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Akhirnya bukanlah kenikmatan yang dirasakan melainkan rasa lelah bahkan mungkin terasa sakit. Kondisi seperti itulah yang disebut tumanding kang sanes bangsa.
Hubungan seksual lazimnya melibatkan dua pihak yaitu laki-laki dan wanita. Dalam melakukan persetubuhan, maka keduanya haruslah sama-sama sedang berada dalam kondisi yang baik. Jika salah satunya mengalami sesuatu yang buruk maka imbasnya akan terkena pada kedua pihak.

Pramila pamilihing wanita kedah ngatos-atos, karana bilih kaleresan angsal wanodya ingkang prasaning rahsa, ingkang nunggil bangsa, punika lajeng nggendam langgengin asmara, saniskaraning rubeda, temah mahanani susila pamoring lulut, awit binuka langgening pramana, dene ingkang binasakaken susila pamoring lulut wau, woring sekaliyan binuka tanpa rubeda, amung pinanggih seneng pareng. (pupuh 6)

Oleh karena itu hendaklah berhati-hati dalam memilih pasangan hidup, karena jika pilihan anda tepat, anda akan benar-benar terikat dan bahagia lantaran anda akan merasakan kenikmatan secara paripurna, tanpa satupun rintangan yang menghalangi kecuali kepuasan yang terus meliputi.
Bagian ini menjelaskan mengenai sikap dalam konteks pengajaran seksual, yaitu bagaimana bertindak dalam hal memilih pasangan hidup agar tidak salah sehingga dapat tercapai kenikmatan dan jauh dari rintangan.

Kalamun pasta purusa wus kiyeng kiyat santosa, kwehning daya wus samekta, iku nulya tindakena umangsah ing ranonggana, sayekti datan kuciwa tumempuhing banda yuda. Nanging ta dipunprayitna, ing tindak ajwa sembrana, gyaning bakal nuju prasa, mring wanita mengsahira, supaya leganing driya, wruhanta dipunwaspada. (pupuh 6)

Ketika senjata pusaka laki-laki telah siap tempur, segenap kekuatan siaga, maka segeralah memulai pertandingan. Niscaya pertempuran tidak akan mengecewakan. Namun tetaplah waspada, jangan ceroboh. Ketika menghujamkan serangan terhadap senjata lawan, hendaklah mengutamakan kewaspadaan.
Ini adalah bagian cara dalam hal pengajaran seks dalam Budaya Jawa.

Pameting rahsa mangkana, srana ngagema wisaya, pratingkah ukeling pasta, kacarita solahira, duk murwani lumaksana, karya pepucuking yuda, kwehning daya saniskara, ajwa sineru sarasa, ing tindak kesah saranta, pangangkah amung muriha, keri prasaning wanita. (pupuh 6)
Dalam keadaan demikian, kendalikanlah tata gerak senjatamu, janganlah tergesa-gesa untuk lekas selesai, dengan tujuan agar wanita yang menjadi lawanmu merasa terlayani dan hasrat bertempur akan semakin memuncak.
Bagian ini masih mengajarkan cara mengenai bagaimana tindakan yang benar dalam berhubungan seksual.

E kulup sira sang pasta, poma ngger dipunprayitna, panarik sendaling gada. (pupuh 6)
Hendaklah berhati-hati dalam melepaskan senjata gada.
Senjata gada yang dimaksud dalam konteks ini adalah alat kelamin laki-laki yang akan dilepaskan atau dimasukkan ke dalam alat kelamin wanita.

Kang iku den engetana, tembe sakaro tan kena, yen maning mangsah angayuda, kalamun durung nirmala, kudu temen tinumna, waluya sakalihira, mangkana ujuring salaka……. (pupuh 6)
Janganlah melakukan pertandingan sebelum kondisi benar-benar pulih, demi menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam konteks pengajaran seksual, maka bagaian ini mengajarkan tentang bagaimana seharusnya tindakan laki-laki ketika dirinya sedang dalam kedaan yang tidak maksimal.

Wondene, menggah patrap salebetipun sanggama wau, priya kedah mawas ulat liringing wanita punapa dene saliranipun piyambak, ten sampun kapanduking panggalih :  lega, carem, tuwin marem sesaminipun upami tiyang nenedha, karaos sampun tuwuk. (pupuh 6)
Padahal, selama proses pertempuran laki-laki wajib memperhatikan lawan main untuk mencapai kepuasan bersama. Ibarat makan, sama-sama merasakan kenyang.
Bagian ini juga merupakan ajaran mengenai bagaimana tindakan yang tepat saat sedang melakukan hubungan seksual.

Kedah manggen wonten gajeging gela, sampun kadamel lega, prasaning rahsa kawudhara, ing riku wujuding wisaya. (pupuh 6)
Hendaklah membangun rasa penasaran, jangan merasa puas, bangkitkan kembali dorongan seksual anda,  karena disitulah ruang kenikmatan.
Bagian ini mengajarkan bagaimana seharusnya bersikap dalam berhubungan seksual ketika akan memulai pertandingan lagi.

….awit aji asmara punika kangge sarana lelantaran anggenipun badhe nyumerepi “dhateng asal wijinira” manungsa sejati, karana ingkang kasebut tembung paribasan makaten : sinten manungsa ingkang boten uninga dhateng asal wijinira, sayektine inggih datan uninga dhateng sejati paraning sedya, kacariyos ing tembe inggih badhe kirang sampurna ing kamuksanira. (pupuh 6)
Ilmu asmara merupakan sarana untuk mengetahui asal muasal manusia, seperti peribahasa barang siapa yang tidak mengetahui asal usulnya sesungguhnya juga tidak akan mengetahui kemana tujuan hidupnya, niscaya kelak hidupnya tidak akan sempurna.
Hubungan seksual merupakan masalah yang sangat penting dalam Budaya Jawa karena hasilnya adalah sebuah kehidupan baru. Maka dari itu diajarkan agar sebelum melakukan hubungan seksual haruslah disiapkan segala-galanya agar hasilnya juga sempurna dan mengerti asal kemana ia akan berakhir.

Yen pinareng dening Pangeran ingkang Maha Suci, kinen dados lantaran nitehaken manungsa. (pupuh 6)
Apabila Tuhan memperkenankan, pertandingan tersebut akan menjadi sarana dan wahana untuk menciptakan manusia.
Hubungan seksual yang benar akan direstui oleh Tuhan dan diberikan hasil yang benar pula.

Kasebut wonten wewijangan ngelmi, ingkang kaping nem dipunwastani kayektening kahanan Kang Maha Suci, inggih menika pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas awit dene pamejangipun ambuka kodrat predating Pangeran kang Maha Suci Sejati, anggenipun kersa jumenengaken maligening Dad, minangka Betullah katata wonten kontholing manungsa…. (pupuh 8)
Disebutkan dalam ajaran ilmu keenam dinamakan keberadaan Yang Maha Suci yaitu pembukaan tata malige dalam Betal Mukadas, dikarenakan Tuhan telah berkehendak menempatkan mahligai Zat sebagai Baitullah yang berada di buah Zakar manusia.
Dalam hal hubungan seksual, maka yang paling penting adalah peranan alat kelamin sebagai media utama. Budaya Jawa mengajarkan mengenai konsep alat kelamin pria sebagai sesuatu yang penting karena merupakan bagian dari tempat persemayaman juga.

Sejatine ingsun nata malige ana ing sajroning Betal Mukadas iku omah enggoning pasucian ingsun, jumeneng ana kontholing Adam,  kang ana ing sajroning konthol iku pringsilan, kang ana ing sajroning pringsilan iku nutpah, iya iku mani, sajroning mani iku madi, sajroning madi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, Dad kang anglimputi ing kahanan jati jumeneng ana ing sajroning nukat gaib….. (pupuh 8)
Sebenarnya Aku meletakkan tahtaKU dalam Betal Mukadas. Itu adalah tempat pesucianKu, yaitu berada di zakar Adam. Yang berada di zakar itu adalah buah pelir, yang berada dalam buah pelir adalah nutfah, yang berada dalam nutfah adalah mani. Di dalam mani ada madi. Di dalam madi ada manikem. Di dalam manikem ada rahsa. Di dalam rahsa ada Aku, tiada Tuhan selain Aku, zat yang meliputi segalanya bertahta dalam alam gaib.
Dalam ajaran mengenai konsep seks dalam Budaya Jawa, maka diterangkan pula apa sebenarnya alat kelamin itu sebagai sarana utama dalam hal seks. Dalam Budaya Jawa diajarkan bahwa tubuh manusia adalah manifestasi  dari Tuhan itu sendiri dan alat kelamin milik pria masing-masing bagiannya adalah perwujudan dari unsur ke-Tuhanan sehingga tidak boleh digunakan sembarangan karena suci sifatnya.

Yen priya lan wanita anggenipun sami sahresmi pamudharin prasa sesarengan, woring kama mangka pinareng dening Pangeran Kang Maha Mulya badhe nitahaken manungsa, punika woring kuma wau lajeng kendel dumunung wonten guwa garbaning wanita, binasakaken garbini inggih punika meteng. (pupuh 8)
Bila seorang pri dan wanita bersetubuh, pertemuan kama diperkenankan oleh Tuhan Yang Maha Esa, akan ditaksirkan manjadi manusia. Bersatunya kama (seperma dan sel telur) tersebut kemudian akan berdiam diri di rahim wanita yang kemudian disebut hamil.
Tujuan dari hubungan seksual salah satunya yang paling penting adalah untuk menghasilkan keturunan. Benih manusia yang hadir di rahim wanita itu bisa ada hanya karena restu dari Tuhan.

….saleresipun tiyang estri ing asmara boten malih, amung kedah anut ing ombak kasagedaning priya…. (pupuh 19)
Sesungguhnya dalam bersenggama seorang wanita harus mengikuti kemauan laki-laki.
Hal-hal tersebut adalah ajaran tentang tindakana yang tepat bagi wanita dalam hal berhubungan seksual.

Wonten malih gelaring wanita yen nuju sinanggama ing priya, lajeng ambiyantu ing solah obahing raga raga dadosaken keras maju sunduring pasta, pratingkah makaten wau sedyanipun supados simbuhi sakecaning prasa…. (pupuh 19)
Adapun tingkah laku wanita ketika bersenggama sebagiknya mengimbangi gerak pria yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa nikmat.
Dalam berhubungan seksual diajarkan mengenai bagaimana sikap seorang wanita agar kegiatan hubungan seksual bisa mencapai tujuan yang diinginkan yaitu dapat mengimbangi gerakan laki-laki.

Kisanak, bebakunipun ingkang prelu kedah waskita, sageda nuju karsaning priya, ing solah kedah anut ing kersaning kakung. (pupuh 19)
Saudara, yang [erlu diperhatikan adalah kewaspadaan. Hendaknya wanita tanggap terhadap kehendak laki-laki.
Selain menyeimbangkan gerak, wanita juga harus tanggap dan mengerti apa yang menjadi kehendak laki-laki.

Awit wujudipun ingkang kawastanan labet wau inggih guna, tegesipun kapinteran, ingkang dipunwastani guna punika inggih sarana, tegesipun piranti, ingkang binasakaken sarana punika inggih : mantra, tegesipun muna, ingkang dipunwastani mantra punika inggih dunga tegesipun muni, ingkang binasakaken donga menika inggih puja, tegesipun panggunggung, inggih punika sadaya wau dumunung pangrengganing basa, utawi patrap ingkang dados pepunton atining tata krami. (pupuh 20)
Dengan upaya seperti itu sesungguhnya merupakan bentuk lain dari ibadah. Sebab bentuk ketekunan dan kesungguhan pada dasarnya berupa guna artinya kepandaian atau ketrampilan. Guna juga berarti sarana, yaitu peralatan. Sarana dapat diartikan sebagai mantra, maksudnya niat yang diverbalkan, sedangkan doa juga berarti harapan atau cita. Kesemuanya seimbang antara prilaku dengan nurani.
Budaya Jawa mengajarkan bahwa dalam berhubungan seksual haruslah diniatkan dalam hati bahwa tujuannya adalah baik karena menghasilkan manusia baru. Maka dari itu, hubungan seksual haruslah dilaksanakan dengan niat yang sungguh-sungguh karena hal tersebut sama juga dengan beribadah.

Wondene alas hardaning karsa, dumugining cipta maya kados ingkang kasebut ing inggil wau, bok manawi boten amung mahanani dhateng wewatekaning bebayi, pramila para sujana lan sarjana ingkang waskita ing kadadosaning krida utawi pangripta wau sok nuwuhaken, lajeng kangge tetenger nama dhateng atamajanipun. (pupuh 22)
Maka dari itu segala keinginan, beradanya cipta maya seperti yang disebut diatas tadi, mungkin tidak hanya memberi watak bayi, makanya para manusia dan manusia yang bijaksana di kejadian yang terjadi atau terciptanya tadi, kadang memberikan tanda, lantas dijadikan nama terhadap anak-anaknya.
Dalam hubungan seksual juga diajarkan untuk berada dalam posisi hati yang serba tenang, segalanya dalam kondisi baik agar hasil keturunan yang dihasilkan juga baik. Tidak hanya itu, akan tetapi hati pria dan wanita yang melakukan hubungan seksual juga harus bersih dan bijaksana.

Yen ta saupami ngrembaga bab prakawis wiji, leres sampun dumunung wonten ing priya, pramila sujanma wanodya punika bebasanipun kasebut papan utawi wadah…. (pupuh 22)
Jika membahas perkara benih, benar, sudah berada di para laki-laki, maka dari itu, perempuan diibaratkan papan atau wadah.
Perempuan adalah wadah tempat laki-laki menempatkan maninya agar dijaga dan dirawat dalam suatu tempat yaitu rahim wanita.

….karsanira Pangeran Kang Maha Mulya karsa nitisaken wijining manungsa…. (pupuh 22)
Kehendak Tuhan Yang Maha Mulia berkehendak menitiskan benih manusia.
Dalam masalah hubungan seksual, haruslah diingat bahwa munculya janin adalah hasil karya Tuhan, sehingga harus dapat dipertanggung jawabkan.

Kacariyos bilih kasupen inggih kenging boten dados punapa, sabab sajatosipun ingkang prelu dados awisan amung hawa napsu bilih saged ambirat ing hawa napsu, kacariyos ing adat asring kadunungan awas lan emut, manawi tansah anggenipun awas kaliyan emut, bok manawi estu amanggih kamulyan ing sangkan paran….. (pupuh 23)
Ceritanya, seandainya lupa sesungguhnya tidak masalah, karena yang sebenarnya perlu mendapat larangan hanya hawa nafsu karena akan bisa menjerumuskan. Ceritanya, dalam adat sering terdapat awas ingat, jikalau teramat sangat rasa awas dan ingat itu mungkin benar akan bertemu dengan kemulyaan di asal dan tujuan.
Hal tersebut merupakan ajaran megenai tindakan, yaitu bahwa dalam melakukan hubungan seksual haruslah dengan penuh kesadaran dan diusahakan jangan sampai terseret oleh nafsu birahi belaka. Maksudnya, selama berhubungan seks haruslah tetap diingat bahwa tujuan utama adalah untuk mengahsilkan seorang manusia baru yang baik. Dengan demikian, manusia yang berasal dari proses yang baik maka akan kembali kepada Sang Pencipta dengan keadaan yang baik pula.

Ingkang rumiyin nyariosaken tembung upami, wonten sujanma priya kaliyan wanodya, badhe dumugekaken karsa ngulang salulut sami lumebet ing jenem rum, tegesipun dunungin pasareyan, ing riku sandyana amung sakaliyan tur dumunung wonten papaning sepen, liripun boten katingalan dening tiyang kathah, ewa semanten menggah pepantenganing panggalih…. (pupuh 25)
Yang pertama, menceritakan kalimat seandainya ada manusia laki-laki dan perempuan berkeinginan bercinta, masuk kedalam ranjang artinya  berada ditempat tidur walaupun di situ hanya berdua dan juga berada ditempat yang sepi yang intinya tidak kelihatan orang banyak, walaupun begitu keseriusan perasaan janganlah sampai lupa…….
Ini adalah ajaran mengenai bagaimana cara yang benar ketika laki-laki dan perempuan yang akan mulai melaksanakan kegiatan berhubungan seksual, yaitu harus dilakukan pada tempat yang semestinya.

Sing sapa manungsa gelem ngalkoni tumindak marang panggawe nistha sayekti bakal nemu papa. (pupuh 25)
Barang siapa manusia yang menjalankan tindak nista pastilah akan menemuai kehinaan.
Menjalankan tindak nista maksudnya adalah berhubungan seksual tanpa persiapan yang benar dan hanya berdasarkan atas nafsu birahi belaka, maka nantinya juga akan berakibat buruk.

….dados manungsa ingkang binasakaken kapir wau supami karsa apulang asmara, mangkana lajeng saged dados wijining manungsa sanajan wiwit duk maksih jabang bayi tan pedot pinidih ing pamulangan tur dhateng tindaking kautaman, ing tembe bilih sampun dewasa bok manawi inggih lajeng wiga katragal dados dugal awit enget manawi pandemeling setan blaka. (pupuh 25)
Jadi yang disebut manusia kafir tadi seandainya bersenggama, maka bisa jadi benih manusia walaupun ketika masih bayi terus mendapat ajaran ketidak utamaan dan kebaikan, yang nantinya ketika dewasa mungkin akan menjadi jahat dan nakal karena memang terbuat dari penyatuan setan.
Dalam ajaran  hubungan seksual, niat awalnya haruslah merupakan niat yang baik. Manusia yang akan melaksanakannya juga haruslah dengan hati dan pikiran yang suci, tidak dengan pikiran yang kotor. Berhubungan seksual dalam keadaan yang kotor. Berhubungan seksual dalam keadaan yang kotor baik fisik maupun batinnya akan menghasilkan sesuatu yang jelek dan kotor pula, karena terbuat dari hasil penyatuan dua hal yang sama-sama kotor (setan).

….liripun mekaten menggah ing saresmi wau boten kangge pakareman utawi boten kangge memainan, tegesipun boten kangge dedolanan utawi geguyonan…. (pupuh 26)
Maksudnya dalam hubungan tadi tidak bisa untuk main-main atau bercanda.
Hubungan yang dimaksud disini adalah hubungan seksual. Jadi, kagiatan hubungan seksual harus dilakukan denga serius  dan tidak boleh main-main.

Wonden bilih pinuju badhe salulut anggenipun anaji-aji lan angedi-edi ing patrap kapratelaken kados ing ngandap punika : ingkang rumiyin, duk wiwit kagungan karsa badhe apulang asmara lan wanita sakaliyan sami sesucia, inggih punika siram tuwin jamas lajeng ngasta siwur anyiduka toya kaankat celak ing wadana mawi dipundonganana, ananging donganipun kados pundi duk ing jaman kina punika kula boten terang, yen ing jaman samangke inggih katimbang kendel kemawon lowung kaangge minangka gegondhelaning niyat, prayoginipun mawi angucap mkaten : “niyatingsun adus, padusan banyuning tlaga kalkaosar, anuceni sakaliring eroh, kang dumunung ana ing jasad kita, mlebu manik metu inten, cahyake amancur mancorong kadi cahyaning Pangeran Kang Maha Kuwasa”. Ing riku toya siwur wau lajeng kasiramaken ing wadana, lajeng siram ngantos dumugi sucining saliranipun sadaya. Menggah pratingkah siram ingkang mekaten wau jalu lan wanita ing patrap sami kemawon boten aprabeda. (pupuh 26).
Sedangkan ketika ingin memuja-muja dan mengindahkan tingkah laku, akan dijelaskan seperti di bawah ini : Pertama, mulai dari punya keinginan senggama dengan wanita, semua harus suci. Harus mandi keramas, lantas mengambil gayung berisi air dan diangkat di dekat muka dengan berdoa. Tetapi bagaimana doa ketika jaman dahulu itu saya kurang jelas, namun jika jaman sekarang ya daripada diam saja lebih baik dijadikan niat, dan sebaiknya mengucapkan demikian; “Niatku mandi, tempat mandi telaga kalkaosar, mensucikan segala darah, yang berada dalam tubuh kita, masuk manik keluar intan, cahayaku bersinar seperti sinar cahaya Tuhan Yang Maha Kuasa”. Air yang berada di dalam gayung tersebut lantas disiramkan ke wajah dan dilanjutkan mandi sampai semua badan menjadi suci baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Berikut adalah ajaran mengenai konsp seks dari segi cara memulai sebuah hubungan seksual yang benar. Proses penyatuan antara dua manusia baru adalah sesuatu yang sakral dan sangat penting untuk disiapkan dengan sebaik-baiknya. Hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan membersihkan diri dengan cara mandi. Mandi dalam konteks ini bukan hanya demi kenyamanan fisik belaka, tetapi dengan cara-cara tertentu dengan maksud untuk membersihkan jiwa dan batinya juga. Mandi harus disertai dengan niat yang baik serta doa, dengan tujuan untuk membersihkan segala kotoran (jasmani dan rohani) serta meniatkan sesuatu yang baik dalam hati. Dengan demikian diharapkan dalam melakukan hubungan seksual, keduanya (laki-laki dan perempuan) berada dalam keadaan bersih dan suci sehingga benih yang muncul nanti adlah merupakan buah dari perbuatan yang telah disucikan.

Ing sasampunipun rampung sesuciya siram jamas lajeng sami angadi-adi warna, kinarya sarana pangundhaning asmara, liripun menggahing pratingkah sami busana ingkang sarwa pantes, sarta angeganda wida, sasmpunipun samekta ing sakaliyan lajeng reruntunan sami malebet ing papreman, tegesipun malebet dhateng ing panglereman utawi dununging pakendelan, inggih punika pasareyan, ing riku priya lajeng angrakit pamasaning aji kamajaya dumunung amung winaos wonten salabeting batos kajarwakaken kados ing ngandhap punika : ….. Pupuh 26)
Setelah selesai bersuci mandi keramas (jamas) lantas berpakaian yang rapi untuk mengundang nafsu yang intinya tingkah laku dengan berpakaian yang pantas dan memakai wangi-wangian. Setelah semuanya selesai, lantas bersama-sama masuk ke tempat untuk tidur, maksudnya masuk ke ranjang, atau tempat istirahat yaitu ketempat tidur. Di situ, laki-laki memsang aji kamajaya yang diucapkan dalam hati.
Setelah membersihkan diri, maka ajaran selanjutnya adalah mengenai cara dan bagaimana tindakan mengenai cara dan bagaimana tindakan yang tepat untuk memulai kegiatan sakral tersebut. Pertama, untuk membangkitkan hasrat maka masing-masing  harus mrias diri dengan berdandan dan memakai wewangian. Setelah itu, harus pula diperhatikan tempat melakukan kegiatan tersebut dan tidak diperbolehkan dilakukan di sembarang tempat.

Wondening sang wanita ingkang rumiyin ugi muntu pangesthi sedya dumunung ing Betalmukadas, tegesipun niyat anjumenengaken kahanan salebeting puraya pasucian, dumunung ing baga. Ingkang kaping kalih, lajeng amusthi nesthi pambukaning aji asmara nala, tegesipun senseming manah, inggih punika wahananing birahi, tegesipun wiji, dumunung ing purana. Ingkang kaping tiga, kaping sekawan, kaping gangsal, kaping nenem, dumugi pitu, mboten aprabeda kados pamusthining kakung wau. Ing sasampunipun samekta pangruktining sakaliyan, lajeng sami kakaron sih, andumugekaken karsa, dene patrap lan pratingkah tumanduking pulang asmara, saestunipun bab makaten punika kadamel pipingitan, sinten ingkang saged uninga amung kinten-kinten yen anithik lelabuhanipun, wiwit duk murwani wau dumugining ngendhon kados inggih sae, liripun bok manawi inggih kados caraning manungsa, sarta boten angicalaken ing tata krami, kados-kados bok manawi inggih punika ingkang kasebut anggendam langening pramana, ambuka kahananing atma, ingkang badhe pinurwaning wicaksana. Ing sasampunipun salulut, sakaliyan medal saking papreman, lajeng samya asiram jamas malih, menggah solah lan pratingkah boten prabeda kadi patraping siram duk ngajeng wau, amung donga sarananipun kantun angurapa makaten “suku asta winengku ing solah bawa, solah bawa winengku ing driya, driya winengku ing Hyang Praman, andadekakna adus ing suci santosaning roh kang ana ing badan kita”. (pupuh 26)
Sedangkan sang perempuan, pertama juga berniat bersedia berada di Betalmukadas, artinya menahan mendiamkan keadaan di dalam kerajaan kesusian, berada di baga. Yang kedua lantas berniat membuka aji asmara nala, artinya pesona hati, itulah wahana birahi, artinya nafsu senggama, tumbuh menjadi purba, artinya benih berada di purana. Yang ketiga, keempat, kelima, keenam, dan seterusnya hingga ketujuh tidak berbeda dengan laki-laki. Setelah selesai menjalani semua lantas keduanya bermain cinta, mendatangkan karsa, sedangkan segala tingkah polah dalam bersenggama, sebenarnya bab ini merupakan rahasia, siapa yang bisa mengetahui kira-kira jika menandai penempatan mulai dari atas yang awal tadi sampai sekarang itu sangat bagus, intinya seperti cara manusia, serta tidak menghilangkan tata krama, mungkin seperti inilah yang disebut pesona keindahan praman, membuka keadaan atma, yang akan menjadi kebijaksanaan. Sesudah bercinta keduanya keluar dari tempat tidur, lantas mandi jamas lagi, sedangkan tingkah laku atau tata caranya tidak berbeda dengan cara mandi yang seperti diatas tadi tetapi doa permintaannya seperti berikut : “Kaki dan Tangan berada dalam tingkah laku, tingkah laku berada dalam hati, hati berada dalam Hyang Praman, menjadikan mandi suci sentosanya ruh yang abadi di badan kita”.
Selain laki-laki, sang perempuan juga harus menyiapkan beberapa hal yang intinya hampir sama dengan laki-laki. Ada beberapa tahap pembukaan yang dilakukan secara perlahan-lahan yaitu “pesona” atau daya tarik dari masing-masing indra kemanusian yang dimiliki hingga nantinya muncul “karsa” atau kehendak yang mantap untuk berhubungan seksual. Cara berhubungan sesual yang baik pada intinya adalah untuk saling mengerti keinginan masing-masing, serta untuk senantiasa mengingat tata krama, yaitu berhubungan dengan cara-cara yang etis serta manusiawi. Setelah melakukan hubungan seksual maka diajarkan tindakan yang tepat yaitu mandi dengan cara yang sama dengan yang dilakukan sebelum melakukan kegiatan tersebut, dengan doa yang sedikit berbeda. Tujuan dari tindakan mandi setelah berhubungan seks adalah untuk mensucikan diri masing-masing dan juga membersihkan diri. Doa yang dipanjatkan pada intinya memohon kepada Tuhan agar apa yang telah dilakukan dapat disucikan serta membawa hasil yang baik.

….lan sumurupa mungguh tumitah ana alam donya iki binasakake mung mampir ngobe (bae)…. (pupuh 29)
Ketahuilah bahwa manusia yang ada di alam dunia ini diibaratkan hanya mampir minum….
Dalam konteks ajaran hubungan seksual, haruslah tetap diingat bahwa kehidupan hanya merupakan sesuatu yang sementara seperti ibarat orang yang melakukan perjalanan jauh dan hanya mampir untuk minum. Maka dari itu, janganlah melakukan hubungan seksual hanya karena kesenangan dunia saja yang sifatnya sementara, tetapi harus dipikirkan juga mengenai pertanggung jawabannya kepada Tuhan dalam perjalanan kehidupan yang selanjutnya.

….caritaning dalil dawuhing Pangeran, wajida-wajidahu, tegese : sing sapa temen katemenan, mungguh surasaning…. (pupuh 29)
Apakah anda belum pernah mendengan cerita dalil sabda Tuhan, wajida-wajidahu, artinya : siapa yang sengguh-sungguh akan mendapatkan hasil…..
Ada suatu ungkapan yaitu wajida wajidahu yang artinya siapa yang sungguh-sungguh akan mendapatkan hasil. Maksudnya disini adalah dalam hubungannya mengenai konsep seks maka ungkapan tersebut bermaksud untuk menyampaikan bahwa hubungan seksual harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh agar mendapatkan hasil yang baik.

Demikian cuplikan dalam Serat Nitimani berisi ajaran mengenai konsep seks dalam budaya jawa. Ajaran tersebut merupakan sistem nilai budaya Jawa yang landasannya adalah konsep religi yaitu masalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa segala aspek dalam kehidupan orang Jawa, termasuk dalam hal seks pasti berujung kepada masalah antara manusia dengan Tuhan. Seks dalam budaya Jawa bukan hanya merupakan sarana untuk melampiaskan hawa nafsu dan sekedar bersenang-senang akan tetapi sampai kepada pengertian bahwa hubungan tersebut adalah suatu ikatan resmi antara laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami isteri yang harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Dalam hal ini, dapat dikatan bahwa seks merupakan kegiatan yang dianggap suci dan sakral karena hasil dari perbuatan tersebut adalah menghasilak manusia baru. Lahirnya manusia di sunia harus dipersiapkan sebaik mungkin termasuk dari awal proses penciptaannya. Hal tersebut dimaksudkan agar anak yang akan lahir nanti berasal dari proses awal yang jelas sehingga dapat mengetahui tujuan hidupnya dengan jelas pula. Konsep mengenai asal dan tujuan hidup manusia merupakan konsep dasar dari apa yang menjadi kepercayaan manusia Jawa. Bahwa ajaran seks merupakan gerbang awal manusia untuk memahami dua konsep utama dalam relegi budaya Jawa yaitu konsep sangkan paraning dumadi dan konsep manunggaling kawula-Gusti. Jadi, ajaran seks dalam Serat Nitimani bertujuan untuk memberikan pedoman moral, nilai dan kaidah bagi orang Jawa tentang bagaimana cara melakukan hubungan seks dengan cara yang benar dan tepat (bener lan pener), karena pada akhirnya apa yang menjadi hasil dari perbuatan tersebut berhubungan dengan asal kehidupan (sangkan paraning dumadi) serta tujuan hidup yang utama yaitu bersatu dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti).

Sumber : alangalangkumitir.wordpress.com

Semar dalam Filosofi Jawa

 
Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul
Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Filosofi, Biologis Semar
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik”.
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.
Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”.
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar adalah :
Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .
Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi :
Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma“, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri
Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya.
Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan.
Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 )
Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.
Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 )
Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon ” Semar Mbabar Jati Diri “. gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 – Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon ” Semar Mbabar Jadi Diri ” diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi ” ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka