This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Showing posts with label Fotografi. Show all posts
Showing posts with label Fotografi. Show all posts

Tuesday 12 March 2013

Apakah Foto Anda Sebuah Karya Besar?



Sadarkah Anda, ketika tombol rana ditekan, maka disitulah ditentukan apakah foto tersebut merupakan karya besar atau apakah foto itu mampu menjadi media komunikasi untuk menyatakan perasaan pribadi. Entah itu mengenai peristiwa keluarga, bom yang meledak, rumah yang terbakar, pesawat udara yang jatuh, pemandangan alam yang indah, banjir, bintang olahraga dan masih banyak yang lain. Singkatnya, karya-karya itu sangat berharga. Lalu, bagaimana dengan foto Anda?

Foto-foto dokumen yang diambil beberapa waktu yang lalu akan memiliki nilai tambah tersendiri tatkala foto-foto semacam itu semakin langka. Foto sebuah bangunan lama, misalnya Hotel Des In-Des di Jalan Gajah Mada Jakarta, akan terasa betapa tinggi nilainya sekarang, mengingat kawasan itu sudah berubah menjadi bangunan kantor dan pusat perbelanjaan modern. Contoh-contoh semacam ini masih banyak kita jumpai.

Secara fotografis, tentunya salah satu modal utama sebuah kamera adalah lensanya. Lensalah, kata orang, yang menentukan hasil akhir suatu karya. Seorang fotografer dengan jenis kamera yang lensanya dapat dilepastukarkan kualitas hasil pemotretannya juga ditentukan oleh panjang pendeknya jarak-fokus lensa yang digunakan. Pasanglah lensa sudut lebar, maka hasilnya akan memberikan panorama yang luas atau lebar, garis-garis lurus dapat menjadi lengkung, dan bila menggunakan lensa-lensa sudut ultralebar, maka hasil tangkapan kamera ini seolah-olah dari dunia mimpi atau dunia fantasi.

Sebaliknya bila kita menggunakan lensa-lensa tele atau ultra tele, maka objek-objek yang jauh letaknya dapat didekatkan, bahkan detail-detailnya dapat terlihat jelas, yang takkan terlihat dengan baik bila kita melihatnya dengan mata telanjang. Cara kita melihat visi suatu objek inilah yang menimbulkan "seni" dalam fotografi. Cara melihat atau sering pula disebut sebagai "visi pemotret" (kadang-kadang juga sebagai "mata pemotret") inilah yang membedakan para seniman foto dari seniman-seniman lainnya. Visi pemotret ini berbeda dengan visi pelukis, visi pemahat, visi pevisualisasi lainnya. Visi pemotret harus dapat "menerjemahkan" objek serta keadaan sekeliling yang akan dipotretnya, dalam batas-batas warna atau nada-warna media yang digunakannya.

Memilih-milih
Pemotret akan memilih-milih objek pemotretannya. Hal-hal apa sajakah yang akan dimasukkan ke dalam fotonya. Sejak si pemotret menempatkan objek pemotretannya di dalam jendela pengamat kameranya, maka saat itu dia sudah memilih-milih dan mengatur peletakan objek pemotretannya, yang dikenal dalam dunia fotografi sebagai komposisi.

Komposisi inilah yang mengatur garis-garis vertikal maupun horisontal, bentuk-bentuk segitiga, kerucut serta bulatan-bulatan sehingga secara keseluruhan menghasilkan suatu penempatan yang serasi, yang enak dipandang. Sudah barang tentu, seorang pemotret yang sudah terbiasa dengan kameranya akan dapat memvisualisasikan objek pemotretannya itu.

Garis-garis dan bentuk-bentuk dipilihnya dengan cermat, demikian pula nuansa warna, pencahayaan dan sebagainya. Maka semakin cermat seorang pemotret memvisualisasikan objek pemotretannya, semakin baiklah hasil pemotretannya itu nanti.

Visi pemotret jadinya pada tahap ini berupa kepandaian atau keahliannya memandang sesuatu objek yang akan dipotretnya yang disesuaikan pula dengan lensa yang digunakannya. Visi pemotret juga menyangkut kepekaannya untuk memilih-milih keadaan sekelilingnya yang ada sangkutpautnya dengan objek utama yang dijadikan modelnya. Hubungan keadaan sekelilingnya, keadaan pencahayaan dan sudut pandang pemotretannya, ini semua menyangkut visi pemotret itu.

Dalam memacu visi pemotret ini, maka seluruh naluri manusia dikerahkan. Baik penciuman, perabaan bahkan pendengarannya dikerahkan untuk memantau peristiwa yang berlangsung di sekelilingnya. Pendengarannya? Yah, setiap bunyi atau pun suara yang didengarnya, apakah itu bunyi gelak tawa sekelompok orang di sudut jalan, atau suara bayi yang menangis di rumah seberang sana, gesekan dedaunan sewaktu dia mencari objek pemotretan di hutan atau di pinggiran kota, selalu menarik perhatiannya.

Memiliki Intuisi
Meski tugas utama seorang pemotret adalah memotret objeknya, ada kalanya sangat sulit diperoleh jawaban dari si pemotret mengenai bagaimana, mengapa dan dari segi mana dia memotret objeknya itu. Baginya kalau objek-objek itu secara visual memang menarik, mengapa tidak dibuat fotonya? Jadi memiliki intuisi tentang makna atau betapa pentingnya sesuatu objek bagi seorang fotografer, merupakan salah satu hal yang penting untuk menggerakkannya membuat foto itu.

Sebaliknya keadaan objek itu sendiri ditentukan pula oleh keadaan cahaya dan letaknya dalam menentukan komposisi. Situasi-situasi semacam inilah, bila si pemotret dapat menghimpunya, akan menghasilkan foto-foto yang bagus, indah dan berarti. Foto-foto semacam ini, pada situasi-situasi tertentu akan membangkitkan kenangan bagi para pengamatnya. Kalau hal terakhir ini, yaitu membangkitkan kenangan bagi para pengamatnya, maka dapatlah dikatakan bahwa si pemotret telah berhasil mencapai sasarannya, yaitu mengalihkan segi visualisasinya itu kepada orang lain.

Kita ketahui bahwa orang-orang suka mengidentifikasikan dirinya dengan hal-hal yang berhubungan dengan kebangsaan, ras, seks, agama, pekerjaan, atau apa yang dimiliki orang lain. Namun satu hal yang sifatnya universal adalah mengenai tanggapannya terhadap kebahagiaan, kepedihan serta gejolak-gejolak hati umat manusia.

Artinya lebih banyak bercerita mengenai orangnya itu ketimbang asal turunan, warna kulit, usia ataupun bidang usahanya.

Kebahagiaan ataupun kesuksesan, rasa puas ataupun harta kekayaan misalnya, merupakan "bahasa universal" yang menerobos jalur-jalur rintangan yang disebabkan kebahasaan, kebangsaan ataupun asal keturunan. Seseorang di masyarakat yang primitif maupun yang hidupnya terpencil, memiliki rasa bahagia yang secara kualitatif tidak kalah mutunya dengan sesamanya yang hidup di kota-kota metropolitan, yang penuh gemerlap dengan kejayaan kotanya.

Peristiwa bom Kuningan di depan Kedubes Australia, Jakarta beberapa waktu lalu, tentu membuat sedih perasaan kita. Apalagi menyaksikan para korban yang tidak berdosa jatuh bergelimpangan dalam kondisi kritis dengan luka-luka di bagian kepala dan badan. Tanggapan emosi kita terhadap peristiwa itu semuanya didasarkan pada bahasa universal tadi.

Sudah barang tentu kita juga menyadari bahwa kebahagiaan, kepuasan hati, gejolak hati seperti dimaksudkan di atas berbeda pada seseorang dengan yang lainnya. Namun sebagai seorang fotografer, maka faktor "keberuntungan" tidak kalah pentingnya dalam suatu usaha menangkap peristiwa di atas. Dalam dunia fotografi, rupa-rupanya faktor "keberuntungan" merupakan salah satu unsur yang penting.

Mengapa ada foto yang menjadikan orang kagum terhadap si pemotretnya? Apakah karena fotografer itu menggunakan kamera yang mahal? Apakah karena perlengkapan minilab yang begitu canggih? Kalau kita berbicara mengenai fotografi, maka jawabannya sudah tentu adalah, hal yang menggerakkan kita untuk menghasilkan atau membuat foto tersebut.

Tidak Diduga
Banyak pemotret yang menghadapi situasi-situasi pemotretannya dengan secara tiba-tiba. Tidak diduga sebelumnya. Misalnya sang fotografer sedang keliling "berburu foto" di tengah kota, dari rumah sudah ada bayangan hal-hal apa yang akan dipotretnya nanti; arsitektur gedung-gedung tua, padatnya kendaraan bermotor, anak-anak jalanan di perempatan lampu merah yang meminta-minta, dan sebagainya.

Di tengah jalan dia mendengar suara ledakan pada sebuah gedung pencakar langit. Apakah fotografer ini berhenti untuk mengabadikannya? Bukankah dia akan memperoleh gambar yang eksklusif? Jangan-jangan si fotografer itu akan menghabiskan seluruh waktunya di sini untuk mengabadikan adegan-adegan yang di luar rencananya atau yang ditemukan secara kebetulan itu.

Setiap fotografer, akan memiliki kesempatan semacam itu di mana pun dia berada. Setiap saat dia dihadapkan pada situasi atau keadaan semacam itu, maka keputusan untuk merekam saat-saat yang tak akan berulang dan tergelar di hadapannya itu, seluruhnya bergantung pada dirinya. Pada saat dia mengambil keputusan untuk merekamnya, saat dia menjepretkan kameranya, maka rekaman suatu segi dari kehidupan umat manusia itu menjadi "miliknya".

Sudah barang tentu tidak setiap pengambilannya itu merupkan karya yang besar atau cemerlang. Setelah fotografer kembali ke rumahnya, memilih-milih dari sederetan file/negatif yang terekam barangkali dia akan menemukan beberapa bidikan yang bagus bahkan spektakuler. Namun tidak jarang dia memperoleh hasil nihil, atau foto-foto hasil jepretannya tidak bagus. Sebagai seorang fotografer yang ulet, tentunya dia tidak akan menyerah begitu saja. Baginya berlaku prinsip: "Kali ini gagal, lain kali, suatu saat pada masa kemudian akan berhasil.*

Sumber  : Sebuah tulisan Oleh Rony Simanjuntak



Wednesday 6 March 2013

Istilah-istilah dalam Fotografi


Berikut ini istilah - istilah fotografi yang mungkin sebagian familiar bagi kita dan sebagian mungkin asing bagi kita,  semoga bermanfaat.

LS:
Singkatan dari longshot. Dengan lebih mendekatkan objeknya, shot ini tetap masih memberikan sudut pandang lebar tetapi sudah mulai mengarahkan perhatian pada objeknya dengan memisahkannya dari latar belakang yang mungkin mengganggu.
MACRO:
Makro. Pengertiannya dalam fotografi adalah sarana untuk pemotretan dari jarak dekat. Fotografi makro akan menghasilkan rekaman (pada film) yang sama besar dengan benda aslinya (1:1), atau paling kurang separuh dari benda aslinya (1:2), namun demikian pada lensa-lensa jenis zoom yang mempunyai fasilitas untuk menghasilkan rekaman seperempat dari benda aslinya (1:4) juga sudah bisa dikatakan makro.
MACRO LENS:
Lensa makro. Lensa yang digunakan untuk pemotretan dengan objek yang berukuran atau pemotretan berjarak dekat (mendekatkan pemotret ke objek), umumnya dipakai untuk keperluan reproduksi karena dapat memberikan kualitas prima dan distorsi minimal. Misalnya: untuk memotret bunga, serangga, dll.
MACRO PHOTO:
Dibuat dari jarak dekat, bisanya tentang benda atau binatang kecil. Perlngkapan kerjanya biasanya menggunakan lensa makro untuk mendekatkan pemotret ke objek fotonya.
MAGNETIK:
Berdaya magnet.
MAGNIFICATION:
Pembesaran. Dikukur dari gambar film dibandingkan dengan ukuran aslinya.
MANIPULASI FOTOGRAFI:
Teknik mengubah hasil cetak yang ditangkap oleh kamera untuk menciptakan suasana tertentu. Foto-foto realitas dikembangkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan gambar yang tidak biasa lagi.
MANUAL:
Dikerjakan dengan menggunakan tangan dengan mengesampingkan tenaga otomatik.
MEDIUM FILM:
Film dengan kecepatan sedang (ISO 100, 200). Kelompok film yang paling popular dan banyak diminati pemotret. Ideal untuk pemotretan dalam cuaca yang terang/cerah.
MEDIUM FORMAT CAMERA:
Kamera format medium. Adalah jenis kamera SLR yang menggunakan jenis film 120 mm. Dibandingkan dengan kamera format kecil, kamera ini mempunyai keunggulan dalam hal pembesaran cetakannya yang optimal sehingga umumnya dipergunakan untuk memotret objek orang (potret) yang berkarakter, yang menampakkan detail kuat seperti misalnya kulit keriput orang tua.

Tuesday 22 May 2012

Foto Human Interest


Oleh ATOK SUGIARTO

Manusia dengan segala aspek kehidupan yang dilakukannya memang selalu menarik untuk suatu objek pemotretan. Kemenarikan yang tidak hanya karena kemudahan menemukannya itu lebih sering dipicu oleh apa yang dilakukannya, yang terasa menyentuh. Baik itu aktivitas dalam suatu adat budaya suatu masyarakat tertentu maupun aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, yang sering terasa biasa bagi mata orang awam tetapi menarik bagi mata seorang pemotret.

Bagi pemotret yang terbiasa mengamati masalah-masalah sosial atau mungkin juga bila dia adalah seorang wartawan foto yang selalu menempatkan diri sebagai pengamat, maka aktivitas manusia baik itu dalam lingkup budaya maupun dalam lingkup kehidupan sehari-hari tak akan terlalu sulit dilakukan.

Untuk memotret human interest manusia dan aktivitasnya, kebanyakan pemotret menggunakan teknik candid atau cara memotret yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi sehingga objek tidak tahu jika dirinya sedang dipotret. Hal tersebut lebih karena alasan untuk menghasilkan foto yang tampak baik dan menarik, spontan dan wajar. Namun, keengganan pemotret untuk melakukan pendekatan mengenal objeknya atau mungkin juga karena perasaan malu, merupakan alasan lain yang sering menjadi penyebab.

Akan tetapi, apa pun alasannya, memotret dengan cara candid memang sering digunakan, khususnya oleh para wartawan foto, karena memang merupakan cara yang efektif, baik dan cepat, guna mendapatkan foto yang tampak wajar. Di media cetak, foto-foto yang mengandung berita, yang mengesankan kewajaran dan objeknya dalam beraktivitas tampak betul-betul asli, biasanya dihargai sebagai sebuah karya yang memiliki nilai lebih tersendiri.

Namun demikian bila foto human interest tidak dimaksud untuk menjadi suatu laporan berita foto, maka foto itu bisa saja dibuat dengan menggunakan cara pendekatan pada objeknya. Hal seperti itu biasanya masih lagi ditambah dengan mengatur berbagai kemungkinan yang dapat dilakukan khususnya berkaitan dengan penyinaran agar dihasilkan foto yang betul-betul baik serta indah dan menyentuh.

Pendekatan langsung pada objek dengan memintanya melakukan aktivitasnya memang terasa lebih baik dan etis, terlebih bila objek mau melakukannya dengan senang hati. Hal seperti itu akan memberi keleluasaan dalam mengatur pose, penyinaran atau latar belakangnya. Akan tetapi kelemahan dalam melakukan cara ini akan muncul bila pemotret tidak betul-betul dapat mengatasi keadaan atau mendramatisir situasinya. Foto yang akan dihasilkan akan tampak kaku, tidak wajar dan kurang kuat dari segi ekspresinya. Sebab, meskipun objek tidak melihat langsung ke arah kamera, dia sesungguhnya telah tahu sedang dipotret. Untuk mengatasinya, pemotret harus mampu menjadikan objeknya seolah betul-betul tidak sedang berhadapan dengan kamera.

Persiapan
Untuk dapat menghasilkan foto human interest yang baik, menarik dan tentu saja indah meski mampu menyentuh perasaan, secara teknis dapat dilakukan dengan mengawalinya terlebih dahulu dengan persiapan. Dan persiapan itu bisa saja dilakukan dengan terlebih dahulu memilih kamera serta lensa yang akan digunakan.

Sebuah kamera berfasilitas motor winder dengan lensa zoom 80-200 mm atau 75-300 mm adalah kombinasi yang cukup baik, karena menjadikan pemotret dapat melakukan pemotretan dari jarak sedang. Akan tetapi bila memungkinkan menggunakan lebih dari satu buah kamera dengan tambahan lensa 28-85 mm, akan lebih baik. Sehingga dari hampir semua jarak dalam pemotretan, baik itu dekat, sedang dan jauh, dapat tercover semua bila diperlukan.

Untuk merekam kehidupan manusia sehari-hari, dengan lensa 28-82 mm pun terasa sudah cukup dapat memenuhi keinginan untuk menghasilkan foto human interest yang baik, khususnya bila pemotret mampu melakukan pendekatan pada objeknya dan memiliki kepekaan yang baik serta cermat mengamati keadaan sekeliling.

Setelah persiapan kamera dan lensanya cukup memadai untuk suatu keperluan memotret human interest yang umumnya dilakukan di luar ruang, perlu pula disiapkan film yang akan digunakan. Dalam hal ini film dengan kepekaan atau ISO 100 sudah cukup memadai untuk menangkap aktivitas manusia dan lingkungannya atau kegiatan sehari-hari yang terjadi pada pagi, siang hingga sore hari di luar ruangan. Akan tetapi bila aktivitas manusia itu sangat berhubungan erat dengan gerak yang cepat, misalnya suatu atraksi kebudayaan, dan pemotret berkeinginan menangkap gerakan-gerakan tersebut, maka perlu disiapkan atau digunakan film yang mampu untuk membekukan gerakan-gerakan tersebut. Yaitu film ber-ISO tinggi misalnya ISO 400. Tujuannya tak lain agar gambar atau peristiwanya dapat terekam dengan baik dan tidak goyang.

Bagi yang menggunakan film jenis slide, persoalan ISO film seolah tak menjadi masalah. Sebab dengan slide ISO 100, bila memang diperlukan masih dapat di-push beberapa stop, misalnya sampai ISO 400 atau ISO 800 dengan kualitas yang cukup baik. Demikian pula dengan menggunakan film hitam-putih, karena juga dapat di-push dengan baik. Bahkan kelebihan dengan film hitam-putih, karena hasilnya terasa lebih dramatis dan menyentuh terutama untuk foto human interest.

Untuk suatu keperluan, kadang memotret human interest juga memerlukan aksesori demi mendramatisasi keadaan. Karena itu sesekali juga perlu membawa filter, seperti filter polarisasi (PL) yang baik digunakan untuk membirukan langit dan mengurangi refleksi serta beberapa filter koreksi warna untuk mengubah warna. Misalnya filter 81B yang berguna untuk menghangatkan.

Bila pemotretan dilakukan pada waktu hari menjelang malam, atau mungkin juga pada malam hari, maka lampu kilat yang menjadi tumpuan satu-satunya untuk dapat memotret juga perlu disiapkan. Lampu kilat dengan jenis TTL adalah lampu kilat yang sangat menguntungkan dalam perburuan foto human interest.


Beberapa Tip
Bagi saya pribadi, sesuai dengan pekerjaan sebagai wartawan foto, maka memotret human interest lebih sering dilakukan dengan teknik candid. Hal ini tentu karena satu alasan prinsip berkaitan foto berita yang cenderung menampilkan foto yang apa adanya. Tapi dengan teknik itu, seseorang perlu kemampuan untuk bekerja cermat, tangkas dan refleks. Akibatnya pemotret perlu melatih diri tentang cara menggunakan kamera dan lensanya serta mampu untuk jeli mengamati kejadian-kejadian seputar manusia khususnya yang mengandung unsur berita.

Meskipun demikian, pada saat-saat tertentu, memotret human interest juga sering saya lakukan dengan model pendekatan. Namun hal ini terjadi lebih karena lensa yang saya gunakan memaksa saya untuk memotret dari jarak dekat. Kelemahan dari cara pemotretan seperti ini, objek yang dipotret sering tampak kurang wajar atau kaku. Akan tetapi, semua dapat diatasi dengan cara menyatu terlebih dahulu dengan lingkungan atau objek. Bila kehadiran kita sudah dirasa tidak mengganggu dan telah dapat menyatu dengan objek, baru dilakukan pemotretan. Menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada sebelum melakukan pemotretan, terutama bila berkaitan dengan manusia serta aktivitasnya dalam kehidupan kelas menengah ke bawah, sering saya lakukan.

Pada banyak kejadian foto human interest memang saya buat dengan menggunakan lensa zoom 80-200 mm. Tetapi ini bukan berarti lensa lain tidak andal untuk mendapatkan foto human interest. Lensa apa pun di bawah 80-200 mm dapat saja digunakan untuk menghasilkan foto sejenis itu yang baik. Kuncinya hanya pada masalah pendekatan atau kemampuan pemotret dalam mencairkan suatu suasana, sehingga apa yang dilakukan objek menjadi tampak wajar.

Selain itu, lensa yang lebih panjang dari 80-200 mm, misalnya lensa 300 mm juga bukannya tak dapat digunakan. Tapi dengan menggunakan lensa tele yang panjang sekali, akan lebih merepotkan pemotret dalam membawanya. Lensa panjang seperti itu sesekali baik untuk digunakan terutama bila objeknya berada jauh atau tidak mudah didekati.

Keberhasilan memotret human interest memang tidak hanya berkisar pada penggunaan kamera maupun lensa saja. Pilihan sudut pandang atau sudut pengambilan foto yang tepat dan baik juga turut menentukan keberhasilan pemotretan. Dengan kata lain, keberhasilan sebuah pemotretan sangat berkaitan erat dengan hal-hal di luar teknis pemotretan. Akan tetapi jika hanya dengan mengandalkan hal teknis saja Anda mungkin sudah dapat menghasilkan foto human interest yang baik, maka itu adalah sebuah pengecualiaan. Anda tergolong pemotret yang beruntung.

DALAM fotografi, memotret benda mati dan memotret manusia memang jauh benar bedanya. Yang pertama membutuhkan pendekatan keindahan visual, sedangkan yang kedua membutuhkan pendekatan personal untuk menggali subyek.

Bagi Aryono yang menggeluti kedua-duanya, inti kedua pendekatan adalah sama, yaitu "pendekatan kawan".

"Dalam memotret gedung, kita mendekati pemiliknya. Dalam memotret orang, kita harus berkawan dengan dia untuk menghasilkan foto yang baik. Sama saja. Kita harus berkawan dulu," katanya setelah "dipaksa" berteori.

Salah satu contoh "pendekatan kawan" yang dilakukan Aryono adalah saat dia memotret anak-anak sekolah dasar (SD) untuk poster wajib belajar. Anak-anak SD di sebuah kota kecil itu masih belum terbiasa dengan kamera. Maka, ekspresi mereka sangatlah kaku.

Maka, setelah mengatur posisi mereka, Aryono lalu melontarkan pertanyaan," Satu tambah satu sama dengan sem...............bilan...."

Tentu saja anak-anak SD itu tertawa karena ada "matematika sederhana seburuk itu". Saat mereka tertawa, kamera Aryono lalu bekerja. Jadilah foto anak SD dengan ekspresi yang ceria dan wajar.

Lalu, untuk memotret "orang-orang tinggi", Aryono melakukan pendekatan personal cukup lama sampai orang- orang itu sungguh-sungguh jadi teman. Banyak orang heran bagaimana Aryono bisa memotret Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra seperti itu. Bagaimana seorang Yusril bisa begitu menurut "diapa- apakan" Aryono di bawah terik matahari.

"Dengan pendekatan kawan, semua hal bisa diatasi," kata Aryono yakin.

Foto human interest berkaitan dengan manusia dan kemanusiaan, karena itu sebagai manusia tentu kita akan dengan mudah mengerti dan menghayati segala aktivitas yang dilakukan seseorang secara wajar, dramatis, utuh dan menyentuh.*