This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Showing posts with label Psikologi. Show all posts
Showing posts with label Psikologi. Show all posts

Thursday, 11 April 2013

Upaya Guru Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa SD/MI,SMP/MTs,SMA/SMK/MA

Seperti diketahui, motivasi belajar pada siswa tidak sama kuatnya. Pada siswa yang motivasinya bersifat intrinsik, kemauan belajarnya lebih kuat dan tidak tergantung pada faktor di luar dirinya. Sebaliknya dengan siswa yang motivasi belajarnya bersifat ekstrinsik, kemauan untuk belajar sangat tergantung pada kondisi di luar dirinya. Namun demikian, di dalam kenyataan motivasi ekstrinsik inilah yang banyak terjadi, terutama pada anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, upaya menimbulkan dan meningkatkan motivasi belajar, khususnya oleh guru merupakan suatu hal yang perlu dan wajar (Max Darsono, 2001 : 68).
Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan motivasi belajar siswa adalah sebagai berikut:
 
1. Mengoptimalkan Penerapan Prinsip-prinsip Belajar
Ada beberapa prinsip yang terkait dalam proses belajar, misalnya perhatian siswa, keaktifan siswa, keterlibatan langsung siswa, materi pelajaran yang merangsang, dan lain-lain. Agar motivasi belajar siswa meningkat, hendaknya guru berusaha menciptakan situasi kelas yang kondusif, sehingga perhatian, keterlibatan siswa, dan lain-lain yang termasuk prinsip balajar dapat berfungsi secara optimal.
 
2. Mengoptimalkan Unsur-unsur Dinamis dalam Belajar
Unsur-unsur dinamis dalam belajar maksudnya adalah unsur-unsur yang keberadaannya dapat berubah-ubah, dari tidak ada menjadi ada, dari keadaan lemah menjadi menguat. Unsur-unsur ini meliputi bahan mengajar dan upaya pengadaannya, alat bantu mengajar dan upaya pengadaannya, suasana belajar dan upaya pengembangannya, kondisi siswa dan upaya penyiapannya.
 
3. Mengoptimalkan Pemanfaatan Pengalaman yang Telah Dimiliki Siswa
Siswa lebih senang mempelajari materi pelajaran yang baru, apabila siswa mempunyai latar belakang untuk mempelajari materi baru tersebut. Oleh karena itu, guru harus pandai memilih contoh-contoh untuk menjelaskan suatu konsep baru, contoh-contoh ini hendaknya banyak terdapat di lingkungan siswa.
 
4. Mengembangkan Cita-cita atau Aspirasi Siswa
Setiap siswa mempunyai cita-cita dalam belajar. Namun tidak semua siswa dapat mencapai kesuksesan tersebut. Kesuksesan biasanya dapat meningkatkan aspirasi, dan kegagalan mengakibatkan aspirasi rendah. Untuk meningkatkan aspirasi ini, hendaknya guru tidak menjadikan siswa selalu gagal. Kegagalan yang berkepanjangan menyebabkan siswa menjadi tidak bergairah dalam mencapai cita-citanya. Sebaiknya guru memberi kesempatan kepada siswa untuk merumuskan tujuan belajar yang sesuai dengan kemampuannya, sehingga motivasi mereka untuk mencapai tujuan itu lebih kuat.
Aktivitas belajar bukanlah suatu kegiatan yang dilakukan tanpa pengaruh dari faktor lain. Aktivitas belajar merupakan kegiatan yang melibatkan unsur jiwa dan raga. Belajar tidak akan pernah dilakukan tanpa suatu dorongan yang kuat baik dalam dirinya yang lebih utama maupun dari luar sebagai upaya lain yang tidak kalah pentingnya. Faktor lain yang mempengaruhi aktivitas belajar seseorang itu dalam pembahasan ini disebut motivasi. Motivasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam aktivitas belajar siswa. Tidak ada seorang pun yang belajar tanpa motivasi. Tidak ada motivasi berarti tidak ada kegiatan belajar.
Prestasi belajar yang memuaskan dapat diraih oleh setiap siswa jika mereka dapat belajar secara wajar, terhindar dari berbagai ancaman, hambatan, dan gangguan. Salah satu contoh dari ancaman tersebut adalah kurangnya motivasi belajar siswa. Pada tingkat tertentu memang ada siswa yang dapat mengatasi kesulitan belajarnya, tanpa harus melibatkan orang lain. Tetapi pada kasus-kasus tertentu, karena siswa belum mampu mengatasi kesulitan belajarnya, maka bantuan guru atau orang lain sangat diperlukan oleh siswa tersebut.
Berikut adalah upaya guru dalam meningkatkan motivasi belajar bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar:
 
1. Pergunakan Pujian Verbal
Kata-kata seperti ”bagus”, ”baik”, ”pekerjaanmu baik”, yang diucapkan guru kepada siswa setelah selesai mengerjakan yang diperintahkan atau mendekati tingkah laku yang diinginkan, merupakan pembangkit motivasi yang besar.
2. Pergunakan Tes dan Nilai Secara Bijaksana
Kenyataan bahwa tes dan nilai dipakai sebagai dasar berbagai hadiah sosial menyebabkan tes dan nilai dapat menjadi suatu kekuatan untuk memotivasi siswa. Siswa belajar karena ada keuntungan yang diperoleh dengan nilai yang tinggi. Dengan demikian, memberikan tes dan nilai mempunyai efek dalam memotivasi siswa untuk belajar.
3. Membangkitkan Rasa Ingin Tahu dan Hasrat Eksplorasi
Di dalam diri siswa ada potensi yang besar yaitu rasa ingin tahu terhadap sesuatu. Potensi ini dapat ditumbuhkan dengan menyediakan lingkungan belajar yang kreatif. Rasa ingin tahu pada anak didik melahirkan kegiatan yang positif, yaitu eksplorasi. Keinginan siswa untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru merupakan desakan eksploratif dari dalam diri siswa. Motivasi akan terus meningkat jika dalam diri siswa sudah ada rasa ingin tahu dan hasrat eksplorasi.
4. Melakukan Hal yang Luar Biasa
Untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, guru harus dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, misalnya menceritakan masalah guru dalam belajar di masa lalu ketika sedang sekolah seperti mereka, sehingga setelah mendengar cerita dari guru siswa akan lebih bersemangat dalam belajar dan prestasi siswa akan meningkat. Melakukan hal yang luar biasa merupakan upaya yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan motivasi belajar terutama bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar.
5. Merangsang Hasrat Siswa
Hasrat siswa perlu dirangsang dengan memberikan sedikit contoh hadiah yang akan diterimanya bila ia berusaha dan berprestasi dalam belajar. Hadiah yang diberikan kepada siswa dapat berupa benda, pujian verbal, nilai yang baik dan lain-lain yang akan merangsang hasrat siswa sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
6. Memanfaatkan Apersepsi Siswa
Pengalaman siswa baik yang didapat di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah dapat dimanfaatkan ketika guru sedang menjelaskan materi pelajaran. Siswa mudah menerima dan menyerap materi pelajaran dengan menghubungkan bahan pelajaran yang telah dikuasainya. Bahan apersepsi merupakan seperangkat materi yang dikuasai yang memudahkan untuk menuju materi pelajaran yang baru.
7. Minta Kepada Siswa untuk Mempergunakan Hal-hal yang Sudah Dipelajari Sebelumnya
Hal ini menguatkan belajar siswa dan sekaligus menanamkan suatu penghargaan pada diri siswa, bahwa apa yang sedang dipelajarinya sekarang, juga berhubungan dengan pengajaran yang akan datang.
8. Membantu kesulitan belajar peserta didik, baik secara individual maupun kelompok.
Membantu kesulitan peserta didik dengan cara memperhatikan proses dan hasil belajarnya.  Dalam proses belajar terdapat beberap unsur antara lain yaitu penggunaan metode untuk mennyampaikan materi kepada para siswa. Metode yang menarik yaitu dengan gambar dan tulisan warna-warni akan menarik siswa untuk  mencatat dan  mempelajari materi yang telah disampaikan..
9. Menggunakan metode yang bervariasi.
Meningkatkan motivasi belajar dengan menggunakan metode pembelajaran yang variasi. Metode yang bervariasi akan sangat membantu dalam proses belajar dan mengajar. Dengan adanya metode yang baru akan mempermudah guru untuk menyampaikan materi pada siswa.
10. Menggunakan media pembelajaran yang baik, serta harus sesuai dengan tujuan pembelajaran.
11. Perkecil Daya Tarik Sistem Motivasi yang Bertentangan
Kadang agar diterima oleh teman-temannya, siswa melakukan hal-hal yang tidak diinginkan oleh guru. Dalam hal ini guru sebaiknya melibatkan ketua kelas yang berperan sebagai pemimpin dan sebagai contoh siswa yang lain di kelas itu, dalam aktivitas yang berguna (menyusun tes, mewakili sekolah dalam pameran ilmiah, dan sebagainya) sehingga teman-temannya akan meniru melakukan hal-hal yang positif.
Dalam interaksi edukatif tidak semua siswa termotivasi untuk bidang studi tertentu. Motivasi siswa untuk menerima pelajaran tertentu berbeda-beda, ada siswa yang memiliki motivasi yang tinggi, ada yang sedang, dan ada juga yang sedikit sekali memiliki motivasi. Hal ini perlu disadari oleh guru agar dapat memberi motivasi yang bervariasi kepada siswa.
Jika terdapat siswa yang kurang termotivasi untuk belajar, peranan motivasi ekstrinsik yang bersumber dari luar diri siswa sangat diperlukan. Motivasi ekstrinsik ini di berikan bisa dalam bentuk pujian, hadiah, dan lain-lain. Tugas guru sekarang adalah bagaimana menciptakan interaksi edukatif yang dapat mendorong rasa ingin tahu, ingin mencoba, bersikap mandiri, dan ingin maju. Siswa dapat tumbuh dan berkembang yang pada akhirnya menopang keberhasilan pengajaran yang gemilang.
Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh manusia untuk dapat menyesuaikan dan akhirnya untuk mendapatkan kepuasan ini disebut dinamika manusia. Tugas guru dalam memberikan motivasi siswa adalah mengingat adanya dinamika siswa dan membimbing dinamika siswa. Maksudnya ialah supaya anak yang belajar dalam membentuk dinamika manusia ini tidak melalui pengalaman-pengalaman yang kurang baik.
Adanya pandangan beberapa ahli yang menekankan segi-segi tertentu pada motivasi tersebut justru mengisyaratkan guru bertindak taktis dan kreatif dalam mengelola motivasi belajar siswa. Motivasi belajar dihayati, dialami, dan merupakan kekuatan mental siswa dalam belajar. Dari siswa, motivasi tersebut perlu dihidupkan terus untuk mencapai hasil belajar yang optimal dan dijadikan dampak pengiring, yang selanjutnya menimbulkan program belajar sepanjang hayat, sebagai perwujudan emansipasi kemandirian tersebut terwujud dalam cita-cita atau aspirasi siswa, kemampuan siswa, kondisi siswa, dan dinamika siswa dalam belajar. Dari guru, motivasi belajar pada siswa berada dalam lingkup program dan tindak pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus berupaya untuk meningkatkan motivasi belajar.
Prestasi belajar yang baik dapat diraih oleh setiap siswa jika mereka dapat belajar secara wajar, terhindar dari berbagai ancaman, hambatan, dan gangguan. Namun sayangnya ancaman, hambatan, dan gangguan dialami oleh siswa tertentu. Sehingga mereka mengalami kesulitan dalam belajar. Di setiap sekolah dalam berbagai jenis dan tingkatan pasti memiliki siswa yang berkesulitan belajar. Masalah yang satu ini tidak hanya dirasakan oleh sekolah modern di perkotaan, tapi juga dimiliki oleh sekolah tradisional di pedesaan dengan segala keminiman dan kesederhanaannya. Hanya yang membedakannya pada sifat, jenis, dan faktor penyebabnya.
Setiap kali kesulitan belajar siswa yang satu dapat diatasi, tetapi pada waktu yang lain muncul lagi kasus kesulitan belajar siswa yang lain. Dalam setiap bulan atau bahkan dalam setiap minggu tidak jarang ditemukan siswa yang berkesulitan belajar. Walaupun sebenarnya masalah yang mengganggu keberhasilan belajar siswa ini sangat tidak disenangi oleh guru dan bahkan oleh siswa itu sendiri. Tetapi disadari atau tidak kesulitan belajar datang pada siswa. Namun, begitu usaha demi usaha harus diupayakan dengan berbagai strategi dan pendekatan agar siswa dapat dibantu keluar dari kesulitan belajar. Sebab bila tidak, siswa akan mengalami kegagalan dalam meraih prestasi belajar yang memuaskan.
Kenyataan-kenyataan di atas membuktikan betapa pentingnya meningkatkan motivasi belajar siswa terutama bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Guru sebagai orang yang membelajarkan siswa sangat berkepentingan dengan masalah ini. Oleh karena itu, sebagai guru atau calon guru sebisa mungkin kita harus selalu berupaya untuk dapat meningkatkan motivasi belajar terutama bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar dengan menggunakan berbagai upaya.

Faktor - Faktor penyebab kesulitan Belajar pada Siswa

Faktor penyebab kesulitan Belajar pada murid SD MI SMP dan SMA. Teori kenali, pahami dan cari solusi nya bener-bener bisa kita praktekkan disini karena masing-masing peserta didik mempunyai latar belakang dan masalah yang berbeda. Sebelum ke pokok pembahasan mari kita pelajari dulu pengertian kesulitan belajar?
Kajian Teori tentang Motivasi Belajar
 
1. Pengertian Kesulitan Belajar
Aktivitas belajar bagi setiap individu, tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat terkadang semangatnya tinggi, tetapi terkadang juga sulit untuk mengadakan konsentrasi.
Kesulitan belajar itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris learning disability. Kesulitan belajar merupakan suatu konsep multi disipliner yang digunakan di lapangan ilmu pendidikan, psikologi, maupun ilmu kedokteran.
The National Joint Committe for Learning Disabilities (dalam Mulyono Abdurrahman, 1999 : 7) mengemukakan definisi kesulitan belajar adalah sebagai berikut; kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut intrinsik, dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tuna grahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat dan faktor-faktor psikogenik. Berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung.
Dari uraian di atas

Sunday, 10 March 2013

Proposal Pernikahan

Sepi gak ada teman, bingung mau ngapain, akhirnya iseng browsing, ndelalah dapat artikel menarik ini :))


PROPOSAL PERNIKAHAN
(Ayat Al - Qur'an dan Hadits Tentang Pernikahan)
 
LATAR BELAKANG
Ibunda dan Ayahanda yang sangat saya hormati, saya cintai dan sayangi, semoga Allah selalu memberkahi langkah-langkah kita dan tidak putus-putus memberikan nikmatNya kepada kita. Amin
Ibunda dan Ayahanda yang sangat saya hormati..sebagai hamba Allah, saya telah diberi berbagai nikmat. Maha Benar Allah yang telah berfirman : "Kami akan perlihatkan tanda-tanda kebesaran kami di ufuk-ufuk dan dalam diri mereka, sehingga mereka dapat mengetahui dengan jelas bahwa Allah itu benar dan Maha Melihat segala sesuatu".
Nikmat tersebut diantaranya ialah fitrah kebutuhan biologis, saling membutuhkan terhadap lawan jenis.. yaitu: Menikah! Fitrah pemberian Allah yang telah lekat pada kehidupan manusia, dan jika manusia melanggar fitrah pemberian Allah, hanyalah kehancuran yang didapatkannya..Na'udzubillah ! Dan Allah telah berfirman : "Janganlah kalian mendekati zina, karena zina adalah perbuatan yang buruk lagi kotor" (Qs. Al Israa' : 32).
Ibunda dan Ayahanda tercinta... melihat pergaulan anak muda dewasa itu sungguh amat memprihatinkan, mereka seolah tanpa sadar melakukan perbuatan-perbuatan maksiat kepada Allah. Seolah-olah, dikepala mereka yang ada hanya pikiran-pikiran yang mengarah kepada kebahagiaan semu dan sesaat. Belum lagi kalau ditanyakan kepada mereka tentang menikah. "Saya nggak sempat mikirin kawin, sibuk kerja, lagipula saya masih ngumpulin barang dulu," ataupun Kerja belum mapan , belum cukup siap untuk berumah tangga”, begitu kata mereka, padahal kurang apa sih mereka. Mudah-mudahan saya bisa bertahan dan bersabar agar tak berbuat maksiat. Wallahu a'lam.
Ibunda dan Ayahanda tersayang..bercerita tentang pergaulan anak muda yang cenderung bebas pada umumnya, rasanya tidak cukup tinta ini untuk saya torehkan. Setiap saya menulis peristiwa anak muda di majalah Islam, pada saat yang sama terjadi pula peristiwa baru yang menuntut perhatian kita..Astaghfirullah.. Ibunda dan Ayahanda..inilah antara lain yang melatar belakangi saya ingin menyegerakan menikah.



DASAR PEMIKIRAN

Tuesday, 22 May 2012

Makna Filosofis Warna

Hitam
Warna hitam adalah lambang kematian. Kebanyakan bangsa-bangsa di dunia mengenakan pakaian warna hitam pada waktu upacara kematian. Hitam sendiri mempunyai tafsir yang sangat banyak karena warna ini merupakan kombinasi dari semua warna. Yang paling umum dari pemaknaan warna hitam adalah kesan misterius. Dalam filem-filem fiksyen, hantu, penyihir, dan mahkluk jadi-jadian sering digambarkan dengan kostum dan atribut yang serba hitam.
Respon Psikologi: Power, Seksualiti, Kecanggihan, Kematian, Misteri, Ketakutan, Kesedihan, Keanggunan.

Jingga
Warna jingga sesuai untuk meningkatkan komunikasi kerana membawa keceriaan, kegembiraan kreativiti, ambitious dan rasa humor. Selain itu warna jingga juga memberikan rasa hangat dan menciptakan atmosfera yang akrab pada ruangan. Kerana sifatnya tadi, warna jingga amat sesuai jika digunakan diruang keluarga dalam rumah untuk memberikan rasa hangat dan akrab. Dapur dan ruang makan kita juga sesuai jika diberi warna jingga kerana boleh membangkitkan selera.
Warna jingga di ruang kerja boleh meningkatkan kreativiti dan semangat kerja. Konsentrasi juga boleh ditingkatkan dengan warna jingga menjadi warna utama di ruang belajar. Warna jingga juga bermanfaat bagi ibu menyusui kerana meningkatkan produksi air susu. Namun patut diperhatikan pemakaian warna jingga yang berlebihan boleh menyebabkan tingkahlaku yang tidak bertanggung jawab, rasa resah dan gelisah.
Respon Psikologi: Energy, Keseimbangan, Kehangatan.

Psikologi warna

Warna dapat menenangkan dan membuat kita santai; mereka dapat membangkitkan energi, membuat kita aktif dan menyegarkan. Warna-warni dapat menyembuhkan, menambah semangat, memulihkan dan menyeimbangkan.
Hubungan antara prefensi warna dengan keperibadian, boleh dilihat dari warna-warna dominan. Misalnya orang yang senang warna cerah biasanya orangnya energik dan kelihatan selalu ceria. Tapi, kurang tepat juga menilai keperibadian seseorang berdasarkan warna kegemaran sahaja. Sifat manusia banyak sekali. Biarpun tidak dapat dinyatakan daripada sudut saintifik, umum menerima warna mempunyai karektor atau sifat yang berbeza dan mempunyai pengaruh dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk personaliti. Berikut merupakan beberapa maksud warna asas yang dikaitkan dengan peribadi seseorang :

Pengenalan Sejarah Pendidikan Kebutuhan Khusus Menuju Inklusi


Pendidikan kebutuhan khusus dapat secara singkat dijelaskan sebagai pendidikan bagi orang yang berkebutuhan khusus dan menyandang kecacatan. Fokus utamanya adalah kemungkinan dan hambatan dalam pengajaran dan belajar yang terdapat dalam faktor-faktor masyarakat, dalam praktek dan teori pendidikan, dan dalam pluralitas kebutuhan khusus individu dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, pendidikan kebutuhan khusus merupakan sebuah disiplin pendidikan dengan orientasi baru yang didasari hasil pemikiran yang kritis.

Pendidikan kebutuhan khusus merupakan disiplin ilmu yang masih muda dengan akar yang sudah tua, yang membentang dari kebudayaan kuno Mediterania hingga sejarah modern Eropa3. Di mana sumber disiplin ilmu ini? Apakah tema utamanya, masalah dan terminologi sentralnya, titik fokus dan perbedaan yang menandainya? Aspek-aspek apa dari konteks sejarah dan masyarakat yang disentuh oleh disiplin ilmu ini dan bagaimana aspek sejarah dan masyarakat mempengaruhinya? Pertanyaan-pertanyaan ini memberikan kontribusi pada konstruksi rekaman sejarah yang disajikan di sini.

Penyajiannya didasarkan atas sudut pandangan sejarah prinsip pendidikan inklusif, yang dibahas dalam artikel lain dalam buku ini. Oleh karena itu, pencarian akar disiplin ilmu ini diarahkan pada dua arena, pertama pada sejarah sekolah dasar biasa. Arena lainnya adalah berbagai upaya dan institusi pendidikan khusus di luar sekolah umum. Artikel ini merupakan presentasi sejarah pendidikan kebutuhan khusus Norwegia menurut pandangan tren Nordik dan Eropa.

Siswa yang berkebutuhan khusus di awal sejarah sekolah umum
Dalam konteks Eropa, sekolah dasar di Norwegia mempunyai sejarah yang sangat panjang sejak pengesahannya secara resmi oleh Raja Christian VI pada tahun 1739. Fondasi sekolah ini, yaitu “untuk semua dan setiap orang”, merupakan upaya utama dalam bidang pendidikan pada waktu itu, yang dilaksanakan oleh monarki otokratik, dan sangat dipengaruhi oleh ideologi Kristen pietism4 dan cameralism5. Sekolah merupakan elemen kunci dalam proyek melek huruf keagamaan yang dikembangkan untuk memfasilitasi tanggung jawab individual setiap orang kepada Tuhan Kristen di samping untuk alasan-alasan praktis. Membutuhkan seratus tahun sejak ditetapkannya undang-undang ini hingga terlembagakannya sekolah dasar sebagai institusi pendidikan permanen bagi semua orang di seluruh bagian negeri ini. Isi pelajaran pada awal sejarah sekolah dasar ini adalah membaca dan penjelasan tentang bagian-bagian tertentu dari doktrin Kristen. Akan tetapi, sejak didirikannya, sekolah dasar Norwegia ini telah memperluas isinya, dan sekarang telah mencakup sepuluh mata pelajaran wajib, dengan mata pelajaran “Pengetahuan Kristen dan Pendidikan agama dan Etika” sebagai mata pelajaran minor (KUF 1997/1999)

Sejak awal tahun 1739, dibuat keputusan bahwa sekolah harus untuk “semua dan setiap orang”. Sejak waktu itu, sekolah bebas biaya. Namun, dalam kaitannya dengan kepedulian kita dewasa ini, pertanyaan kuncinya adalah apakah sekolah itu benar-benar bagi semua orang, termasuk anak-anak penyandang cacat dan berkebutuhan khusus yang memerlukan dukungan pendidikan. Seberapa besarkah kesadaran para pendeta pietistic yang idealis, yang berhasil mengembangkan proyek pendidikan yang sangat besar ini, akan kenyataan bahwa anak-anak berbedar-beda dalam cara belajarnya dan kebutuhannya akan dukungan?

Erik Pontoppidan (1698-1764) adalah salah seorang penggagas utama sekolah baru ini. Atas perintah Raja, dia membuat buku pelajaran pertama, yang disebut Penjelasan Pontoppidan, yang menjadi buku teks yang paling banyak digunakan sepanjang sejarah sekolah dasar Norwegia. Di samping itu, dia juga menulis tentang pendidikan dalam banyak teks lainnya. Sebagai Uskup Bergen, dia telah berusaha keras untuk menerapkan undang-undang baru tentang sekolah untuk semua orang, di antaranya dengan mendirikan lembaga pendidikan guru yang pertama di seluruh negeri (yang sayangnya hanya bertahan dalam waktu yang singkat).

Dalam tulisannya tentang pendidikan, Pontoppidan menunjukkan bahwa dia menyadari bahwa anak-anak belajar dengan cara yang berbeda-beda dan dengan kecepatan yang berbeda-beda. Penjelasan Pontoppidan adalah buku tebal dengan banyak halaman, dan para siswa diharapkan mampu menghafalnya di luar kepala. Akan tetapi, dia menandai beberapa bagian buku teks itu dengan menggarisi bagian tepinya, untuk menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak penting dipelajari oleh siswa yang mempunyai kesulitan karena alasan internal atau eksternal. Ini merupakan contoh pertama yang diketahui tentang pembedaan isi dalam sejarah sekolah dasar biasa. Dalam teksnya yang lain terdapat pula sebuah contoh tentang apa yang kini disebut pendidikan yang diadaptasikan secara individual. Ada cerita mengenai anak perempuan yang tidak dapat atau tidak ingin belajar teks wajib. Baik orang tuanya maupun kepala sekolahnya memandang anak itu sebagai siswa yang lambat belajar. Namun, pendeta yang bertanggungjawab atas semua sekolah dan siswa di wilayah gerejanya mulai memberikan pelajaran secara individual kepada anak perempuan itu. Dalam hal ini pendeta tersebut mengkombinasikan buku pelajaran tradisional itu dengan beberapa buku teks lainnya, cerita dan dialog, sambil terus melakukan asesmen bagaimana bermacam-macam materi dan dan metode berpengaruh terhadap motivasi dan belajar anak perempuan tersebut. Mereka berhasil memotivasi belajar anak itu sehingga dia berhasil mencapai penguasaan yang diwajibkan.

Sebagaimana dapat dilihat, buku teks pendidikan yang dirancang oleh Pontoppidan itu mengandung sejumlah contoh tentang kesadarannya akan perbedaan individual dalam hal peluang belajar serta berisikan sejumlah rekomendasi tentang metode pengajaran yang tepat untuk menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan individu yang berbeda-beda. Sejumlah kecil contoh gagasan semacam ini ditemukan dalam teks pendidikan selama sejarah pendidikan dasar di abad ke-18 dan ke-19. Teks-teks ini juga menunjukkan adanya pertukaran gagasan antara Norwegia dan negara-negara Nordik serta beberapa bagian Eropa lainya. Pemikiran-pemikiran para ahli seperti Johan Amos Comenius dari Cekoslowakia (1592-1670), Francke dari Halle di Jerman yang telah disebutkan di muka, dan kemudian John Locke dari Inggris (1632-1704), Jean-Jaques Rousseau (1712-1778) dari Perancis dan Johann H. Pestalozzi dari Swiss (1746-1827), ditafsirkan dan dibahas.

Namun terdapat juga cerita-cerita yang menunjukkan ketakutan dan kebencian terhadap anak dan remaja dengan kesulitan belajar dan kecacatan. Dalam tradisi Lutheran di Eropa Utara, yang disebut sebagai konfirmasi adalah bentuk ujian yang besar, yang membuka jalan bagi hak-hak orang dewasa. Mungkin kerugian yang paling besar bagi mereka yang tidak berhasil lulus dari ujian konfirmasi itu adalah bahwa mereka tidak diperkenankan untuk menikah. Menurut undang-undang yang berlaku saat itu, anak muda yang karena berbagai alasan tidak bersekolah dan tidak berhasil dalam belajar pengetahuan dasar yang diwajibkan untuk lulus dari ujian konfirmasi, dapat dimasukkan ke “rumah koreksi” dan bahkan di penjara, di mana mereka dipaksa untuk belajar. Ada dua jenis kecacatan yang tidak dapat diterima untuk konfirmasi, yaitu gila (mungkin yang kini kita sebut psikosis parah atau tunagrahita) dan tunarungu prabahasa. Sesungguhnya, apakah orang yang menjadi tuli sebelum belajar bahasa itu dapat dididik atau tidak, telah menjadi bahan perdebatan selama beberapa abad, yang jejak argumentasinya ditemukan sejak awal era Protestan Lutheran hingga dekade terakhir abad kesembilan belas. Protoppidan adalah di antara mereka yang menentang edukabilitas orang tunarungu prabahasa itu (Johnsen 2000). Konsekuensi nyata dari sikap negatif terhadap ketunarunguan ini tentu saja adalah kehidupan yang menderita bagi banyak orang.

Beberapa undang-undang tentang sekolah dasar Norwegia ditetapkan pada abad ke-19. Undang-undang tahun 1889, yang menamai sekolah bebas biaya “Sekolah Rakyat”, mempunyai silabus yang setara dengan sekolah swasta yang tidak bebas biaya, yang diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga berada yang tinggal di kota-kota. Namun, pada saat itu beberapa kelompok anak tertentu juga secara eksplisit disebutkan tidak dapat diterima di sekolah. Mereka adalah yang tidak dapat mengikuti pengajaran karena gangguan mental atau fisik, mereka yang mengidap penyakit menular, serta mereka yang berperilaku buruk sekali sehingga dapat berpengaruh buruk atau mencelakai siswa lain. Konsekuensi negatif dari undang-undang tersebut adalah bahwa sekolah tidak dapat berkembang lebih lanjut untuk mampu melayani kebutuhan individu yang berbeda-beda. Sejak itu, sekolah dasar tidak lagi dimaksudkan untuk melayani “semua dan setiap orang”, tetapi hanya melayani mereka yang dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh sekolah.

Sejarah pendidikan bagi penyandang cacat di Eropa
Mengenai pendidikan bagi orang dengan berbagai jenis kecacatan, gambaran umum sejarah menunjukkan adanya perkembangan dari upaya-upaya pendidikan yang sporadis, ke keingintahuan filosofis, hingga didirikannya sekolah-sekolah khusus serta lembaga khusus lainnya. Dari sejarah, kita dapat melihat kilasan-kilasan tentang berbagai kondisi para penyandang cacat mulai dari zaman Mesir Kuno, Yunani kuno, Injil dan Qur’an, dan sejumlah teks abad ke-18. Serpihan-serpihan dokumentasi itu memberi kesan tentang adanya sikap yang mendua, antara perawatan, kasih sayang dan minat pada satu pihak, dan, di pihak lain, kurangnya tanggung jawab, eksklusi dan kecenderungan yang meningkat untuk mengelompokkan orang berdasarkan jenis kecacatannya. Tidak mengherankan bahwa dokumentasi tentang upaya-upaya pendidikan itu hanya merupakan sebagian kecil dari informasi yang ada mengenai orang-orang yang menyandang kecacatan, mengingat bahwa pendidikan formal merupakan hak istimewa bagi sebagian kecil orang pada awal sejarah.

Model huruf ukiran untuk orang tunanetra ditemukan pada zaman Mesir kuno, dan juga pada zaman Renaissance di Eropa ketika Erasmus dari Rotterdam (1469- 1536) juga menggunakan alfabet ukiran dalam pelatihan keterampilan menulis bagi siswa-siswa yang awas. Informasi lain mengatakan bahwa sejak abad kelima telah ada berbagai kelompok orang tunanetra yang dapat mencukupi dirinya sendiri dan yang mengatur pelatihan pekerjaan internal. Satu contoh tentang mengajarkan membaca bibir kepada orang tunarungu ditemukan di Keuskupan York pada abad kedelapan. Namun, menurut Enerstvedt (1996), pengetahuan mengenai cara mendidik orang yang tunarungu berat mulai disebarkan dari apa yang disebut “revolusi Spanyol yang tidak begitu terkenal” ke berbagai bagian benua Eropa lainnya dan kepulauan Inggris pada akhir abad ke-16.

Bagaimana orang dapat belajar jika satu indera tidak berfungsi? Girolam Cardano (1501- 1576) memperkenalkan pendapat bahwa indera-indera itu saling menggantikan, sehingga bila indera penglihatan atau pendengaran hilang, indera lain akan berfungsi sebagai dasar bagi aktivitas kognitif dan belajar (Befring 1994; Enerstvedt 1886). Ketika filosof empiris Inggris John Locke (1632-1704), memfokuskan kembali tentang pentingnya fungsi indera-indera untuk belajar dan pemahaman, pandangannya menjadi titik awal bagi rasa ingin tahu filosofi baru dan sedikit demi sedikit juga minat pendidikan. Metode pengajaran bagi orang yang menyandang ketunarunguan dan ketunanetraan berat muncul dalam agenda resmi. Paris menjadi tuan rumah yang baik bagi perkembangan berbagai pendekatan khusus, dan minat orang meluas untuk juga mencakup perlakuan bagi penyakit jiwa dan gangguan perkembangan yang parah. Dari Paris gagasan tentang pendidikan khusus menyebar ke seluruh Eropa dan benua lain.

Charles-Michel de l’Epée (1712-1789) mendirikan sekolah khusus pertama bagi tunarungu di Paris pada tahun 1770. Dia mendasari pengajarannya pada metode holistik dengan penggunaan bahasa isyarat sebagai komponen sentral. Upaya ini dilanjutkan oleh sejumlah sekolah lain di seluruh Eropa dengan menggunakan berbagai metode pengajaran lain. Ketidaksepakatan mengenai metodologi menjadi ciri yang kekal sejak awal hingga zaman kita sekarang ini. Di Jerman Samuel Heinicke (1727-1790) dan penerusnya, Friedrich Hill (1805-1874) mendapatkan inspirasinya dari ahli pendidikan tua Comenius dan Pestalozzi, ketika mereka mengembangkan yang disebut sebagai “metode oral”. Metode tersebut berpengaruh besar pada awal perkembangan pendidikan bagi tunarungu di Norwegia, bersaing dengan sekolah khusus pertama bagi orang tunarungu di mana bahasa isyarat merupakan pendekatan komunikasi yang utama. Denmark adalah negara Nordik pertama dengan sekolah khusus bagi tunarungu, yang pertama didirikan di kota Libeck, yang ketika itu bagian dari Denmark. Di Kopenhagen, anak seorang pastor dari Norwegia, Peter A. Castberg (1779-1823) mendirikan Lembaga Kerajaan bagi orang tuli-bisu pada tahun 1807. Dia juga adalah kekuatan penggerak yang berada di balik Undang-undang Pendidikan bagi Tunarungu Denmark, undang-undang semacam ini yang pertama di dunia. Salah seorang siswa Castberg, Andreas C. Møller (1796-1874) yang dia sendiri juga tunarungu, mendirikan sekolah pertama semacam ini di Norwegia pada tahun 1825, diikuti oleh beberapa sekolah lain pada tahun 1850-an.

Valentin Haüy (1745-1822) mendirikan sekolah khusus pertama bagi tunanetra di Paris pada tahun 1784, dengan bantuan keuangan dari masyarakat philanthropic yang baru didirikan. Beberapa sekolah seperti ini dibuka di sejumlah negara Eropa lainnya. Swedia adalah salah satu negara Nordik pertama, ketika Pär Aron Berg (1776-1839) membuka sebuah sekolah bagi siswa yang tunanetra dan tunarungu pada tahun 1809. Di Norwegia, lembaga pertama bagi orang tunanetra dibuka pada tahun 1861.

Di Paris, lebih dari sekedar ketunarunguan dan ketunanetraan yang telah menarik perhatian dokter, pendeta dan pendidik. Ibu kota Perancis merupakan pusat aktivitas perintis yang menangani berbagai jenis kecacatan dan kebutuhan khusus, yang saling mengkontribusikan gagasan. Pada masa itu orang yang dianggap gila dikurung di tempat yang disebut sebagai rumah sakit bersama dengan kriminal, gelandangan dan tahanan politik. Philippe Pinel (1745-1826) membebaskan mereka dan dia mulai memberikan perlakuan, bukan sekedar memenjarakannya. Sejak saat itu, menjadi hal yang sangat penting untuk mendiagnosis dan mengkategorikan berbagai kondisi, seperti perbedaan antara penyakit jiwa dan kelainan perkembangan atau ketunagrahitaan berat. Seorang murid Pinel, Jean Etienne Esquirol (1782-1840) membuka perdebatan yang kini masih berlangsung hangat mengenai “nature” versus “nurture”. Pertanyaan yang esensial adalah apakah penyebab kelainan perkembangan tertentu adalah herediter/bawaan atau lingkungan/dapatan – suatu perdebatan yang kini telah menjadi penting lagi setelah dihasilkan temuan-temuan baru dalam studi tentang genetika.

Murid Pinel yang lain, Jean M. G. Itard (1774-1838) melakukan sebuah upaya yang menjadi simbol bagi titik awal pendidikan bagi anak tunagrahita, ketika dia menyelenggarakan program pendidikan bagi “anak liar dari Aeyron”. Dia menangani seorang anak laki-laki yang tampaknya telah hidup di hutan tanpa kontak dengan manusia bertahun-tahun. Ada yang mengatakan serigala yang memeliharanya. Itard mempraktekan eksperimen pendidikannya selama lima tahun dan menulis laporan rinci, mendokumentasikan bahwa anak tersebut belajar beberapa hal. Namun, karena anak tersebut tidak berhasil belajar berbicara, dia menganggap intervensinya gagal.

Ketika Edward Seguin (1812-1880) beberapa tahun kemudian mulai mengajar seorang anak laki-laki yang tunagrahita dengan bantuan dari Itard dan Esquirol, Seguin menjadi pendiri sebuah sekolah khusus bagi anak tunagrahita. Dia tidak hanya mencari inspirasi dari pergerakan pendidikan khusus sebelumnya di Paris, tetapi juga dari pemikiran-pemikiran pendidikan umum Comenius, Locke dan Rousseau, juga dari filsafat dan agama Kristen. Dengannya dimulailah era eksperimen pendidikan yang optimistik dalam bidang ketunagrahitaan, yang tersebar luas ke beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, karena Seguin mengembangkan karyanya lebih lanjut di “Dunia Baru” di seberang lautan Atlantik (Askildt & Johnsen 2001).

Optimisme ini juga mencapai negara-negara Nordik sebagaimana tergambar dalam judul buku yang ditulis oleh seorang dokter dari Denmark, Jens R. Hübertz (1794-1855), Weakmindedness or Idiocy and Its Curability6. Judul tersebut menggambarkan bahwa optimisme tidak hanya terbatas pada pendidikan. Judul ini juga menyiratkan adanya harapan untuk menyembuhkan ketunagrahitaan. Hübertz mendirikan sebuah lembaga bagi orang tunagrahita, “Gamle Bakkehus” (Rumah Bukit Tua) pada tahun 1855, di mana sejumlah kecil orang dari negara-negara Nordik ditempatkan bersama mayoritas terbesar warga Denmark (Nørr 2001).

Di Norwegia inisiatif pendidikan resmi yang pertama dalam bidang ini adalah dibukanya sebuah sekolah siang pada tahun 1874, diikuti oleh pendirian sebuah sekolah khusus bagi anak tunagrahita. Salah seorang perintis di sini adalah Johan A. Lippestad (1844-1913). Segera menjadi jelas bahwa tidak semua anak yang masuk sekolah ini dapat belajar mengikuti silabus yang ditetapkan sebelumnya, akibat tingkat kemampuan intelektual mereka (dan tentu saja juga akibat tingkat kognitif yang dituntut oleh silabusnya). Akibatnya, saudara perempuan Lippestad, Emma Hjorth (1858-1821) membeli sebidang tanah di luar ibu kota dan mendirikan sebuah lembaga bagi orang tunagrahita berat, yang kemudian dia serahkan kepada kementrian pendidikan (tutvedt 2001). Beberapa tahun setelah pendirian sekolah khusus pertama bagi siswa tunagrahita, Norwegia menetapkan undang-undang Pendidikan Khusus pertama, tahun 1881. Ini adalah undang-undang yang berkaitan dengan sekolah khusus bagi anak-anak tunanetra, tunarungu atau tunagrahita.

Namun, meskipun ada undang-undang ini, mayoritas anak tunagrahita masih tidak mempunyai sekolah selama bertahun-tahun kemudian, walaupun situasinya lebih baik bagi anak-anak yang tunarungu dan tunanetra.

Dapatkah dididik?
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, gelombang pertama minat terhadap pendidikan khusus yang melanda Eropa itu penuh dengan optimisme, sebuah optimisme yang tercermin dalam undang-undang pertama di Norwegia tentang sekolah khusus. Namun, pada saat yang hampir bersamaan dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, sebuah sikap baru dan yang lebih pesimistik muncul dalam perdebatan di Eropa. Sebuah hambatan dibangun di tengah-tengah kelompok anak berkebutuhan khusus dengan mengajukan pertanyaan: siapa yang dapat dididik, dan siapa yang tidak dapat? Sekolah khusus dikembangkan bagi anak-anak yang disebut sebagai anak-anak yang mampu didik sedangkan mereka yang pada waktu itu dianggap tidak mampu didik ditempatkan di lembaga kesehatan dan sosial atau dilupakan.

Bersama dengan konsep “tidak mampu didik”, sejumlah kata lain menjadi bagian dari kosakata pendidikan luar biasa, seperti degenerasi, higiene ras, egenetika, segregasi dan sterilisasi. Pandangan filosofi yang muncul mendefinisikan degenerasi sebagai lawan dari kemajuan. Individu, keluarga dan bahkan kelompok etnis diberi label “mengalami degenerasi” dan oleh karenanya berbahaya bagi kemajuan masyarakat modern yang sedang berlangsung. Yang disebut sebagai sifat-sifat herediter yang negatif dianggap destruktif bagi peradaban. Bagi mereka yang mengikuti pandangan ini, menjadi penting bagi mereka untuk memisahkan dan bahkan mengucilkan para penyandang cacat dari masyarakat umum, dan mencegah “perluasannya” dengan sterilisasi. Gagasan ideal tentang masyarakat yang sehat menyisakan sedikit saja tempat bagi orang penyandang cacat dan bahkan tidak ada tempat sama sekali bagi mereka yang tunagrahita berat atau sakit mental. Mentalitas ini meminjam ide dari berbagai sumber. Bapak pergerakan egenetika, Francis Galton (1822-1911) dipengaruhi oleh teori evolusi yang diciptakan oleh sepupunya, Charles Darwin (1809-1882), yang mendapat inspirasi dari Jean-Baptiste Lamarck (1744-1829), pemberi nama biologi. Lamarck sendiri beragumen bahwa sifat kepribadian dapatan dapat menjadi herediter. Ini berarti bahwa seorang anak pencuri akan mewarisi sifat mencurinya dari bapaknya. Hal ini serta sejumlah pendapat dan argumen lainnya yang cenderung kontradiktif telah mengakibatkan timbulnya rasa takut akan terjadinya kemunduran peradaban sebagai akibat dari degenerasi. Para ahli dalam beberapa disiplin ilmu menjadi perwakilan popular dari pandangan ini, seperti dokter fisika Benedict A Morel (1809-1873) dari Perancis, Alfred Ploetz (1860- 1940) dari Jerman, dan Cesare Lombroso (1835-1909) dari Austria. Yang sudah disebutkan sebelumnya, Galton, adalah ahli statistika dan antropolog dari Inggris, dan psikolog dari Amerika serikat Henry H. Goddard (1866-1957), adalah spesialis dalam kategorisasi rinci tentang berbagai tingkatan ketunagrahitaan.

Tulisan-tulisan para ahli ini dibaca dan dibahas juga di negara-negara Nordik, dan mereka mempunyai banyak pengikut. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa pendidikan menjadi kurang terfokus, dan kalaupun terfokus, itu adalah beberapa lembaga yang telah didirikan sebelumnya dengan tujuan mendidik dan menyembuhkan. Konsekuensi lainnya adalah bahwa jumlah institusi bertambah dan diberi tanggung jawab baru. Beberapa lembaga baru itu dibangun di pulau-pulau, untuk mencegah kontak antara orang-orang di lembaga tersebut dengan masyarakat lain, dan untuk melindungi “masyarakat biasa” dari mereka yang dianggap mengalami degenerasi. Sebagaimana telah disebutkan di muka, upaya ini difokuskan pada orang-orang yang sakit mental dan tunagrahita, dan juga orang-orang yang melanggar hukum atau dianggap tidak bermoral. Namun, adanya institusi-institusi besar tidak biasa di Norwegia ataupun di pulau tetangga, Islandia, tidak seperti di negara-negara Nordik lainnya. Penyebabnya adalah bahwa kedua negara yang jarang penduduknya ini, Norwegia dan Islandia, membangun kesejahteraan sosialnya berdasarkan tradisi lama yaitu secara desentralisasi, sedangkan negara-negara tetangga lain mengikuti tren Eropa. Sikap pesimistik terhadap kemungkinan belajar serta rasa takut akan degenerasi itu dimanifestasikan dalam Undang-undang dan sejumlah buku putih serta dalam berbagai perdebatan resmi, dan tercermin dalam praktek sehari-hari di Norwegia. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa masalah ketunagrahitaan yang parah dikeluarkan dari tanggung jawab kementrian pendidikan. Anak-anak dengan kecacatan tersebut kini dianggap tidak dapat dididik. Pemisahan dari pendidikan itu menjadi total selama beberapa dekade, dan menurut sikap yang pesimistik, mereka tidak dianggap sebagai bagian dari perhatian pendidikan khusus7 Becker 1995; Johnsen 2000; Kirkbæk 1992; Mandrup Rønn 1996).

Gerakan “penyelamatan anak”
Walaupun pergerakan egenetika mempunyai posisi kuat, terdapat juga orang lain yang mempunyai sikap yang lebih sayang terhadap anak-anak dan remaja yang dengan berbagai alasan tidak ikut dalam institusi masyarakat biasa, yang bersaing untuk diperhatikan dalam debat resmi. Salah satu pertanyaan klasik dalam perdebatan itu adalah apakah yang harus dilakukan terhadap mereka yang tidak bersekolah? Ini merupakan sebuah pertanyaan serius di Norwegia dan Denmark di mana sekolah dasar telah diwajibkan sejak tahun 1739 dan di mana undang-undang menuntut hukuman bagi orang tua dan juga remaja yang melanggar hukum.

Terdapat banyak alasan mengapa ada anak yang tidak bersekolah. Alasan yang umum adalah resistensi orang tua terhadap institusi baru yang didirikan oleh Raja. Tetapi ada alasan lain. Mungkin keluarganya sangat miskin sehingga anak tidak mempunyai pakaian yang pantas atau mungkin mereka bekerja di luar keluarga atau menjaga adik di rumah, atau mungkin mereka ditahan di rumah karena keluarganya tidak percaya bahwa anaknya dapat belajar hal-hal yang dituntut oleh sekolah.

Pada tahun 1850-an dukungan bagi anak dan remaja yang tidak bersekolah atau menganggur, dan bagi mereka yang telah melanggar hukum dengan cara lain, dibahas dari sudut pandang yang berbeda. Terhadap anak muda pelanggar hukum, sikap yuridis yang ketat mendapatkan dukungan resmi. Akibatnya, anak hingga usia sepuluh tahun dapat di kirim ke penjara. Akan tetapi, ketetapan lama tentang bolos sekolah tidak dikeluarkan dari Undang-Undang Pendidikan baru tahun 1848 dan 1860. Namun, tidak satupun dari Undang-Undang ini dikeluarkan tanpa diskusi yang hangat. Juru bicara pendidikan berargumen bahwa belajar adalah tindakan sukarela dan oleh karenanya tidak dapat dipaksakan. Sejumlah upaya dilakukan dengan inspirasi dari pergerakan philantropis di Inggris dan benua Eropa.

Pergerakan penyelamatan anak ini mempunyai pendukung di kepulauan Britania. Ini tidak aneh, mengingat bahwa Revolusi Industri dimulai di Inggris dan anak-anak telah lama dimanfaatkan dan disalahgunakan sebagai tenaga kerja. Di kalangan para penguasa, pada awalnya sikapnya positif terhadap meluasnya penyalahgunaan sejumlah besar anak dari keluarga miskin itu. Bahkan filosof John Locke merekomendasikan bahwa anak-anak dari keluarga miskin sebaiknya mulai masuk ke sekolah industri pada usia tiga tahun dalam kombinasi antara berlatih dan bekerja dalam industri yang sedang tumbuh itu (Cunninghan 1995). Akan tetapi, di samping itu, dia juga adalah salah seorang pemrakarsa dalam lingkaran orang-orang kaya yang mengemukakan bahwa anak dan masa kanak-kanak merupakan satu bagian yang khusus dari masa kehidupan dengan kualitasnya sendiri. Padahal, Locke dan kemudian Rousseau memulai sebuah gelombang minat dalam menciptakan kondisi perkembangan yang positif bagi anak. Kesenjangan antara sejumlah besar anak yang dieksploitasi dan anak-anak dari keluarga kaya yang memperoleh keistimewaan itu menjadi sangat tidak menyenangkan. Novel Charles Dickens dari pertengahan abad ke-19, seperti David Copperfield, memberikan kontribusi yang penting yang difokuskan pada perbedaan nasib pada anak-anak (Simonsen 1999). Pada awal abad ke-19 didirikanlah apa yang disebut masyarakat filantropik oleh kalangan borjuis, yang memfokuskan perhatiannya pada peningkatan kondisi anak-anak miskin – dan juga peningkatan apa yang dipandang sebagai standar moral yang rendah pada anak-anak ini. Tujuannya adalah untuk mendidik mereka menjadi warga negara yang memiliki sikap yang sama dengan golongan yang berkuasa. Upaya ini didasari oleh keyakinan bahwa setiap orang dapat menjadi kaya jika mereka bekerja keras dan hidup menurut standar moral yang tinggi.

Ketertarikan para dermawan pada anak dari kelas bawah ini menyebar ke negara-negara Eropa lainnya dan cenderung disesuaikan dengan kondisi sosial budaya tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Ini mengarah pada pendirian sekolah dasar di beberapa negara, baik atas nama negara seperti di Norwegia dan Denmark seabad sebelumnya, maupun disponsori oleh berbagai organisasi amal. Gelombang penyelamatan anak juga sampai ke Norwegia. Masyarakat filantropik didirikan, artikel-artikel mengenai masalah ini diterjemahkan dan diterbitkan pada jurnal-jurnal baru, ide-ide dibahas dan diimplementasikan. Pada saat yang hampir bersamaan dengan ditetapkannya undang-undang kriminal yang ketat, “institusi penyelamatan anak” pertama pun mendapatkan titik terang. Tujuannya adalah untuk “menyelamatkan anak-anak yang secara moral terabaikan, menyelamatkan jiwa anak dan untuk mengurangi hukum gantung dan penjara semaksimal mungkin” (Johannes falk, dikutip dalam Johnsen 1998/2000:446/314).

“Waisenhouses”, yaitu taman kanak-kanak pada tradisi lama seperti pada masa Francke di Halle, juga didirikan untuk memberi anak-anak itu pengasuhan dan pendidikan dengan “nilai-nilai moral yang sehat” sementara ibunya bekerja di pabrik. Perawatan filantropik ini tampaknya berpedoman pada kombinasi antara amal Kristen dan standar moral kaum borjuis. Namun, ini tidak mengarah pada didirikannya insitusi di mana-mana. Di Bergen, kota utama di pesisir barat Norwegia, “masyarakat untuk penyelamatan anak dan remaja yang kurang bermoral” lebih memilih untuk mengirim anak-anak pelanggar hukum ini ke keluarga “baik-baik” di komunitas tetangga. Di sana mereka diharapkan mendapatkan pelatihan dan pendidikan yang sehat dan baru untuk pekerjaan yang bermanfaat. Model ini sejalan dengan tradisi Norwegia dalam menemukan solusi yang terdesentralisasi sebagaimana disebutkan di muka.

Sekolah khusus dan kelas khusus
Jumlah sekolah khusus meningkat di Eropa selama abad ke-19 dan 20. Dan peningkatan terjadi pula pada jumlah kebutuhan khusus yang teridentifikasi dan dikategorikan, yang selanjutnya mengarah pada pendirian sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga yang lebih terspesialisasi berdasarkan jenis kecacatan dan kesulitan yang dihadapi anak. Sebagian dari sekolah-sekolah ini swasta dan yang lainnya sekolah negeri.

Norwegia mengikuti tren yang sama dengan negara Eropa lainnya. Karena anak-anak dengan ketunagrahitaan berat dan parah dikeluarkan dari sistem persekolahan di Eropa, maka tanggung jawab untuk pelayanan mereka juga dikeluarkan dari hukum pendidikan Norwegia dan dipindahkan ke departemen kesehatan. Dalam Undang-Undang Norwegia yang ketiga dan terakhir tentang sekolah khusus (1951), kelompok-kelompok berikut ini disebutkan: anak dan remaja yang tunarungu atau berkesulitan mendengar, mereka yang tunanetra atau yang kurang awas, mereka yang lambat belajar, mereka yang berkesulitan berbicara, membaca atau menulis, dan mereka yang mengalami gangguan perilaku.

Dukungan pengajaran ekstra bagi siswa yang ketinggalan oleh sebagian besar anggota kelasnya sudah dibahas sejak tahun 1850-an di ibu kota Norwegia. Variasi tingkatan pengetahuan dan keterampilan siswa-siswa itu sangat besar sehingga kepala sekolah mengeluh tentang banyaknya penggunaan waktu untuk mengulang materi yang sangat mendasar. Penyebab keadaan tersebut banyak sekali. Sebagaimana disebutkan di muka, frekuensi membolos di kalangan anak-anak itu tinggi karena keluarga membutuhkan anaknya di rumah atau untuk bekerja. Di samping itu, ada anak yang tidak bersekolah karena tertular penyakit epidemik, yang sebagian disebabkan oleh kekurangan gizi dan buruknya kondisi kebersihan. Selain dari itu, sebagian siswa adalah anak yang lambat belajar atau mengalami kesulitan belajar lainnya. Tidak ada tindakan permanen yang dilakukan pada saat itu mengenai pengaturan pengajaran khusus, tetapi perdebatan mengenai hal itu telah dimulai.

Satu dekade kemudian, pada tahun 1860, kelas khusus pertama didirikan di Drammen, sebuah kota dekat ibu kota. Kelas baru tersebut dimaksudkan bagi anak-anak yang “terabaikan dan yang dapat terabaikan”, sebagaimana diistilahkan pada saat itu. Kelas khusus ini menandai titik awal pengorganisasian kelas remedial di Norwegia dan Eropa. Akan tetapi, tidak sampai satu abad kemudian, tahun 1955, pengajaran remedial dilembagakan dan dijamin secara finansial oleh undang-undang pendidikan dasar Norwegia (Johnsen 2000).

Perubahan ideologi
Bahkan selama “periode Egenetika” pada awal abad ke-20 ide-ide baru mengenai pendidikan anak-anak dengan berbagai kebutuhan khusus telah muncul dan diperdebatkan. Heinrich Hanselmann (1882-1960) dari Swiss adalah seorang pelopor dalam pendirian pendidikan kebutuhan khusus sebagai satu disiplin ilmu yang mandiri dengan pendidikan profesionalnya sendiri. Pendidikan kebutuhan khusus digambarkan sebagai sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan pendidikan umum, filsafat, sosiologi, psikologi, dan kedokteran. Seperti tokoh-tokoh lain pada zamannya, Hanselmann juga membagi anak-anak tunagrahita ke dalam dua kelompok. Dia merekomendasikan pendidikan khusus bagi mereka yang dipandangnya sebagai mampu didik, sedangkan mereka yang dipandang tidak mampu didik dirujuk ke lembaga-lembaga tertentu untuk mendapat perawatan dan pengasuhan. Buku-buku tulisan Hanselmann dibaca secara luas oleh para pendidik khusus di negara-negara Nordik, dan buku-buku tersebut berpengaruh besar pada perkembangan disiplin ilmu tersebut di Norwegia.

Cendekiawan lainnya, yang baru dikenal di dunia barat pada tahun-tahun kemudian adalah Lev Vygotsky (1896- 1934) dari Rusia. Kritiknya mengenai asesmen psikometrik terhadap anak-anak serta fokusnya pada zona perkembangan proximal bagi tiap individu anak telah memberikan inspirasi bagi banyak proyek inovasi praktis terhadap kelas-kelas sekarang ini. Sejak zamannya, ide-idenya berpengaruh penting pada pendidikan kebutuhan khusus di Soviet dan Eropa Timur, walaupun ide-ide tersebut tidak disukai oleh pihak elit yang berkuasa di Soviet bertahun-tahun lamanya. Sekarang, setelah runtuhnya “tirani besi”, kondisinya mendukung bagi studi banding dan dialog antara para interpreter barat dan timur serta para pelaksana ide-ide Vygotsky tersebut (askildt & Johnsen 2001; Johnsen 2000).

Pada tahun 1970, sebuah komisi dari Departemen Pendidikan, Penelitian dan Gereja (KUF 1970) menerbitkan sebuah laporan yang menjadi titik balik dalam wacana tentang pendidikan umum maupun pendidikan kebutuhan khusus di Norwegia. Dokumen tersebut terkenal sebagai Blom Report; namanya diambil dari nama ketuanya komisi tersebut, Knut Blom. Dalam laporan ini prinsip integrasi diperkenalkan secara eksplisit dan didefinisikan secara jelas. Kriteria integrasi adalah sbb:

a) Rasa memiliki /dimiliki dalam masyarakat sosial
b) Partisipasi demi kepentingan masyarakat
c) Tanggung jawab bersama atas tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban.

Satu konsekuensi dari laporan tersebut adalah bahwa undang-undang sekolah khusus yang segregatif dihapus, dan masalah pendidikan siswa yang berkebutuhan khusus diintegrasikan ke dalam perundang-undangan pendidikan reguler. Sejak itu tujuan umumnya adalah satu sekolah untuk semua, dan bahwa semua siswa harus mulai pendidikan dasar mereka di sekolah setempat di lingkungannya sendiri. Ini menuntut perubahan yang besar dalam aktivitas di dalam kelas dan sekolah. Sejalan dengan Laporan Blom itu, sebuah kurikulum nasional baru, yang sangat berbeda dengan kurikulum sebelumnya, dikembangkan. Sementara kurikulum lama lebih menyerupai silabus yang terdiri dari berbagai keterampilan dan pengetahuan wajib yang konkrit, kurikulum baru lebih terbuka dan fleksibel, memberikan kebebasan yang luas kepada guru profesional dalam hal pemilihan materi dan metodenya. Dengan kurikulum nasional yang memiliki kerangka kerja yang luas tersebut, kurikulum dapat diadaptasikan dengan kebutuhan khusus siswa, dan kurikulum kelas dapat dibuat dengan cukup luas untuk melibatkan semua siswa dalam aktivitas pendidikannya.

Sekolah untuk semua menjadi konsep kunci dalam wacana pendidikan kebutuhan khusus di Norwegia dan negara-negara Nordik lainnya. Organisasi-organisasi non pemerintah, seperti asosiasi untuk tunagrahita, menyelenggarakan bebagai lokakarya tentang cara mengembangkan sekolah untuk semua, baik pada tingkat lokal, nasional maupun Nordik. Kelompok target untuk infomasi dan argumentasi mereka adalah para politisi dan pejabat lainnya, orang tua serta guru dan pendidik khusus di sekolah reguler maupun sekolah khusus. Sejumlah besar guru reguler meningkatkan kemampuannya sendiri melalui perguruan tinggi di bidang pendidikan kebutuhan khusus agar dapat lebih baik menerima siswa dengan berbagai kebutuhan di kelasnya. Walaupun prinsip-prinsip integrasi dan satu sekolah untuk semua diakui secara meluas, tetapi terdapat juga resistensi. Di antara yang skeptis adalah para profesional yang bekerja di sekolah khusus dan institusi lain sejenisnya. Tidak semua orang tua yakin bahwa ini adalah cara yang benar untuk memberikan layanan bagi anaknya yang menyandang kecacatan, dan mereka mulai mendirikan asosiasinya sendiri.

Laporan Blom menandai titik balik resmi yang eksplisit mengenai hak pendidikan bagi anak dan remaja penyandang cacat di Norwegia. Sejak itu perkembangannya adalah meninggalkan segregasi dan bergerak menuju integrasi dan inklusi. Sekolah dasar reguler serta sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atas terbuka bagi semua anak dan remaja, termasuk mereka yang sebelumnya berada disekolah segregasi atau dikecualikan dari layanan pendidikan karena gangguan perkembangan yang parah. Sejumlah upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan sekolah dalam memberikan pendidikan yang berkualitas dengan mempertimbangkan kebutuhan individu dan kebutuhan khusus. Pusat-pusat layanan pendidikan dan psikologis lokal membantu sekolah-sekolah dalam melakukan asesmen dan merencanakan pendidikan kebutuhan khusus berdasarkan manajemen kelas. Sebuah sistem pendukung pendidikan kebutuhan khusus nasional, yang terdiri dari unit-unit yang berlokasi di berbagai bagian negeri, mengumpulkan dan mengembangkan pengetahuan baru dalam bidang-bidang yang spesifik dalam area spesifik pendidikan kebutuhan khusus. Penelitian dan pendidikan tinggi di bidang tersebut ditawarkan di beberapa lembaga pendidikan keguruan, dan jurusan Pendidikan Kebutuhan Khusus di Universitas Oslo menawarkan pendidikan pada semua jenjang, termasuk program Doktoral.

Perubahan ideologi ini berkembang sebagai satu fenomena umum yang terkait dengan sistem kesejahteraan sosial-demokratik di negara-negara Nordik yang telah berkembang selama abad ke-20. Kontribusi Norwegia adalah integrasi dalam pendidikan seperti dijelaskan di atas. Namun, beberapa tahun sebelumnya Denmark dan Swedia membuka wacana tersebut. Integrasi dan normalisasi merupakan konsep kunci pada tahap awal ini. Implementasi pertama prinsip normalisasi itu diprakarsai di Denmark oleh Niels Bank-Mikkelsen pada tahun 1959, bekerjasama dengan para orang tua anak yang tunagrahita. Pada saat memegang posisi pimpinan di Departemen Sosial, Bank-Mikkelsen mendengarkan suara-suara orang tua yang tidak ingin menyerahkan anaknya yang menyandang kecacatan itu di institusi. Tetapi mereka meminta disediakan layanan lokal agar dapat mendidik anaknya di rumah dengan bantuan profesional untuk memberikan habilitasi, pembelajaran dan perkembangan. Bengt Nirje dari Swedia memberikan penjelasan yang sistematik tentang konsepnormalisasi ini.

“Normalisasi berarti berbagi ritme hari yang normal, dengan privasi, berbagai
aktivitas, dan tanggung jawab bersama; ritme mingguan yang normal, dengan
rumah sebagai tempat tinggal, sekolah atau tempat kerja, dan waktu luang dengan
interaksi sosial; ritme tahunan, dengan mode dan cara hidup yang terus berubah,
dan kebiasaan keluarga dan masyarakat yang berubah-ubah seiring dengan
pergantian musim sepanjang tahun” (Nirje in Flynn & Nitsch 1980:32-33).

Kutipan di atas adalah bagian awal dari penjelasannya yang rinci tentang konsep normalisasi. Ide pertama ini menyebar ke seluruh dunia barat. Di Amerika Serikat, Wolf Wolfensberger mengadaptasikan konsep normalisasi ini ke masyarakat Amerika. Universitas Syracuse, di mana Wolfensberger bekerja, menjadi sebuah inkubator bagi para cendekiawan yang berargumen dan melakukan penelitian di bidang normalisasi dan kebutuhan khusus.

Tahun 1960-an, 70-an dan 80-an ditandai dengan meningkatnya keinginan orang untuk mendukung budaya masyarakat sejahtera yang tersembunyi, kecil, lemah atau berkekurangan yang terpencar-pencar. Pada saat yang bersamaan, wacana resmi dunia barat meledak dalam fokus baru yang kuat pada hak-hak azasi manusia dan demokrasi di luar evolusi materialistik pada beberapa dekade pertama paska perang dunia pertama. Konsep demokrasi menjadi berarti lebih dari sekedar parlementarianisme dan politik kepartaian. Titik tolak konkret dari gelombang perubahan mentalitas ini adalah yang disebut “Prague Spring” (musim semi Praha) pada tahun 1968, dan demonstrasi gabungan antara kaum buruh dan mahasiswa di Universitas Sorbonne di Paris pada tahun yang sama. Para juru bicaranya, yang disebut “sixty-eighters”, mendapatkan ide-idenya dari berbagai tradisi di berbagai bagian dunia. Akan tetapi, merupakan pertanyaan yang terbuka, bukankah pejuang hak azasi manusia di Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Pendeta Martin Luther King, yang menyiapkan ladangnya. Melalui perlawanan untuk mendapatkan kesamaan hak mereka sebagai warga masyarakat Amerika, orang-orang Afro-Amerika memasukkan integrasi ke dalam agenda perjuangannya. Integrasi dan kesamaan hak azasi manusia menjadi isu utama dalam perjuangan kelompok-kelompok minoritas lainnya, dalam pergerakan kebebasan wanita – dan dalam perdebatan mengenai hak-hak penyandang cacat yang mulai berkembang (Johnsen 2000).

Jadi, perubahan ideologi dalam wacana tentang pendidikan kebutuhan khusus merupakan bagian dari wacana tentang hak azasi manusia serta wacana tentang integrasi yang lebih luas, dan mempunyai ciri-ciri yang sama. Ini merupakan pergerakan yang dimulai dari “tingkat masyarakat” hingga didirikannya asosiasi orang tua dan pengguna8 serta kolaborasinya dengan para profesional di lapangan. Kelompok target utama bagi kampanye informasi mereka adalah para politisi. Hak-hak harus dijamin melalui undang-undang. Wacana tentang hak-hak azasi para penyandang cacat dan mereka yang berkebutuhan pendidikan khusus mencapai PBB beserta organisasi-organisasinya. Hak semua anak atas pendidikan, termasuk hak mereka yang berkebutuhan khusus, kini menjadi fokus dalam sejumlah deklarasi, seperti deklarasi PBB tentang Hak Azasi Manusia tahun 1948, Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, pernyataan Konferensi Dunia di Jomtien, Thailand, tahun 1990, di mana Pendidikan untuk Semua disepakati, Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi para penyandang Cacat yang diterbitkan tahun 1994, dan akhirnya Pernyataan Salamanca UNESCO tentang Pendidikan inklusif, yang disepakati di Spanyol tahun 19949.

Pada tahun-tahun setelah konferensi Salamanca, beberapa negara di dunia telah mengintegrasikan prinsip-prinsip dari penyataan Salamanca tersebut, baik seluruhnya ataupun sebagian, ke dalam perundang-undangan atau dokumen kebijakan. Sebagaimana ditunjukkan oleh Mel Ainscow (1997) negara-negara tersebut sangat bervariasi, seperti Austria, Cina, Ghana, Hongaria dan Uganda. Bagi negara-negara tertentu, prinsip-prinsip pendidikan integrasi dan inklusi itu diambil dari pernyataan-penyataan internasional dan dimasukkan langsung ke dalam dokumen kebijakan resmi. Beberapa organisasi non-pemerintah di negara-negara tersebut telah menyiapkan diskusi mengenai prinsip-prinsip tersebut, sering kali diprakarsai oleh organisasi terkait dari negara-negara barat. Namun, di beberapa negara pergerakan di tingkat masyarakat tersebut tidak begitu kuat, walaupun upayanya tulus. Pada fase awal perubahan idiologi ini, alur informasi dan penetapan keputusan di negara-negara ini pada umumnya bersifat pergerakan top-down, yang berbeda dari pergerakan bottom-up di negara-negara Nordik, dari asosiasi orang tua ke politisi. Konteks di mana prinsip-prinsip ini diperkenalkan juga sangat berbeda dari model kesejahteraan sosial demokratik di negara-negara Nordik, dan juga sangat beragam dari satu negara ke negara lainnya. Perbedaannya terkait dengan keadaan ekonomi, tingkat demokratisasi, jumlah dan kualitas keterlibatan pemerintah dalam upaya kesejahteraan sosial dan layanan pendidikan, sikap terhadap anak dan terhadap kecacatan, serta sejumlah aspek budaya lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka menuju implementasi praktis dari kebijakan politik, berbagai tantangan baru dan unik harus dihadapi.

Kemarin dan esok.
Menurut sejarah kita dapat melihat bahwa wacana serta praktek pendidikan kebutuhan khusus berisi ide-ide dan tradisi lama yang bercampur baur dan dimodifikasi dengan aliran pemikiran baru yang senantiasa diperbaharui. Beberapa di antara ide itu dikembangkan melalui sistem sekolah reguler. Sebagaimana dibahas pada awal artikel ini, ide-ide mengenai pembedaan penggunaan materi pembelajaran serta pendidikan yang diadaptasikan secara individual diujicobakan pada awal wajib belajar pendidikan dasar. Tanda-tanda awal fleksibilitas ini didasarkan atas pengetahuan bahwa anak-anak berbeda dalam caranya belajar dan bahwa anak-anak tertentu lebih membutuhkan bantuan daripada anak lain. Ide-ide dan langkah-langkah yang spesifik juga telah dikembangkan dalam tradisi sekolah khusus. Penggunaan bahasa isyarat dan membaca bibir bagi orang yang tunarungu, dan alfabet ukiran untuk dibaca dengan indera perabaan oleh orang tunanetra merupakan contoh klasik yang berakar pada hasil pemikiran masa lampau.

Namun, telah pula didokumentasikan bahwa sejarah pendidikan reguler maupun pendidikan kebutuhan khusus bukan alur yang lurus dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik, dari kegelapan menuju terang dalam pengetahuan dan sikap terhadap orang-orang yang berkebutuhan khusus. Sebaliknya, penelitian dalam sejarah menunjukkan adanya gabungan antara bermacam-macam tradisi dan gagasan, sebagian dengan konsekuensi positif bagi para pewarisnya, sebagian lagi dengan konsekuensi negatif yang ekstrim. Seiring dengan berlalunya waktu, ide-ide tertentu saling mendukung, yang lainnya saling bertentangan atau saling mengubah, sehingga ide aslinya tidak dapat dikenali lagi. Ada ide yang menghambat perbaikan kondisi para penyandang cacat, tetapi ada pula yang mendukung kondisi kehidupan yang lebih baik dan mendukung belajarnya sebagaimana telah digambarkan dalam artikel ini. Selalu ada bermacam-macam gagasan dan tradisi yang diperjuangkan untuk memperoleh posisi istimewa di dalam wacana tersebut. Inilah yang juga terjadi sekarang dan hampir pasti akan pula terjadi di masa datang. Maka dari itu, kita harus mempertahankan, mengembangkan dan mengadaptasikan ide-ide yang baik untuk mengubah kondisi sekolah dan kondisi masyarakat secara keseluruhan.
Saya berani mengatakan bahwa kondisi pendidikan maupun kondisi sosial bagi anak-anak dan remaja yang menyandang kecacatan dan yang berkebutuhan pendidikan khusus telah mengalami perubahan radikal menuju peningkatan kualitas selama beberapa dekade terakhir ini. Setidaknya inilah yang terjadi di sejumlah negara yang lebih kaya, yang membangun atas dasar model kesejahteraan sosial demokratik seperti di Norwegia dan negara-negara Nordik lainnya. Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam wacana pendidikan kebutuhan khusus yang sedang berlangsung. Namun, ini tidak terjadi di sejumlah negara yang sumber ekonominya tipis, meskipun ada upaya keras dari sejumlah pejabat, peneliti dan organisasi non-pemerintah. Sekurang-kurangnya kini masih ada 130 juta anak usia sekolah yang belum bersekolah (UNICEF 2000).