This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sunday 29 September 2013

Arti dan Makna Filosofi Ketupat

Ketupat tidak lepas dari perayaan Idul Fitri. Dalam perayaan idul fitri, tentunya di situ ada satu hal yang tidak pernah pisah dari perayaan ketupat lebaran. Istilah tersebut telah menjamur di semua kalangan umat islam terutama di pulau jawa.
Ketupat atau kupat sangatlah identik denganHari Raya Idul Fitri. Buktinya saja dimana adaucapan selamat idul fitri tertera gambar dua buah ketupat atau lebih. Apakah ketupat ini hanya sekedar pelengkap harai raya saja ataukah ada sesuatu makna di dalamnya?

Sejarah Ketupat.
Adalah kanjeng Sunan Kalijaga yang pertamakali memperkenalkan pada masyarakat jawa.Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali BAKDA, yaitu bakda lebaran dan bakda kupat. Bakda kupat dimulai seminggu sesudah lebaran. Pada hari yang disebut BAKDA KUPAT terswebujt, di tanah jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyan ketupat dari daun kelapa muda.

Setelah selesai dianyam, ketupak diisi dengan beras kemudian dimasak. Ketupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, sebagai lambang kebersamaan.

Arti Kata Ketupat.
Dalam filosofi jawa, ketupat lebaran bukanlah sekedar hidangan khas hari raya lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat dalam bahasa jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat.
Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan.
Laku papat artinya empat tindakan.

 
Ngaku Lepat.
Tradisi sungkeman menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi orang jawa.
Prosesi sungkeman yakni bersimpuh di hadapan orang tua seraya memohon ampun, dan ini masih membudaya hingga kini.
Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain, khusunya orang tua.

Laku Papat.
Laku papat artinya empat tindakan dalam perayaan Lebaran.
Empat tindakan tersebut adalah:
1. Lebaran.
2. Luberan.
3. Leburan.
4. Laburan.

Arti Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan.
 
Lebaran.
Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Berasal dari kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar.

Luberan.
Bermakna meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin.
Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran pun selain menjadi ritual yang wajib dilakukan umat islam, juga menjadi wujud kepedulian kepada sesama manusia.

Leburan.
Maknanya adalah habis dan melebur.
Maksudnya pada momen lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur habis karena setiap umat islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain.

Laburan.
Berasal dari kata labur atau kapur.
Kapur adalah zat yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun poemutih dinding.
Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain.
Nah, itulah arti kata ketupat yang sebenarnya.

Selanjutnya kita akan mencoba membahas filosofi dari ketupat itu sendiri.
 
Filosofi Ketupat:
 
1. Mencerminkan Beragam kesalahan manusia.
Hal ini bisa terlihat dari rumitnya bungkusan ketupat ini.

2. Kesucian hati.
Setelah ketupat dibuka, maka akan terlihat nasi putih dan hal ini mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala kesalahan.

3. Mencerminkan kesempurnaan.
Bentuk ketupa begitu sempurna dan hal ini dihubungkan dnegan kemenangan umat islam setelah sebulan lamanya berpuasa dan akhirnya menginjak idul fitri.

4. Karena ketupat biasanya dihidangkan dnegan lauk yang bersantan, maka dalam pantun jawa pun ada yang bilang "KUPA SANTEN", Kulo Lepat Nyuwun Ngapunten (Saya Salah Mohon Maaf). Itulah makna, arti serta filosofi dari ketupat.
 
 Betapa besar peran para wali dalam memperkenalkan agama islam dengan menumbuhkembangkan tradisi budaya sekitar, seperti tradisi lebaran dan hidangan ketupat. Oleh karena itu, kita sebagai umat muslim sudah seharusnya memuliakan budaya atau ajaran yang telah disampaikan para wali di Indonesia ini.

Filosofi Cangkul / Pacul : Wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga

DALAM ngelmu, seseorang dituntut untuk menggunakan pikirannya untuk membaca dan memahami apa-apa yang ada di sekelilingnya. Ketika seseorang meguru atau berguru pada orang yang sudah mumpuni dalam hal ilmu rasa, maka dia harus 'menggerakkan' otaknya untuk memahami apa yang ada di alam semesta ini. Artinya, alam semesta ini 'dibaca' dan diartikan sendiri apa yang menjadi makna sejatinya.

Ki Ageng Sela yang kondang namanya lantaran mampu menangkap petir pun pernah berguru pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Salah satu wejangan dari Kanjeng Sunan Kalijaga terhadap Ki Ageng Sela adalah tentang Pacul. Ketika itu Kanjeng Sunan Kalijaga menyuruh Ki Ageng Sela untuk 'membaca' Pacul.

Pacul atau cangkul adalah salah satu alat yang merupakan senjata para petani. Senjata ini digunakan para petani untuk mengolah lahan pertanian. Tampaknya memang sederhana, Pacul. Tapi makna yang terkandung di dalamnya sangatlah tinggi.

Dari wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga terhadap Ki Ageng Sela, Pacul atau cangkul itu terdiri dari 3 bagian. Ketiga bagian tersebut adalah: Pacul (bagian yang tajam untuk mengolah lahan pertanian), Bawak (lingkaran tempat batang doran), dan Doran (batang kayu untuk pegangan cangkul).

Menurut wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga, sebuah pacul yang lengkap, tidak akan dapat berdiri sendiri-sendiri. Ketiga bagian tersebut harus bersatu untuk dapat digunakan oleh petani. Apa sebenarnya arti dari Pacul, Bawak dan Doran itu?

* Pacul. Memiliki arti "ngipatake barang kang muncul"
  Artinya, menyingkirkan bagian yang mendugul atau bagian yang tidak rata. Dari alat Pacul tersebut setidaknya bisa diartikan bahwa kita manusia ini harus selalu berbuat baik dengan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak rata, seperti ego yang berlebih, cepat marah, mau menang sendiri dan sifat-sifat jelek kita lainnya yang dikatakan 'tidak rata'.

* Bawak. Memiliki arti "obahing awak".
  Arti obahing awak adalah gerak tubuh. Maksudnya, kita manusia hidup ini diwajibkan untuk berikhtiar mencari rezeki dari GUSTI ALLAH guna memenuhi kebutuhan hidup. Disamping itu, arti ikhtiar tersebut juga bukan hanya berarti mencari rezeki semata, tetapi juga ikhtiar untuk senantiasa "manembah GUSTI ALLAH tan kendhat Rino Kelawan Wengi" (menyembah GUSTI ALLAH siang maupun malam).

* Doran. Memiliki arti "Dongo marang Pengeran" ada juga yang mengartikan "Ojo Adoh Marang Pengeran". Arti "Dongo Marang Pengeran" adalah doa yang dipanjatkan pada GUSTI ALLAH. Pengeran berasal dari kata GUSTI ALLAH kang dingengeri (GUSTI ALLAH yang diikuti). Sedangkan "Ojo Adoh Marang Pengeran" memiliki arti janganlah kita manusia ini menjauhi GUSTI ALLAH. Manusia harus senantiasa wajib ingat dan menyembah GUSTI ALLAH, bukan menyembah yang lain.

Ketiga bagian Pacul tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan. Kalau digabung, maka ketiganya memiliki arti, manusia hendaknya mampu menyingkirkan sifat-sifat buruknya, berikhtiar untuk mencari rezeki GUSTI ALLAH dan tidak melupakan untuk selalu berdoa dan menyembah GUSTI ALLAH. Bukankah kini kita mengetahui bahwa benda Pacul itu memiliki nilai filsafat yang tinggi?(*)

Ajaran Suluk Kanjeng Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga Adalah simbol sufistik jawa.karena di dalam penyampaian ajaran ajarannya beliau selalu bisa menempatkan diantara budaya ataupun adat adat jawa yang saat itu sangat kental di kalangan masyarakat jawa sendiri.sehingga masyarakat dengan mudah menerima ajarannya. walaupun ketika itu masyarakat masih sangat awam dengan ajaran islam.
 
Beliau sendiri mengedepankan keyakinan terhadap Dzatulloh dalam ajaranya. lalu di ikuti dengan syariatnya Dan untuk pendekatan diri kepada yang maha hidup Sunan Kalijogo senantiasa menggunakan media dzikir sebagai sarananya.Begitupula ia mengajarkan kepada murid-muridnya. berbagai cara yang bisa dilakukan untuk berdzikir kepada yang maha agung,karena dzikir sendiri mempunyai artian yang luas. sehingga berbagai cara bisa dilakukan,yang intinya selalu mengingat Dia(alloh).

Salah satunya dengan cara:dzikir lisan, dzikir nafas,dzikir kolbu,dzikir ruh,dzikir perbuatan  dan sebagainya.
Beliau mengetahui bagaimana keadaan iman murid muridnya sehingga dia memberikan Dzikir kepada seseorang sesuai dengan tingkat ketaqwaan atau MAQOM orang tersebut, jadi wajar saja jika di kalangan masyarakat banyak yang mengaku bersumber dari ajaran Sunan Kalijaga,meskipun mereka berbeda baik bacaan maupun caranya berdzikir.

Berikut ini salah satu SULUK SUNAN KALI JAGA yang kami kutip dari berbagai sumber: semoga kita bisa mengambil hikmah dari suluk ini dan bertambahnya keimanan kita terhadap dzatulloh.amin ya robbal alamin.

Birahi ananiroku,aran ira Allah jati.
Tan ana kalih tetiga.

Timbullah hasrat kehendak "dzatulloh dengan adanya WUJUD dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga

sapa wruha yen wus dadi,ingsun weruh pesti nora,ngarani namanireki
Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan
membanggakan dirinya sendiri.

Sipat jamal ta puniku,ingkang kinen angarani,pepakane ana ika,akon ngarani puniki, iya Allah angandika, maring Muhammad kang kekasih.
Ada pun sifat jamal (sifat terpuji bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan,bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya

Yen tanana sira iku,ingsun tanana ngarani,mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira, aranira aran mami.

Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut,Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku,
Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu.Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku.

TAUHID hidayat sireku,tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,uga donya uga akhir,ya rumangsana pangeran,ya Allah ana nireki.
 
Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah,baik di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu.

Ruh idhofi neng sireku, MAKRIFAT ya den arani,uripe ingaranan Syahdat,urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,rukuk pamore Hyang Widhi.
Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan.

Sekarat tananamu nyamur,ja melu yen sira wedi,lan ja melu-melu Allah,iku aran sakaratil,ruh idhofi mati tannana,urip mati mati urip.
Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal,sekaratul maut.tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati,Hidup mati, mati hidup

Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,urip bae selawase,kang mati nepsu iku,badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,Syekh Malaya (Sunan Kalijaga) den padhang sira nampani,Wahyu prapta nugraha.

mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu keakuhan sifat hambanya. Lahiriah badan yang menjalani MATI Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.

Ajaran Kehidupan Wali Songo

A.SUNAN AMPEL :
falsafah “Moh Limo” ;
1. Moh Main atau tidak mau berjudi
Segera basmi segala bentuk perjudian, baik perjudian kelas bawah maupun perjudian kelas atas. Karena bangsa kita tidak akan pernah mendapatkan keberkahan hidup jika perjudian menjamur bebas di sana-sini. Apalagi disinyalir ada beberapa anggora DPR kita yang terhormat melakukan perbuatan ini, na’udzu billlahi mindzaalik.
2. Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan.
Tinggalkan segala bentuk minum-minuman keras yang hanya membawa kenikmatan sesaat, tetapi kemudhorotan yang akan ditimbulkannya jauh lebih besar dari manfaatnya.
3. Moh Maling atau tidak mau mencuri
Segala bentuk pencurian, termasuk di dalamnya korupsi, kolusi, suap-menyuap dan sebagainya harus segera ditinggalkan, jika tidak malapetaka sosial akan semakin marak dalam kehidupan bangsa kita.. Selain itu begitu maraknya korupsi dari birokrasi paling bawah sampai birokrasi teratas menyebabkan bangsa kita akan semakin terpuruk.
4. Moh Madat atau tidak mau menghisap candu, ganja, narkoba dan lain-lain.
Penyalahgunaan narkoba adalah sumber kehancuran negara. Penyakit ini akan menghancurkan bangsa kita, apalagi pengguna terbesar narkoba adalah generasi muda. Jika hal ini terus dibiarkan, apa yang terjadi pada bangsa kita 10, 15, atau 20 tahun yang akan datang. Wallahu a’lam.
5. Moh Madon atau tidak mau berzina/main perempuan yang bukan istrinya.
Penyakit masyarakat lainnya yang begitu mewabah dalam masyarakat kita adalah perzinaan. Arus globalisasi yang begitu dahsyat telah banyak memberi pengaruh besar bagi menjamurnya segala bentuk prostitusi dan perselingkuhan. Kerusakan seperti ini sudah dianggap “biasa” oleh masyarakat kita. Padahal kalau perbuatan seperti ini tidak dicegah, tunggulah azab yang besar akan segera datang dari Allah SWT.
Mudah-mudahan kita semua bisa menghindari lima perbuatan yang terlarang tersebut sehingga kita bisa terhindar dari azab yang lebih besar lagi. Mari kita aktualisasikan dan implementasikan falsafah “Moh Limo” ini dalam kehidupan kita, agar tercipta “Baldatun thayyibatun wa Robbun ghofuur”. Negara yang “Gemah ripah Loh jinawi Toto Titi Tentrem Kerto lan Raharjo”.

B.SUNAN BONANG :
Menurut Sunan Bonang, kebudayaan Islam tidak mesti kearab-araban.
Menutupi aurat tidak mesti memakai baju Arab, tetapi cukup dengan memakai kebaya dan kerudung. Inilah yang kemudian diimplementasikan oleh mayoritas muslim Indonesia.
Di antara upacara keagamaan yang diberi bungkus budaya Jawa, yang sampai kini masih diimplementasikan oleh masyarakat secara turun temurun adalah upacara Sekaten dan Grebeg Maulid..
Keahliannya di bidang geologi dipraktekkan dengan menggali banyak sumber air dan sumur untuk perbekalan air penduduk dan untuk irigasi pertanian lahan kering. Sunan Bonang juga mengajarkan cara membuat terasi, karena di Bonang banyak terdapat udang kecil untuk pembuatan terasi. Sampai kini terasi Bonang sangat terkenal, dan merupakan sumber penghasilan penduduk desa yang cukup penting.
Dengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang ingin menyatakan betapa pentingnya manusia memperhatikan potensi kerohaniannya. Adalah yang spiritual yang menentukan yang material, bukan sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia kacau, ia menyangka yang material semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena potensi kerohaiannya inilah manusia diangkat menjadi khalifah Allah di bumi, bukan karena harta dan kekayaannya.

C.SUNAN GIRI :

Dalam keagamaan, beliau dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Beliau juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak – cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung yang bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam. Asmara artinya cinta dan dana artinya beramal. Sedangkan pucung artinya dipocong, dengan kata lain sebelum kita dipocong atau meninggal dunia perbanyaklah beramal agar kita bahagia duni dan akhirat, amiin.

D.SUNAN DRAJAT

Tujuh pesan Sunan Drajat :
1. Memangun resep tyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suko kudu eling lan waspodo (didalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita – cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu – nafsu)
5. Heneng – Hening – Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita – cita luhur).
6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan sholat lima waktu)
7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Ajarkan ilmu pada orang yang tidak tau, Berilah makan kepada orang yang lapar, Berilah baju kepada orang yang tidak punya baju, serta beri perlindungan orang yang menderita)
Pesan Sunan Drajat ini dituangkan dalam bentuk gending dan lagu, sehingga orang yang menyanyikan gending secara tidak langsung mempelajari isi ajaran dari sunan Drajat.

E.SUNAN KALIJAGA
Ketenaran Sunan Kalijaga ini dikarenakan beliau seorang ulama yang cerdas dan arif. Kecerdasan dan kearifan yang dimiliki membuat beliau mampu bersenyawa cepat dengan berbagai kalangan, khususnya masyarakat bawah, yang berdampak terhadap kelancaran proses penyebaran ajaran Agama Islam.
Filosofi Kehidupan
Terdapat beberapa hal filosofi kehidupan Sunan Kalijaga yang perlu menjadi renungan kita bersama. Jika pesan-pesan falsafah hidup Sunan Kalijaga ini kita pegang dan implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, Insya Allah, kita akan dapat selamat di dunia dan akhirat.

Isi filosofi kehidupan Sunan Kalijaga antara lain adalah:
”Lamun sira menek, aja menek andha, awit lamun sira menek andha –sira ancik-ancik untu lan tekan ndhuwur, sira ketemu alam suwung. Nanging lamun sira menek, meneka wit galinggang, sira bakal ngliwati tataran, lan ngrangkul (ngrungkepi) wit galinggang. Tekan ndhuwur sira – ketemu apa? Sira bakal ketemu woh, ya wohing galinggang.

Wohing galinggang wiwit saka ing jeroning mancung, ya kuwi manggar, sakwise kuwi dadi bluluk, terus cengkir, deghan, njur kerambil/kelapa. Perangan njaba, sira ketemu apa? Sira ketemu tepes, sing watake enteng. Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu batok (tempurung) sing watake atos (teguh dalam prinsip). Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu jatine wohing galinggang. Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu banyu ya banyu perwito sari. Ing sak jerone banyu, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu rasa, ya jatining rasa (rasa rumangsa). Lamun sira menek maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu janur sing tegese jatining nur, ya nur muhammad

Makna untuk Kehidupan
Adapun yang dimaksud dengan Wit Galingga adalah Pohon Kelapa. Kenapa pohon kelapa yang dijadikan contoh? Karena Pohon Kelapa itu mulai dari akarnya yang paling bawah sampai ujung daunnya yang disebut janur semuanya bermanfaat. Pohon Kelapa juga sangat kokoh dan kuat tidak pernah roboh.
Kalau kita memanjat Pohon Kelapa maka kita akan medapatkan buahnya. Kita akan bertanggung jawab, tidak sombong, tidak mudah jatuh, kita ikuti tataran yang ada dalam batang kelapa itu, kita akan selalu terus ke atas, kita akan memanjat dengan hati-hati sampai ke atas.
Lantas apa itu Tataran yang dimaksud dalam falsafah hidup Sunan Kalijaga di atas? Tataran itu dapat dimaknai sebagai aturan-aturan yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di dunia, maka kita harus mengikuti aturan-aturan atau peraturan- peraturan dunia yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di akhirat, maka kita harus mengikuti aturan-aturan atau peraturan-peraturan akhirat yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di dunia dan akhirat, kita harus mengikuti aturan-aturan atau peraturan-peraturan yang berlaku di dunia dan akherat.
Buah kelapa menggambarkan secara kronologis kehidupan manusia dari mulai manggar diibaratkan janin, bluluk bermakna bayi, cengkir bermakna balita, deghan bermakna remaja, dan kerambil / kelapa bermakna dewasa. Falsafah ini memberi pencerahan makna hidup manusia yang harus dijalankan secara hati-hati, dari mulai janin sampai dewasa. Karena pada setiap tahapan tersebut bisa saja terjadi musibah dari yang kecil sampai meninggal dunia. Untuk itu kehati-hatian ini harus dijabarkan dalam mempersiapkan diri pada hidup dan kehidupan di dunia. Yaitu selalu berpegang teguh pada aturan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agar selamat di dunia. Sejalan dengan itu juga berpegang teguh pada aturan keagamaan berdasarkan Al Qur’an dan hadist agar selamat di akhirat nanti. Kalau pegangan tersebut dilaksanakan secara konstisten dan konsekuen maka manusia tidak perlu gentar menghadapi takdir kematian kapan saja karena sudah siap untuk hidup dunia akhirat.
Dalam memanjat pohon kelapa, kita musti bekerja keras, hati-hati dan disiplin menelusuri tataran pohon kelapa untuk mencapai puncak hingga dapat menggapai buah pohon kelapa yang dapat diambil kemanfaatannya. Hal itu dapat kita petik hikmah bahwa dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kita harus memiliki niat yang baik, bekerja keras, mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku – baik peraturan-peraturan dunia maupun akherat – dan hati-hati untuk mewujudkan kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, dan kemamkmuran kita, masyarakat dan bangsa.
Oleh karena itu, implementasi filosofi kehidupan Sunan Kalijaga sangat bermakna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menuju tercapainya kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia. Intisarinya adalah, kita sebagai bangsa harus memiliki niat yang baik, bekerja keras, mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku – baik peraturan dunia maupun akherat – dan hati-hati (tidak ceroboh) dalam menjalankan kehidupan demi tercapainya esensi rahmatan lil ’alamiin, tujuan berbangsa dan bernegara, di bumi nusantara tercinta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

F.SUNAN KUDUS
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran / padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, beliau memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, beliau sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Dengan sedikit paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bukan hanya berdakwah saja yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, beliau juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Cara berda’wanya pun elastis, banyak improfisasi, dan menghormati pemeluk agama yang lain. Metode itulah yang seharusnya kita implementasikan dalam berda’wah, tidak menghukumi orang seenak sendiri, mengkafirkan orang yang tidak sefaham dan sebagainya.

G. SUNAN GUNUNG JATI
Metode Da’wah Sunan Gunung Jati
Kebudayaan pada prinsipnya merupakan media yang memungkinkan pendidikan dapat berlangsung dengan sukses. Colletta seorang ahli antropologi pendidikan dari Amerika, mengatakan bahwa kebudayaan itu memiliki :
1. Legitimasi tradisional.
2. Simbol-simbol dan bentuk komunikasi yang paling dikenal dan dihargai masyarakat
3. Aneka ragam fungsi yang dapat dijadikan sarana untuk perubahan masyarakat (Usman Pelly 1992).
Oleh sebab itu pendidikan akan berhasil, apabila dalam pendidikan mengembangkan bentuk-bentuk komunikasi tradisional. Dengan komunikasi tradisional, Sunan Gunung Jati telah mampu membentuk suatu budaya cara tersendiri dalam menyebarkan agama Islam. Beliau sebagai individu merupakan kreator sekaligus manipulator dalam menciptakan kebudayaan, dalam arti beliau mampu membuat metode khusus dalam berda’wah.
Sebagai anggota Wali Songo dalam berda’wahnya SGJ menerapkan berbagai metode dalam proses Islamisasi di tanah Jawa. Adapun ragam metode da’wahnya menurut Dadan Wildan (2003) adalah sebagai berikut:
1. Metode mau’idhatul hasanah wa mujadalah billati hia ahsan. Dasar metode ini merujuk pada al-Quran surat An-Nahl ayat 125
2. Metode Al-Hikmah sebagai sistem dan cara berda’wah para wali yang merupakan jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer, atraktif, dan sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu mereka hadapi secara masal, kadang-kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum.
3. Metode Tadarruj atau Tarbiyatul Ummah, dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat, agar ajaran Islam dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara merata. Metode ini diperhatikan setiap jenjang, tingkat, bakat, materi dan kurikulumnya, tradisi ini masih tetap dipraktekan dilingkungan pesantren.
4. Metode pembentukan dan penanaman kader serta penyebaran juru da’wah ke berbagai daerah.
5. Metode kerja sama, dalam hal ini diadakan pembagian tugas masing-masing para wali dalam mengIslamkan masyarakat tanah Jawa. Misalnya Sunan Gunung Jati bertugas menciptakan do’a mantra untuk pengobatan lahir batin, menciptakan hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan, transmigrasi atau pembangunan masyarakat desa.
6. Metode musyawarah, para wali sering berjumpa dan bermusyawarah membicarakan berbagai hal yang bertalian dengan tugas dan perjuangan mereka. Sementara dalam pemilihan wilayah da’wahnya tidaklah sembarangan, dengan mempertimbangkan faktor geostrategi yang sesuai dengan kondisi zamannya.
Pelajaran yang bisa diambil dari metode da’wah Sunan Gunung Jati
Metode adalah cara menyampaikan pengajaran untuk membantu siswa mencapai tujuannya dalam belajar. Guru harus mampu meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam mencapai kemandirian belajar, serta mampu membentuk sikap belajar untuk mempelajari sesuatu. Profil siswa menuntut guru untuk menguasai ilmu yang diajarkannya dan memahami karakteristik siswanya serta berwawasan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang.
Pendekatan pembelajaran aktif dan bermakna, bertumpu dari peningkatan aktivitas. Hal ini terkait erat dengan tujuan pendidikan nasional untuk pembangunan manusia seutuhnya yang mampu berdiri sendiri dan mampu bertanggung jawab atas pembangunan sesamanya.
Tujuan pembangunan nasional tersebut akan dapat dicapai melalui proses belajar mengajar, yang merupakan interaksi antara guru dan siswanya dalam suatu situasi pendidikan atau pengajaran untuk pencapaian tujuan yang ditetapkan. Dalam interaksi tersebut guru hendaknya menaruh pertimbangan yang kuat atas keunikan dan keragaman siswa. Seorang guru dituntut untuk mampu menggunakan berbagai metode mengajar secara bervariasi. Menurut Mulyani Sumantri (2002) mengatakan : “metode apapun yang digunakan guru hendaknya menciptakan situasi pengajaran yang menyenangkan dan mendukung kelancaran proses belajar serta tercapainya prestasi belajar siswa yang memuaskan, karena mereka benar-benar aktif melalui PBM yang bermakna”.
Untuk mewujudkan amanah diatas bukanlah hal yang bebas nilai, karena pendidikan tidak sewajarnya hanya diarahkan pada pemilikan ilmu pengetahuan dan teknologi atau kemahiran dan keakhlian tertentu. Tugasnya adalah membangun diri pribadi sebagai penanggung eksistensi, pengukuhan diri pribadi sebagai kesejatian berhubungan dengan pembentukan identitas diri yang mantap.
Oleh karena itu para pengajar baik guru atau dosen memahami metode da’wahnya Sunan Gunung Jati dalam mendidik dan mengajar sehingga terbentuk insan yang Imtaq dan menguasai iptek dengan mantap. Walaupun metode da’wah SGJ itu “tradisional”, namun masih relevan pada saat sekarang, misalnya metode yang pertama bila dipergunakan oleh guru dalam semua bidang studi akan banyak membawa manfaat.
Adapun Ibroh atau pelajaran yang bermanfaat dari metode berda’wah dari SGJ yang layak untuk diimplementasikan dalam sistem pendidikan kita diantarannya adalah:
1. Menyeru manusia (murid) menuju jalan yang diridhoi Alloh AWT. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman, dan perenungan tentang Islam, bertukar pikiran dari hati ke hati, penuh toleransi dan pengertian dari pihak pengajar kepada muridnya.
2. Sebagai upaya mengenalkan adanya Alloh SWT sedini mungkin, kalau nilai agama sudah kuat dimiliki anak didik, pelajaran apapun tidak akan menjadi masalah dan selalu dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan
3. Bila semua mata pelajaran disampaikan kepada murid atau siswa atau mahasiswa berdasarkan metode da’wahnya SGJ yang berlandaskan pada agama, akan mendekati kebenaran yang mutlak.
4. Pendidikan nasional harus mengakar pada kebudayaan nasional, yang merupakan hasil karya dari bangsa Indonesia sendiri, mengandung ciri ciri khasnya orang Indonesia dan menjadi kebanggaan

H. SUNAN MURIA
Sunan Muria adalah salah satu bagian dari Wali Songo. Dari caranya memilih lokasi padepokan, Sunan Muria menjadi wali yang paling eksotik. Padepokan itu terletak di kaki Gunung Muria, Jawa Tengah, tepatnya di Colo, yang dari kakinya sendiri masih harus mendaki jalan melingkar sepanjang 7 kilometer. Disebut kaki gunung, tapi posisinya berada di suatu puncak.
Sejarawan De Graaf dan Pigeaud berdasarkan sumber-sumber literer menyatakan dalam Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa (1974) bahwa semula Demak merupakan sebuah distrik yang “terletak di pantai selat yang memisahkan Pegunungan Muria dari Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik, sehingga kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang. Tetapi sudah sejak abad XVII jalan pintas itu tidak lagi dapat dilayari setiap saat.”
Dalam bukunya yang lain, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I (1961), De Graaf masih mencatat, “… residen ini dengan sebuah kapal kecil melewati daratan yang tergenang air di sebelah selatan Muria.” Dengan begitu, jika memang Sunan Muria hidup di abad XV, berarti ia menyeberangi selat itu lebih dahulu, sebelum mendaki sampai ke puncak Colo untuk mendirikan padepokannya.

Jangan Jadi Maling Kopo
Dalam legenda Maling Kopo, dikisahkan bahwa Sunan Muria menghadiri pesta tasyakuran (syukuran) di Juwana yang diadakan Ki Ageng Ngerang, kakek Juru Martani yang kelak akan menjadi pendukung penting Sutawijaya dalam mendirikan Kerajaan Mataram.
Konon pesta yang dihadiri murid-muridnya itu untuk mensyukuri tercapainya usia 20 dari putri Ki Ageng, yakni Dewi Roroyono. Adalah putri tersebut yang menghidangkan makanan dan minuman, yang membuat salah seorang muridnya, Adipati Pethak Warak, terpesona begitu rupa sehingga menculiknya malam itu juga dan membawanya ke Mandalika di wilayah Keling. Tentu saja ini membuat Ki Ageng murka. lantas menyayembarakan putrinya tersebut: Barangsiapa mampu mengembalikan Roroyono boleh menjadi suaminya. Sunan Muria yang mengajukan diri untuk merebut Roroyono, bukan karena bermaksud memperistri, melainkan sekadar membantu gurunya, karena ia sendiri juga sudah menikah.
Ketika ia berangkat, di jalan bertemu dengan dua bersaudara murid-murid Ki Ageng, yakni Genthiri dan Kopo. Mereka berdua langsung menawarkan bantuan, untuk menggantikan Sunan Muria, dan jika berhasil Roroyono tetap menjadi istri Sunan Muria.
Alhasil, dengan bantuan orang sakti bernama Wiku Lodhang Datuk, Roroyono berhasil diambil kembali. Apa boleh buat, malah sekarang Kopo tersebut jatuh cinta kepada Roroyono sampai jatuh sakit. Padahal, Roroyono sudah diperistri Sunan Muria. Prihatin atas penderitaan adiknya, Genthiri berangkat ke Muria bermaksud merebut Roroyono, tetapi ia tewas dalam adu kesaktian melawan murid-murid Sunan Muria. Mendengar berita ini, Kopo berangkat menyusulnya ketika Sunan Muria dan murid-muridnya turun gunung. Setelah berhasil menculik Roroyono, Kopo dengan cerdik membawanya ke Pulau Seprapat, tempat Wiku Lodhang Datuk bermukim. Namun orang sakti itu tidak bersedia membantunya, sehingga ketika murid Sunan Muria yang mengejarnya tiba, Kopo hanya bisa memberi perlawanan sebentar sebelum mati terbunuh. Sejak saat itu, istilah “Maling Kopo” diberikan kepada mereka yang membawa lari perempuan untuk dipaksa jadi istrinya.
Dari legenda ini, kita dapat meng-implementasi-kannya ke dalam kehidupan kita, agar kita “Jangan Jadi Maling Kopo” (orang yang membawa lari perempuan untuk dipaksa jadi istrinya)

I.MAULANA MALIK IBRAHIM

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah – kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Cara – cara inilah yang sekarang diimplikasikan oleh kebanyakan politikus kita dalam kehidupan berpolitk praktis untuk menggalang massa sebanyak – banyaknya dengan berkedok pada jargon “berpihak pada kawulo alit, wong cilik, dekat dengan rakyat dan sebagainya” demi mendapatkan dukungan dan simpati rakyat, dari yang hanya sekedar untuk memenangkan partainya, meraih kekuasaan sampai dengan yang benar – benar memperjuangkan aspirasi dan nasib rakyat.

Ajaran Filsafat Sunan Kalijaga Kepada Petani

Sunan Kalijaga mengajar petani dengan filsafat luku dan pacul,semua bagiannya mempunyai makna keagamaan yang dalam.Inilah cara wali mengajarkan kepada wong tani dengan kearifan lokal,sesuai dengan pengetahuan mereka.

Bagi wong tani,penemuan alat baru dibidang pertanian merupakan anugerah yang patut dipelajari dan diikuti.Sebab,peralatan baru itu pasti memberikan fasilitas kemudahan bagi para petani untuk bekerja lebih efisien,yaitu mudah dan murah,tetapi dengan hasil yang banyak.Salah satunya adalah penemuan luku (bajak) dan pacul (cangkul),yang konon diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga.

Soal penemuan bendanya bisa diperdebadkan,bisa saja kedua benda inilebih dulu ditemukan sebelum lahirnya Sunan Kalijaga.tetapi dalam hal ini,beliaulah yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai orang yang memberikan tafsir terhadap ajaran filsafat tentang luku dan pacul dengan segala maknanya.Dengan begitu,orang Jawa menganggap Sunan Kalijaga sebagai penemu luku dan pacul.

Sebelum ditemukan alat luku dan pacul ini,petani kuno menggunakan hewan,biasanya kerbau,untuk menginjak-injak tanah sebelum ditanamibenih padi.Hal seperti ini pernah terjadi ketika banyak petani Timor Timur pada tahun 1970-an yang belajar pertanian di pedesaan Jawa.Mereka menceritakan,di daerahnya sebelum menggunakan luku dan pacul,mereka mengolah sawah menggunakan kerbau yang digiring atauberlari-lari di area sawah.Setelah terbajak,baru sawah tersebut ditanami benih padi.Begitu juga,mungkin yang dilakukan petani pada abad ke-15 sebelum ditemukan luku dan pacul.

Konon,dalam cerita rakyat itu,banyak petani di tanah Jawa yang kemudian ngangsu kaweruh (mencari ilmu) ke Demak,khususnya ke Kadilangu,tempat kediaman Sunan Kalijaga.Kanjeng Sunan memberikan penjelasan tentang fungsi kedua alat ini secara teknis,juga ditambahi dengan berbagai makna lambing filsafah dari bagian-bagian luku dan pacul.Ajaran-ajaran itu kemudian dituturkan kepada para petani secara turun temurun.

Ajaran Sunan Kalijaga tentang pertanian,khususnya tafsir terhadap alat luku dan pacul merupakan ajaran yang diikuti wong tani secara turun temurun.Tentang luku,umpamanya,Kanjeng Sunan memberikan makna simbolis dan bagian-bagiannya yang mengandung ajaran-ajaran dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat.

Luku mempunyai bagian-bagian tertentuyang saling berhubungan dan menyatu,sehingga menjadikan alat itu fungsional secara efisien dan efktif.Pertama,cekelan atau pegangan.Maksudnya,manusia hidup harus memiliki pegangan,atau sebagai pedoman hidup.Bagi para murid Sunan kala itu,pedoman hidup itu adalah kepercayaan kepada Allah SWT dan mengikuti syariat Allah yang dibawa Nabi Muhammad SAW,yaitu agama islam.Karena itulah,banyak petani Jawa yang kemudian beralih agama ke islam.

Kedua,pancadan atau tumpuan.Maksud symbol benda ini adalah amalan.Semua ilmu atau pengetahuan itu harus diamalkan.dalam ajaran agama islam,setiap orang yang telah mengetahui ilmu atau pengetahuan agama harus mengamalkannya.Ada anjuran pula,”Sampaikanlah ilmu yang kamu dapat dari Al-Qur’an meski hanya satu ayat.”Jadi,pedoman hidup yang dimiliki itu harus diamalkan dan disampaikan kepada orang lain,sehinggakita tidak disebut jarkoni (bisa ngajar,ora bisa nglakoni).

Ketiga,tandhing atau pasak. Maksudnya adalah membanding-bandingkan. Disini bukan dalam arti iri dengki. Melainkan,ilmu perbandingan (komparasi) merupakan sarana bisa memutuskan secara tepat,apa pilihan yang terbaik dari berbagai macam pilihan yang ada.Kita memiliki pedoman hidup sendiri,tentu saja ada pedoman hidup lain diluar kita,maka pasti akan muncul perbandingan.Perbandingan inilah yang kemudian membuat orang Jawa yang pada waktu itu mengikuti ajaran-ajaran islam yang disampaikan Sunan Kalijaga,meninggalkan ajaran-ajaran atau pedoman hidup sebelumnya.Karena ajaran atau pedoman hidup yang baru itu ternyata lebih cocok dari pada pedoman sebelumnya.

Keempat,singkal atau alat pembalik tanah..Singkal ini diartikan secara singkat denagn makna sing sugih akal(kaya atau luas pemikirannya). Jadi,seorang petani tidak boleh lekas menyerah pada nasib,atau fatalis,tetapi harus bekerja keras dan berpikir cerdas,kreatif untuk mengolah sawah dengan pengelolaan (manajemen)serta alat baru (inovasi),sehingga menghasilkan kerja yang lebih baik. Penemuan alat-alat baru dibidang pertanian saat ini,seperti benihunggul,pupuk,mesin-mesin pertanian dsb.tidak lepas dari peran petani sendiri serta ilmuwan sing sugih akal. Begitu juga didalam kehidupan,selain tetap berpedoman pada agama,kita juga perlumenambah ilmu pengetahuan.Sebab,agama tanpa ilmu akan menjadi lumpuh,sebaliknya ilmu tanpa agama akan menjadi buta

Filosofi Ketan, Apem dan Kolak

Sebagai masyarakat Jawa tentu saja kita tidak lepas dari kebiasan-kebiasan atau istilahnya adat istiadat (tradisi) masing-masing daerah yang sekiranya dipercaya para warga masyarakat sejak nenek moyang kemudian masih saja dilaksanakan hingga sekarang. Tradisi tersebut seperti suran, ruwahan, nyadran, sedekah bumi, dekah desa, bancakan, dll.
Ada 2 versi pendapat dalam memandang tradisi-tradisi tersebut. Ada yang tidak setuju atau mereka sering menyebutnya dengan istilah bid’ah (yang pada zaman Rasul hal tersebut tidak ada atau tidak dilakukan oleh Rasul), karena menurut mereka hal seperti adalah hal yang tidak penting untuk dilakukan, kemudian hal tersebut dahulunya dilakukan oleh para nenek moyang yang beragama hindu atau budha untuk dipersembahkan kepada roh para leluhur. Sehingga dikatakan musrik atau menduakan Allah. Namun pendapat lain mengatakan, “semua perbuatan itu tergantung dari niatnya”, dari landasan tersebut tradisi-tradisi itu kini telah diadopsi sebagai salah satu budaya Jawa, yang mana memiliki tujuan yang baik yakni sebagai wujud rasa syukur atas semua nikmat yang telah diterima dari Allah SWT, sebagai media untuk mempererat tali persaudaraan antarwarga. Mereka yakin bahwa yang mereka lakukan bukanlah hal yang berdosa atau bid’ah.
Pada tradisi tersebut ada beberapa makanan yang dianggap wajib harus ada, yang mana makanan-makanan tersebut melambangkan simbol dan memiliki makna filosofi.  Makanan-makanan tersebut antara lain :
  Ø  Ketan
Makanan berwujud ketan karena jika dilihat dari namanya, yakni ketan berasal dari kata khotan dari bahasa Arab yang memiliki arti kesalahan. Khotan bisa menjadi ketan karena orang-orang Jawa yang sering kali merubah sebutan nama suatu hal agar mudah dalam pengucapan maupun dalam mengingatnya. Khotan yang memiliki arti kesalahan tadi, memiliki makna filosofi bahwa dari kesalahan inilah kita sebagai manusia dituntut supaya selalu mengingat akan perbuatan salah itu, yang berawal dari diri sendiri, kemudian diharapkan kita bisa selalu mengoreksinya.

  Ø  Apem
Yang tak asing lagi yakni apem. Apem berasal dari kata afwam atau afuan yang berarti permintaan maaf. Kita sebagai manusia diharapkan selalu bisa memberi maaf atau memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain.
  Ø  Kolak
Sementara kolak mengandung maksud pada kata kholaqo yang memiliki arti ‘mencipta’. Arti kholaqo tersebut tercipta sebuah kata kholiq atau khaliq. Ini artinya diharapkan agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada-Nya, yaitu untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal dan berada di alam barzah.
            Dari hal tersebut, tiap manusia berhak mau ikut pendapat yang versi mana, tiap manusia memiliki kewenangan atas hidup yang dijalaninya sendiri. Namun dengan catatan, hendaknya antarmanusia tetap menjaga kerukunan dalam hidup bermasyarakat.

Filosofi Wayang Kanjeng Sunan Kalijaga

Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah Wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999:153).

Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.

Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material.

Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempurna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal "Yang". Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”

Selanjutnya kata Sunan Bonang “Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhkan rasa cinta dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”

Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arjuna yang baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa)

Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita. Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)

Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadapan Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. Kata Arjuna:

    Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
    Menjadi hakekat seluruh Ada,
    sukar dijangkau
    Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
    Di dalam yang besar dan yang kecil,
    Yang baik dan yang jahat
    Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
    Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
    Bersifat Ada dan Tiada,
    Zakhir dan batin

  
Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan. Memang secara lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah salah satu inti ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.

Filosofi Kembang Mayang / Kembar Mayang

Sebagian orang beranggapan bahwa filosofi kembar mayang adalah, kembar itu berarti podho (sama) dan mayangitu adalah ati (hati). Jadi kembar mayang itu intinya menyatukan dua hati yang berbeda menjadi sama, memiliki tujuan yang sama.

Ada juga versi lain mengenai sejarahkembar mayang. Dalam tokoh mitos dikatakan bahwa dahulu jika ada seorang laki-laki yang mau meminang putri, maka sang putri minta syarat untuk dibawakan kembar mayang. Dan kembar mayang itu dibawa oleh sepasang Putri Domas dan Joko Kumolo .

Kembar mayang dibuat dari janur kuning . Janur diambil dari kata ja’a yang artinya datang , dan nur yang artinya cahaya. Dan kuning berasal dari istilah wening (sing wening) yang berarti Yang maha Kuasa. Wong urip iku tansah eling marang Seng Wening (orang hidup itu harus selalu ingat pada Yang Maha Kuasa). Jadi manusia harus tahu siapa yang menciptakannya dan kepada siapa dia nantinya akan kembali.

Berbagai macam warna yang ada dalam kembar mayang itu juga menggambarkan bahwa manusia memang tidak bisa hidup tanpa warna-warna itu yangdiibaratkan sebagai darah mereka. Darah biru yang ada di paru-paru, darah kuning berada di dalam sumsum tulang, darah putih atau bisa disebut sperma, dan darah merah yang mengalir ke seluruh tubuh.

Bagian-bagian dari kembar mayang pun juga sarat akan makna. Mulai dari payung-payungan - payung tunggul nogo - sebagai simbol mengayomi untuk kedua mempelai. Manuk-manukan (burung-burungan) yaitu burung merpati. Burung merpati adalah simbol kesetiaan, karena jika burung merpati sudah menempati pagupon (kandang merpati) dengan pasangannya dan memiliki anak, maka merpati tersebut tak akan pernah mencari pasangan lain. Dan seharusnya memang seperti itulah jika pengantin menjalani kehidupan rumah tangga nantinya.

Uler-uleran (ulat) dalam kembar mayang menggambarkan seorang suami yang bertugas mencari nafkah untuk keluarga. Simbol uler-uleran diartikan sebagai orang yang tirakat demi meraih kesuksesan. Memang, dalam mencari nafkah pun seseorang juga harus tirakat.

Filosofi dari keris menggambarkan manusia hendaknya mengikuti jalan hidup sesuai ajaran yang telah diwariskan oleh nabi.

Kembang panca warna yang menjadi bagian dari kembar mayang yang terdiri dari beringin, daun puring, daun andong dan daun lancur juga memiliki filosofi tersendiri. Beringin dimaksudkan agarkedua mempelai bisa mengayomi satu sama lain terutama keluarganya. Daun puring, supaya dapat menahan amarah dan tidak saling bertengkar. Daun andong, untuk menjaga sopan santun terhadap sesama. Daun lancur, manusia hendaknya mempunyaipikiran yang luas dan jangkauan yang panjang dalam mencari nafkah untuk memenuhi tanggung jawabnya.

Dan yang terakhir janur kuning yangdianyam membentuk seperti candi yang ternyata itu diartikan gunung-gunungan memiliki filosofi yang indah bahwasannya pernikahan ini diharapkan bisa seperti gunung yang sangat kokoh dan tegar. Setiap keluarga diharapkan juga seperti itu, tidak mudah goyah walau apapun rintangan yang dihadapi.

Dalam pernikahan adat jawa, sebelum acara nemokne manten atau kedua mempelai dipertemukan, ada ritual yang dinamakan nebus kembar mayang. Ritual ini seperti membeli kembar mayang dari si pembuatnya. Kembar mayang ditebus oleh orang tua dari pihak mempelai wanita dan selanjutnya dibawa oleh sepasang perawan dan perjaka atau disebut Putri Doma s / prawan sunthi dan Joko Kumolo.

Pada saat mempelai dipertemukan, Putri Domas/prawan sunthi dan Joko Kumolo yang bertugas membawa kembar mayang tadi mengiringi di sampingnya. Dalam membawa kembar mayang pun juga tidak asal dibawa, juga ada aturannya. Jika mempelai wanita masih dalam keadaan perawan, maka cara membawa kembar mayang pun harus diangkat sejajar pundak. Namun jika mempelai wanita sudah hamil – dalam hal ini istilah jawanya ngekarne – jadi pada saat menikah dulu belum dibuatkan kembar mayang, maka cara membawanya tidak bolehdi atas perut. Jika dibawa di atas perut ditakutkan roh suci yang ada di rahim sang ibu akan kalah dan nantinya bisa keguguran.

Adat ini memang dari Jawa. Orang Jawa percaya bahwa jika tidak ada kembar mayang dalam acara pernikahan maka nantinya akan menghambat datangnya rezekidalam berumah tangga.

Kembar mayang memang selalu ada dalam setiap acara pernikahan, namun tidak setiap orang tahu apa maksud dari adanya kembar mayang itu. Jangankan anak muda, orang tua pun jika ditanya anaknya mengenai kembar mayang juga belum tentu bisa menjelaskan. Sebagai orang Jawa asli setidaknya kita bisa memahami tujuan dari dibuatnya kembar mayang. Bukan hanya sekedar untuk pelestarian budaya, namun lebih dari itu adalah makna yang terkandung di dalamnya.

Cupu Manik Asta Gina, wasiat hidup Kanjeng Sunan Kalijaga

Salah satu peninggalan dari nenek moyang kita, yang perlu diuraikan agar menjadi pedoman hidup menuju masyarakat yang sejahtera adalah Asta-brata. Asta artinya delapan, brata artinya tindakan. Jadi, Asta-brata dapat diartikan sebagai delapan macam tindakan. Asta-brata ini diambil dari inti sari wasiat Cupu Manik Asta Gina, atau pegangan hokum bagi para dewa. Konon dengan berpegang pada hukum ini, para dewa dapat memimpin umat manusia menuju kesejahteraan dan kedamaian.

Kalau setiap orang, terutama para pemimpin, berpegang pada asta-brata, maka masyarakat yang sejahtera tidak mustahil terwujud di bumi ini. Adapun asta-brata secara mudah dan jelas digambarkan atau diwujudkan dalam rupa :
1. Wanita: wanita,
2. Garwa; jodoh
3. Wisma : rumah
4. Turangga : kuda tunggangan
5. Curiga : keris, atau senjata
6. Kukila : burung berkutut
7. Waranggana : ronggeng- penari wanita
8. Pradangga : gamelan-bebunyian berirama
Orang atau pemimpin yang utama harus memiliki (mengalami) delapan hal tersebut diatas.Banyak orang yang salah paham, berusaha mempunyai delapan rupa tersebut dalam wujud sebenarnya. Hal demikian ini takkan terwujud. Sesungguhnya delapan hal tersebut sekadar kiasan, dan bukan berarti setiap orang harus memiliki barangnya, tetapi memiliki atau mengalami arti dan wangsitnya.

Wanita, artinya seorang perempuan, yang elok dan cantik, siapapun yang melihat pasti ingin memilikinya. Maka yang dimaksud dengan wanita ini adalah suatu keindahan, sebuah cita-cita yang tinggi. Agar cita-cita itu dapat tercapai, maka orang perlu berusaha sekuat tenaga, belajar, tirakat dan sebagainnya, sebagaimana seorang pemuda yang ingin menggaet dan memiliki gadis cantik.

Garwa, artinya jodoh, suami istri, yang sehati. Garwo sering diartikan sigaraning nyawa, belahan jiwa, jiwa satu dibelah dua atau dua badan satu nyawa. Jadi garwa mengandung arti bahwa setiap orang harus dapat menyesuaikan diri, bisa bergaul dengan siapapun, semua orang dianggap sebagai kawan, hidup rukun dan damai, mencintai sesama, tidak membeda-bedakan orang. Semuanya dianggap sebagai garwa, teman sehidup semati.

Wisma, artinya rumah. Rumah adalah tempat berlindung memiliki ruangan yang luas berpetak-petak untuk menyimpan aneka macam barang. Semuannya dapat dimasukkan kedalam rumah. Demikianlah, setiap orang hendaknya bersifat rumah, yakni dapat menerima siapapun dan membutuhkan perlindungan, sanggup menyimpan dan mengatur segala sesuatu, pun dapat mengeluarkan pikiran dan bertindak bijaksana dan teratur menurut tempat, waktu dan kedaannya.

Turangga, berarti kuda tunggangan, yang kuat dan bagus. Kuda tunggangan bisa berlari cepat, bisa berlari pelan, bisa berjalan sambil menari-nari. Sebaliknya kuda tunggangan juga bisa berlari cepat dengan arah yang tak menentu, bisa terguling kedalam jurang, tergantung orang yang memegang tali kekang. Demikian halnya diri: badan jasmaniah, panca indra dan nafsu kita merupakan kuda tunggangan. Sedangkan jiwa adalah pengendaranya. Bila jiwa dapat menguasai, mengatur dan mengekang diri, maka pergaulan hidup kita akan teratur dengan baik. Sebaliknya, bila jiwa tak dapat menguasai diri, maka hidup kita akan seperti kuda tunggangan yang liar, berlari kesana kemari dan akhirnya tergelincir.

Curiga, artinya keris, senjata tajam yang dipuja-puja. Maka perlulah tiap orang terutama para pemimpin memiliki persenjataan hidup yang lengkap, kepandaian, keuletan, ketangkasan dan lain-lain. Begitu pula pikiran harus tajam, mampu menebak dengan dengan tepat, agar dapat bertindak tepat pula untuk kebahagiaan masyarakat.

Kukila, artinya burung, burung berkutut yang dipelihara di Jawa, untuk didengarkansuaranya, yang merdu, enak didengar, menentramkan sanubari. Demikianlah, setiap kata yang keluar dari mulut hendaknya enak didengar, lemah lembut, menentramkan orang yang mendengarkannya. Setiap kata yang keluar harus tegas dan bersifat memperbaiki dan membangun, agar siapapun yang mendengar bisa terpikat dan mengindahkannya.

Waranggana, artinya tandak atau ronggen, untuk pandangan waktu menari. Pada zaman dewa-dewa, ini disebut Lenggot-bawa. Peraturannya seperti ini : seorang warangga menari di tengah kerumunan orang, bersama seorang lelaki yang ikut menari. Diempat penjuru ada penari laki-laki yang menari, seakan-akan ikut menggoda si waranggana agar memalingkan mukanya dari yang lelaki yang tengah menari.

Maknah gambaran di atas adalah: dalam usaha meraih cita-cita yang mulia( waranggana), pasti akan banyak kita jumpai godaan yang mencoba menghalang-halangi pencapaian cita-cita tersebut

Filosofi PANDAWA menurut Kanjeng Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga atau Raden Seca atau Raden Syahid atau Raden Said adalah salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Indonesia yang media dakwahnya beraneka macam, dan salah satunya adalah melalui seni pewayangan. Wayang purwa asli peninggalan zaman Hindu yang disebut wayang beber karena tokoh-tokohnya dilukis hanya pada selembar kulit oleh Sunan Kalijaga diubah, tiap tokoh ditatah sendiri-sendiri seperti yang kita jumpai sekarang. Untuk menghindari larangan agama waktu itu, tokoh-tokoh tersebut dibuat serba pipih, tidak persis seperti manusia biasa. Anehnya, malah membuat makin tinggi cita rasa dan nilai seninya serta menimbulkan kesan unik. Dipadukannya ajaran Islam dengan filosofi pewayangan sehingga banyak bangsawan dan cendekiawan yang tertarik untuk menjadi pengikutnya.
 
Rukun Islam yang lima perkara, misalnya, digambarkan melalui lima ksatria Pandawa. Walaupun diancam dan dicurangi Kurawa, mereka selalu berjaya bahkan berhasil memenangkan pertempuran di medan Kurusetra dalam palagan atau perang Bharatayudha.
pandawan

Rukun pertama dijelmakan dalam tokoh tertua Yudhistira alias Samiaji atau Puntadewa. Dengan senjata pamungkasnya, Jimat Kalimosodo, alih kata dari Kalimah Syahadat, raja bijaksana itu tidak pernah kalah dan tidak pernah putus asa. Ia selalu sabar menghadapi musibah, senantiasa berbaik sangka kepada setiap orang, dan kalau perlu mengalah demi menjaga persatuan menuju kejayaan.

Rukun kedua, salat (fardhu), diisyaratkan melalui Raden Werkudara atau Bima (Brathasena), yang tidak pernah duduk dan selalu siap dengan kuku Pancanakanya. Artinya, salat lima waktu tidak boleh tidak mesti ditegakkan dalam keadaan apapun. Sedang sakit pun salat harus tetap dikerjakan seperti halnya Bima yang selalu berdiri kokoh setiap saat. Lewat pelaksanaan salat, derajat manusia tidak dibeda-bedakan, termasuk antara orang kecil dan pembesar negara sekalipun. Hal itu diibaratkan sama dengan sikap Werkudara yang tidak pernah memakai bahasa halus kromo inggil dan tetap berbicara ngoko kepada semua orang, tanpa bermaksud kurang ajar.

Rukun ketiga, puasa (dalam bulan Ramadan), menggunakan lambang Raden Arjuna (Raden Permadi), ksatria Pandawa yang paling ganteng dan digandrungi kaum wanita. Persis seperti orang berpuasa, godaan hawa nafsu banyak sekali. Andaikata tidak kuat menghindarinya, pasti akan jebol pertahanannya.

Rukun keempat dan kelima, zakat dan haji, digambarkan sebagai dua ksatria kembar, Nakula dan Sadewa. Mereka adalah tokoh yang tidak sering muncul, sebagaimana zakat dan haji yang hanya diwajibkan bagi orang-orang yang mampu. Akan tetapi, tanpa Nakula dan Sadewa, Pandawa akan rapuh dan hancur. Begitu pula umat Islam, jika tidak ada para hartawan yang sanggup membayar zakat dan menunaikan haji, fakir miskin akan terancam oleh kekafiran dan pemurtadan. Kesenjangan antara orang kaya dan orang melarat tidak akan terjembatani.

Falsafah Jawa, yang diajarkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga

1. Urip Iku Urup
(Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekit
ar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik)

2. Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro
(Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan;serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).

3. Suro Diro Joyo Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
(segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dgn sikap bijak, lembut hati dan sabar)

4. Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpa Bondho
(Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan; Kaya tanpa didasari kebendaan)

5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
(Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).

6. Ojo Gumunan, Ojo Getunan, ojo Kagetan, ojo Aleman
(Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja).

7. Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
(Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).

8. Ojo Kuminter Mundak Keblinger, ojo Cidra Mundak Cilaka
(Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka).

9. Ojo Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo
(Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).

10. Ojo Adigang, Adigung, Adiguno
(Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti).