Sadarkah Anda, ketika tombol rana ditekan, maka
disitulah ditentukan apakah foto tersebut merupakan karya besar atau apakah
foto itu mampu menjadi media komunikasi untuk menyatakan perasaan pribadi.
Entah itu mengenai peristiwa keluarga, bom yang meledak, rumah yang terbakar,
pesawat udara yang jatuh, pemandangan alam yang indah, banjir, bintang olahraga
dan masih banyak yang lain. Singkatnya, karya-karya itu sangat berharga. Lalu,
bagaimana dengan foto Anda?
Foto-foto dokumen yang diambil beberapa waktu yang
lalu akan memiliki nilai tambah tersendiri tatkala foto-foto semacam itu
semakin langka. Foto sebuah bangunan lama, misalnya Hotel Des In-Des di Jalan
Gajah Mada Jakarta,
akan terasa betapa tinggi nilainya sekarang, mengingat kawasan itu sudah
berubah menjadi bangunan kantor dan pusat perbelanjaan modern. Contoh-contoh
semacam ini masih banyak kita jumpai.
Secara fotografis, tentunya salah satu modal utama
sebuah kamera adalah lensanya. Lensalah, kata orang, yang menentukan hasil
akhir suatu karya. Seorang fotografer dengan jenis kamera yang lensanya dapat
dilepastukarkan kualitas hasil pemotretannya juga ditentukan oleh panjang
pendeknya jarak-fokus lensa yang digunakan. Pasanglah lensa sudut lebar, maka
hasilnya akan memberikan panorama yang luas atau lebar, garis-garis lurus dapat
menjadi lengkung, dan bila menggunakan lensa-lensa sudut ultralebar, maka hasil
tangkapan kamera ini seolah-olah dari dunia mimpi atau dunia fantasi.
Sebaliknya bila kita menggunakan lensa-lensa tele atau
ultra tele, maka objek-objek yang jauh letaknya dapat didekatkan, bahkan
detail-detailnya dapat terlihat jelas, yang takkan terlihat dengan baik bila
kita melihatnya dengan mata telanjang. Cara kita melihat visi suatu objek
inilah yang menimbulkan "seni" dalam fotografi. Cara melihat atau
sering pula disebut sebagai "visi pemotret" (kadang-kadang juga
sebagai "mata pemotret") inilah yang membedakan para seniman foto
dari seniman-seniman lainnya. Visi pemotret ini berbeda dengan visi pelukis,
visi pemahat, visi pevisualisasi lainnya. Visi pemotret harus dapat
"menerjemahkan" objek serta keadaan sekeliling yang akan dipotretnya,
dalam batas-batas warna atau nada-warna media yang digunakannya.
Memilih-milih
Pemotret akan memilih-milih objek pemotretannya.
Hal-hal apa sajakah yang akan dimasukkan ke dalam fotonya. Sejak si pemotret
menempatkan objek pemotretannya di dalam jendela pengamat kameranya, maka saat
itu dia sudah memilih-milih dan mengatur peletakan objek pemotretannya, yang
dikenal dalam dunia fotografi sebagai komposisi.
Komposisi inilah yang mengatur garis-garis vertikal
maupun horisontal, bentuk-bentuk segitiga, kerucut serta bulatan-bulatan
sehingga secara keseluruhan menghasilkan suatu penempatan yang serasi, yang
enak dipandang. Sudah barang tentu, seorang pemotret yang sudah terbiasa dengan
kameranya akan dapat memvisualisasikan objek pemotretannya itu.
Garis-garis dan bentuk-bentuk dipilihnya dengan
cermat, demikian pula nuansa warna, pencahayaan dan sebagainya. Maka semakin
cermat seorang pemotret memvisualisasikan objek pemotretannya, semakin baiklah
hasil pemotretannya itu nanti.
Visi pemotret jadinya pada tahap ini berupa kepandaian
atau keahliannya memandang sesuatu objek yang akan dipotretnya yang disesuaikan
pula dengan lensa yang digunakannya. Visi pemotret juga menyangkut kepekaannya
untuk memilih-milih keadaan sekelilingnya yang ada sangkutpautnya dengan objek
utama yang dijadikan modelnya. Hubungan keadaan sekelilingnya, keadaan
pencahayaan dan sudut pandang pemotretannya, ini semua menyangkut visi pemotret
itu.
Dalam memacu visi pemotret ini, maka seluruh naluri
manusia dikerahkan. Baik penciuman, perabaan bahkan pendengarannya dikerahkan
untuk memantau peristiwa yang berlangsung di sekelilingnya. Pendengarannya?
Yah, setiap bunyi atau pun suara yang didengarnya, apakah itu bunyi gelak tawa
sekelompok orang di sudut jalan, atau suara bayi yang menangis di rumah
seberang sana, gesekan dedaunan sewaktu dia mencari objek pemotretan di hutan atau
di pinggiran kota, selalu menarik perhatiannya.
Memiliki Intuisi
Meski tugas utama seorang pemotret adalah memotret
objeknya, ada kalanya sangat sulit diperoleh jawaban dari si pemotret mengenai
bagaimana, mengapa dan dari segi mana dia memotret objeknya itu. Baginya kalau
objek-objek itu secara visual memang menarik, mengapa tidak dibuat fotonya?
Jadi memiliki intuisi tentang makna atau betapa pentingnya sesuatu objek bagi
seorang fotografer, merupakan salah satu hal yang penting untuk menggerakkannya
membuat foto itu.
Sebaliknya keadaan objek itu sendiri ditentukan pula
oleh keadaan cahaya dan letaknya dalam menentukan komposisi. Situasi-situasi
semacam inilah, bila si pemotret dapat menghimpunya, akan menghasilkan
foto-foto yang bagus, indah dan berarti. Foto-foto semacam ini, pada
situasi-situasi tertentu akan membangkitkan kenangan bagi para pengamatnya.
Kalau hal terakhir ini, yaitu membangkitkan kenangan bagi para pengamatnya,
maka dapatlah dikatakan bahwa si pemotret telah berhasil mencapai sasarannya,
yaitu mengalihkan segi visualisasinya itu kepada orang lain.
Kita ketahui bahwa orang-orang suka
mengidentifikasikan dirinya dengan hal-hal yang berhubungan dengan kebangsaan,
ras, seks, agama, pekerjaan, atau apa yang dimiliki orang lain. Namun satu hal
yang sifatnya universal adalah mengenai tanggapannya terhadap kebahagiaan,
kepedihan serta gejolak-gejolak hati umat manusia.
Artinya lebih banyak bercerita mengenai orangnya itu
ketimbang asal turunan, warna kulit, usia ataupun bidang usahanya.
Kebahagiaan ataupun kesuksesan, rasa puas ataupun
harta kekayaan misalnya, merupakan "bahasa universal" yang menerobos
jalur-jalur rintangan yang disebabkan kebahasaan, kebangsaan ataupun asal
keturunan. Seseorang di masyarakat yang primitif maupun yang hidupnya
terpencil, memiliki rasa bahagia yang secara kualitatif tidak kalah mutunya
dengan sesamanya yang hidup di kota-kota metropolitan, yang penuh gemerlap
dengan kejayaan kotanya.
Peristiwa bom Kuningan di depan Kedubes Australia, Jakarta
beberapa waktu lalu, tentu membuat sedih perasaan kita. Apalagi menyaksikan
para korban yang tidak berdosa jatuh bergelimpangan dalam kondisi kritis dengan
luka-luka di bagian kepala dan badan. Tanggapan emosi kita terhadap peristiwa
itu semuanya didasarkan pada bahasa universal tadi.
Sudah barang tentu kita juga menyadari bahwa
kebahagiaan, kepuasan hati, gejolak hati seperti dimaksudkan di atas berbeda
pada seseorang dengan yang lainnya. Namun sebagai seorang fotografer, maka
faktor "keberuntungan" tidak kalah pentingnya dalam suatu usaha
menangkap peristiwa di atas. Dalam dunia fotografi, rupa-rupanya faktor
"keberuntungan" merupakan salah satu unsur yang penting.
Mengapa ada foto yang menjadikan orang kagum terhadap
si pemotretnya? Apakah karena fotografer itu menggunakan kamera yang mahal?
Apakah karena perlengkapan minilab yang begitu canggih? Kalau kita berbicara
mengenai fotografi, maka jawabannya sudah tentu adalah, hal yang menggerakkan
kita untuk menghasilkan atau membuat foto tersebut.
Tidak Diduga
Banyak pemotret yang menghadapi situasi-situasi
pemotretannya dengan secara tiba-tiba. Tidak diduga sebelumnya. Misalnya sang
fotografer sedang keliling "berburu foto" di tengah kota, dari rumah sudah ada bayangan hal-hal
apa yang akan dipotretnya nanti; arsitektur gedung-gedung tua, padatnya
kendaraan bermotor, anak-anak jalanan di perempatan lampu merah yang
meminta-minta, dan sebagainya.
Di tengah jalan dia mendengar suara ledakan pada
sebuah gedung pencakar langit. Apakah fotografer ini berhenti untuk mengabadikannya?
Bukankah dia akan memperoleh gambar yang eksklusif? Jangan-jangan si fotografer
itu akan menghabiskan seluruh waktunya di sini untuk mengabadikan adegan-adegan
yang di luar rencananya atau yang ditemukan secara kebetulan itu.
Setiap fotografer, akan memiliki kesempatan semacam
itu di mana pun dia berada. Setiap saat dia dihadapkan pada situasi atau
keadaan semacam itu, maka keputusan untuk merekam saat-saat yang tak akan
berulang dan tergelar di hadapannya itu, seluruhnya bergantung pada dirinya. Pada
saat dia mengambil keputusan untuk merekamnya, saat dia menjepretkan kameranya,
maka rekaman suatu segi dari kehidupan umat manusia itu menjadi
"miliknya".
Sudah barang tentu tidak setiap pengambilannya itu
merupkan karya yang besar atau cemerlang. Setelah fotografer kembali ke
rumahnya, memilih-milih dari sederetan file/negatif yang terekam barangkali dia
akan menemukan beberapa bidikan yang bagus bahkan spektakuler. Namun tidak
jarang dia memperoleh hasil nihil, atau foto-foto hasil jepretannya tidak bagus.
Sebagai seorang fotografer yang ulet, tentunya dia tidak akan menyerah begitu
saja. Baginya berlaku prinsip: "Kali ini gagal, lain kali, suatu saat pada
masa kemudian akan berhasil.*
Sumber : Sebuah tulisan Oleh Rony Simanjuntak