A.SUNAN AMPEL :
falsafah “Moh Limo” ;
1. Moh Main atau tidak mau berjudi
Segera basmi segala bentuk perjudian, baik perjudian kelas bawah maupun
perjudian kelas atas. Karena bangsa kita tidak akan pernah mendapatkan
keberkahan hidup jika perjudian menjamur bebas di sana-sini. Apalagi
disinyalir ada beberapa anggora DPR kita yang terhormat melakukan
perbuatan ini, na’udzu billlahi mindzaalik.
2. Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan.
Tinggalkan segala bentuk minum-minuman keras yang hanya membawa
kenikmatan sesaat, tetapi kemudhorotan yang akan ditimbulkannya jauh
lebih besar dari manfaatnya.
3. Moh Maling atau tidak mau mencuri
Segala bentuk pencurian, termasuk di dalamnya korupsi, kolusi,
suap-menyuap dan sebagainya harus segera ditinggalkan, jika tidak
malapetaka sosial akan semakin marak dalam kehidupan bangsa kita..
Selain itu begitu maraknya korupsi dari birokrasi paling bawah sampai
birokrasi teratas menyebabkan bangsa kita akan semakin terpuruk.
4. Moh Madat atau tidak mau menghisap candu, ganja, narkoba dan lain-lain.
Penyalahgunaan narkoba adalah sumber kehancuran negara. Penyakit ini
akan menghancurkan bangsa kita, apalagi pengguna terbesar narkoba adalah
generasi muda. Jika hal ini terus dibiarkan, apa yang terjadi pada
bangsa kita 10, 15, atau 20 tahun yang akan datang. Wallahu a’lam.
5. Moh Madon atau tidak mau berzina/main perempuan yang bukan istrinya.
Penyakit masyarakat lainnya yang begitu mewabah dalam masyarakat kita
adalah perzinaan. Arus globalisasi yang begitu dahsyat telah banyak
memberi pengaruh besar bagi menjamurnya segala bentuk prostitusi dan
perselingkuhan. Kerusakan seperti ini sudah dianggap “biasa” oleh
masyarakat kita. Padahal kalau perbuatan seperti ini tidak dicegah,
tunggulah azab yang besar akan segera datang dari Allah SWT.
Mudah-mudahan kita semua bisa menghindari lima perbuatan yang terlarang
tersebut sehingga kita bisa terhindar dari azab yang lebih besar lagi.
Mari kita aktualisasikan dan implementasikan falsafah “Moh Limo” ini
dalam kehidupan kita, agar tercipta “Baldatun thayyibatun wa Robbun
ghofuur”. Negara yang “Gemah ripah Loh jinawi Toto Titi Tentrem Kerto
lan Raharjo”.
B.SUNAN BONANG :
Menurut Sunan Bonang, kebudayaan Islam tidak mesti kearab-araban.
Menutupi aurat tidak mesti memakai baju Arab, tetapi cukup dengan
memakai kebaya dan kerudung. Inilah yang kemudian diimplementasikan oleh
mayoritas muslim Indonesia.
Di antara upacara keagamaan yang diberi bungkus budaya Jawa, yang sampai
kini masih diimplementasikan oleh masyarakat secara turun temurun
adalah upacara Sekaten dan Grebeg Maulid..
Keahliannya di bidang geologi dipraktekkan dengan menggali banyak sumber
air dan sumur untuk perbekalan air penduduk dan untuk irigasi pertanian
lahan kering. Sunan Bonang juga mengajarkan cara membuat terasi, karena
di Bonang banyak terdapat udang kecil untuk pembuatan terasi. Sampai
kini terasi Bonang sangat terkenal, dan merupakan sumber penghasilan
penduduk desa yang cukup penting.
Dengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang ingin
menyatakan betapa pentingnya manusia memperhatikan potensi
kerohaniannya. Adalah yang spiritual yang menentukan yang material,
bukan sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia kacau, ia menyangka yang
material semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena potensi
kerohaiannya inilah manusia diangkat menjadi khalifah Allah di bumi,
bukan karena harta dan kekayaannya.
C.SUNAN GIRI :
Dalam keagamaan, beliau dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam
ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih.
Beliau juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti
Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak – cublak suweng disebut sebagai
kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung yang
bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam. Asmara artinya cinta
dan dana artinya beramal. Sedangkan pucung artinya dipocong, dengan kata
lain sebelum kita dipocong atau meninggal dunia perbanyaklah beramal
agar kita bahagia duni dan akhirat, amiin.
D.SUNAN DRAJAT
Tujuh pesan Sunan Drajat :
1. Memangun resep tyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suko kudu eling lan waspodo (didalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam
perjalanan untuk mencapai cita – cita luhur kita tidak peduli dengan
segala bentuk rintangan)
4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu – nafsu)
5. Heneng – Hening – Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh
keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita –
cita luhur).
6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan sholat lima waktu)
7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong
kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang
wongkang kodanan (Ajarkan ilmu pada orang yang tidak tau, Berilah makan
kepada orang yang lapar, Berilah baju kepada orang yang tidak punya
baju, serta beri perlindungan orang yang menderita)
Pesan Sunan Drajat ini dituangkan dalam bentuk gending dan lagu,
sehingga orang yang menyanyikan gending secara tidak langsung
mempelajari isi ajaran dari sunan Drajat.
E.SUNAN KALIJAGA
Ketenaran Sunan Kalijaga ini dikarenakan beliau seorang ulama yang
cerdas dan arif. Kecerdasan dan kearifan yang dimiliki membuat beliau
mampu bersenyawa cepat dengan berbagai kalangan, khususnya masyarakat
bawah, yang berdampak terhadap kelancaran proses penyebaran ajaran Agama
Islam.
Filosofi Kehidupan
Terdapat beberapa hal filosofi kehidupan Sunan Kalijaga yang perlu
menjadi renungan kita bersama. Jika pesan-pesan falsafah hidup Sunan
Kalijaga ini kita pegang dan implementasikan dalam kehidupan
sehari-hari, Insya Allah, kita akan dapat selamat di dunia dan akhirat.
Isi filosofi kehidupan Sunan Kalijaga antara lain adalah:
”Lamun sira menek, aja menek andha, awit lamun sira menek andha –sira
ancik-ancik untu lan tekan ndhuwur, sira ketemu alam suwung. Nanging
lamun sira menek, meneka wit galinggang, sira bakal ngliwati tataran,
lan ngrangkul (ngrungkepi) wit galinggang. Tekan ndhuwur sira – ketemu
apa? Sira bakal ketemu woh, ya wohing galinggang.
Wohing galinggang wiwit saka ing jeroning mancung, ya kuwi manggar,
sakwise kuwi dadi bluluk, terus cengkir, deghan, njur kerambil/kelapa.
Perangan njaba, sira ketemu apa? Sira ketemu tepes, sing watake enteng.
Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu batok
(tempurung) sing watake atos (teguh dalam prinsip). Perangan njero
maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu jatine wohing galinggang.
Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu banyu ya banyu
perwito sari. Ing sak jerone banyu, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu
rasa, ya jatining rasa (rasa rumangsa). Lamun sira menek maneh, sira
ketemu apa? Sira bakal ketemu janur sing tegese jatining nur, ya nur
muhammad
Makna untuk Kehidupan
Adapun yang dimaksud dengan Wit Galingga adalah Pohon Kelapa. Kenapa
pohon kelapa yang dijadikan contoh? Karena Pohon Kelapa itu mulai dari
akarnya yang paling bawah sampai ujung daunnya yang disebut janur
semuanya bermanfaat. Pohon Kelapa juga sangat kokoh dan kuat tidak
pernah roboh.
Kalau kita memanjat Pohon Kelapa maka kita akan medapatkan buahnya. Kita
akan bertanggung jawab, tidak sombong, tidak mudah jatuh, kita ikuti
tataran yang ada dalam batang kelapa itu, kita akan selalu terus ke
atas, kita akan memanjat dengan hati-hati sampai ke atas.
Lantas apa itu Tataran yang dimaksud dalam falsafah hidup Sunan Kalijaga
di atas? Tataran itu dapat dimaknai sebagai aturan-aturan yang berlaku.
Kalau kita ingin selamat di dunia, maka kita harus mengikuti
aturan-aturan atau peraturan- peraturan dunia yang berlaku. Kalau kita
ingin selamat di akhirat, maka kita harus mengikuti aturan-aturan atau
peraturan-peraturan akhirat yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di
dunia dan akhirat, kita harus mengikuti aturan-aturan atau
peraturan-peraturan yang berlaku di dunia dan akherat.
Buah kelapa menggambarkan secara kronologis kehidupan manusia dari mulai
manggar diibaratkan janin, bluluk bermakna bayi, cengkir bermakna
balita, deghan bermakna remaja, dan kerambil / kelapa bermakna dewasa.
Falsafah ini memberi pencerahan makna hidup manusia yang harus
dijalankan secara hati-hati, dari mulai janin sampai dewasa. Karena pada
setiap tahapan tersebut bisa saja terjadi musibah dari yang kecil
sampai meninggal dunia. Untuk itu kehati-hatian ini harus dijabarkan
dalam mempersiapkan diri pada hidup dan kehidupan di dunia. Yaitu selalu
berpegang teguh pada aturan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara agar selamat di dunia. Sejalan dengan itu juga berpegang teguh
pada aturan keagamaan berdasarkan Al Qur’an dan hadist agar selamat di
akhirat nanti. Kalau pegangan tersebut dilaksanakan secara konstisten
dan konsekuen maka manusia tidak perlu gentar menghadapi takdir kematian
kapan saja karena sudah siap untuk hidup dunia akhirat.
Dalam memanjat pohon kelapa, kita musti bekerja keras, hati-hati dan
disiplin menelusuri tataran pohon kelapa untuk mencapai puncak hingga
dapat menggapai buah pohon kelapa yang dapat diambil kemanfaatannya. Hal
itu dapat kita petik hikmah bahwa dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kita harus memiliki niat yang
baik, bekerja keras, mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku – baik
peraturan-peraturan dunia maupun akherat – dan hati-hati untuk
mewujudkan kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, dan kemamkmuran kita,
masyarakat dan bangsa.
Oleh karena itu, implementasi filosofi kehidupan Sunan Kalijaga sangat
bermakna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menuju
tercapainya kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, dan kemakmuran rakyat
dan bangsa Indonesia. Intisarinya adalah, kita sebagai bangsa harus
memiliki niat yang baik, bekerja keras, mematuhi peraturan-peraturan
yang berlaku – baik peraturan dunia maupun akherat – dan hati-hati
(tidak ceroboh) dalam menjalankan kehidupan demi tercapainya esensi
rahmatan lil ’alamiin, tujuan berbangsa dan bernegara, di bumi nusantara
tercinta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
F.SUNAN KUDUS
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan
simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid
Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran / padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan
Sunan Kudus.
Suatu waktu, beliau memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, beliau sengaja menambatkan sapinya
yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang
mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar
penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi
betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih
menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut
disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti
kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001
malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus
mengikat masyarakatnya.
Dengan sedikit paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bukan
hanya berdakwah saja yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya,
beliau juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Cara
berda’wanya pun elastis, banyak improfisasi, dan menghormati pemeluk
agama yang lain. Metode itulah yang seharusnya kita implementasikan
dalam berda’wah, tidak menghukumi orang seenak sendiri, mengkafirkan
orang yang tidak sefaham dan sebagainya.
G. SUNAN GUNUNG JATI
Metode Da’wah Sunan Gunung Jati
Kebudayaan pada prinsipnya merupakan media yang memungkinkan pendidikan
dapat berlangsung dengan sukses. Colletta seorang ahli antropologi
pendidikan dari Amerika, mengatakan bahwa kebudayaan itu memiliki :
1. Legitimasi tradisional.
2. Simbol-simbol dan bentuk komunikasi yang paling dikenal dan dihargai masyarakat
3. Aneka ragam fungsi yang dapat dijadikan sarana untuk perubahan masyarakat (Usman Pelly 1992).
Oleh sebab itu pendidikan akan berhasil, apabila dalam pendidikan
mengembangkan bentuk-bentuk komunikasi tradisional. Dengan komunikasi
tradisional, Sunan Gunung Jati telah mampu membentuk suatu budaya cara
tersendiri dalam menyebarkan agama Islam. Beliau sebagai individu
merupakan kreator sekaligus manipulator dalam menciptakan kebudayaan,
dalam arti beliau mampu membuat metode khusus dalam berda’wah.
Sebagai anggota Wali Songo dalam berda’wahnya SGJ menerapkan berbagai
metode dalam proses Islamisasi di tanah Jawa. Adapun ragam metode
da’wahnya menurut Dadan Wildan (2003) adalah sebagai berikut:
1. Metode mau’idhatul hasanah wa mujadalah billati hia ahsan. Dasar metode ini merujuk pada al-Quran surat An-Nahl ayat 125
2. Metode Al-Hikmah sebagai sistem dan cara berda’wah para wali yang
merupakan jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer,
atraktif, dan sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi
masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam
itu mereka hadapi secara masal, kadang-kadang terlihat sensasional
bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum.
3. Metode Tadarruj atau Tarbiyatul Ummah, dipergunakan sebagai proses
klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat, agar ajaran
Islam dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh
masyarakat secara merata. Metode ini diperhatikan setiap jenjang,
tingkat, bakat, materi dan kurikulumnya, tradisi ini masih tetap
dipraktekan dilingkungan pesantren.
4. Metode pembentukan dan penanaman kader serta penyebaran juru da’wah ke berbagai daerah.
5. Metode kerja sama, dalam hal ini diadakan pembagian tugas
masing-masing para wali dalam mengIslamkan masyarakat tanah Jawa.
Misalnya Sunan Gunung Jati bertugas menciptakan do’a mantra untuk
pengobatan lahir batin, menciptakan hal-hal yang berkenaan dengan
pembukaan hutan, transmigrasi atau pembangunan masyarakat desa.
6. Metode musyawarah, para wali sering berjumpa dan bermusyawarah
membicarakan berbagai hal yang bertalian dengan tugas dan perjuangan
mereka. Sementara dalam pemilihan wilayah da’wahnya tidaklah
sembarangan, dengan mempertimbangkan faktor geostrategi yang sesuai
dengan kondisi zamannya.
Pelajaran yang bisa diambil dari metode da’wah Sunan Gunung Jati
Metode adalah cara menyampaikan pengajaran untuk membantu siswa mencapai
tujuannya dalam belajar. Guru harus mampu meningkatkan partisipasi
aktif siswa dalam mencapai kemandirian belajar, serta mampu membentuk
sikap belajar untuk mempelajari sesuatu. Profil siswa menuntut guru
untuk menguasai ilmu yang diajarkannya dan memahami karakteristik
siswanya serta berwawasan pendidikan masa kini dan masa yang akan
datang.
Pendekatan pembelajaran aktif dan bermakna, bertumpu dari peningkatan
aktivitas. Hal ini terkait erat dengan tujuan pendidikan nasional untuk
pembangunan manusia seutuhnya yang mampu berdiri sendiri dan mampu
bertanggung jawab atas pembangunan sesamanya.
Tujuan pembangunan nasional tersebut akan dapat dicapai melalui proses
belajar mengajar, yang merupakan interaksi antara guru dan siswanya
dalam suatu situasi pendidikan atau pengajaran untuk pencapaian tujuan
yang ditetapkan. Dalam interaksi tersebut guru hendaknya menaruh
pertimbangan yang kuat atas keunikan dan keragaman siswa. Seorang guru
dituntut untuk mampu menggunakan berbagai metode mengajar secara
bervariasi. Menurut Mulyani Sumantri (2002) mengatakan : “metode apapun
yang digunakan guru hendaknya menciptakan situasi pengajaran yang
menyenangkan dan mendukung kelancaran proses belajar serta tercapainya
prestasi belajar siswa yang memuaskan, karena mereka benar-benar aktif
melalui PBM yang bermakna”.
Untuk mewujudkan amanah diatas bukanlah hal yang bebas nilai, karena
pendidikan tidak sewajarnya hanya diarahkan pada pemilikan ilmu
pengetahuan dan teknologi atau kemahiran dan keakhlian tertentu.
Tugasnya adalah membangun diri pribadi sebagai penanggung eksistensi,
pengukuhan diri pribadi sebagai kesejatian berhubungan dengan
pembentukan identitas diri yang mantap.
Oleh karena itu para pengajar baik guru atau dosen memahami metode
da’wahnya Sunan Gunung Jati dalam mendidik dan mengajar sehingga
terbentuk insan yang Imtaq dan menguasai iptek dengan mantap. Walaupun
metode da’wah SGJ itu “tradisional”, namun masih relevan pada saat
sekarang, misalnya metode yang pertama bila dipergunakan oleh guru dalam
semua bidang studi akan banyak membawa manfaat.
Adapun Ibroh atau pelajaran yang bermanfaat dari metode berda’wah dari
SGJ yang layak untuk diimplementasikan dalam sistem pendidikan kita
diantarannya adalah:
1. Menyeru manusia (murid) menuju jalan yang diridhoi Alloh AWT. Kepada
mereka diberikan keterangan, pemahaman, dan perenungan tentang Islam,
bertukar pikiran dari hati ke hati, penuh toleransi dan pengertian dari
pihak pengajar kepada muridnya.
2. Sebagai upaya mengenalkan adanya Alloh SWT sedini mungkin, kalau
nilai agama sudah kuat dimiliki anak didik, pelajaran apapun tidak akan
menjadi masalah dan selalu dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan
3. Bila semua mata pelajaran disampaikan kepada murid atau siswa atau
mahasiswa berdasarkan metode da’wahnya SGJ yang berlandaskan pada agama,
akan mendekati kebenaran yang mutlak.
4. Pendidikan nasional harus mengakar pada kebudayaan nasional, yang
merupakan hasil karya dari bangsa Indonesia sendiri, mengandung ciri
ciri khasnya orang Indonesia dan menjadi kebanggaan
H. SUNAN MURIA
Sunan Muria adalah salah satu bagian dari Wali Songo. Dari caranya
memilih lokasi padepokan, Sunan Muria menjadi wali yang paling eksotik.
Padepokan itu terletak di kaki Gunung Muria, Jawa Tengah, tepatnya di
Colo, yang dari kakinya sendiri masih harus mendaki jalan melingkar
sepanjang 7 kilometer. Disebut kaki gunung, tapi posisinya berada di
suatu puncak.
Sejarawan De Graaf dan Pigeaud berdasarkan sumber-sumber literer
menyatakan dalam Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa (1974) bahwa
semula Demak merupakan sebuah distrik yang “terletak di pantai selat
yang memisahkan Pegunungan Muria dari Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya
agak lebar dan dapat dilayari dengan baik, sehingga kapal-kapal dagang
dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang.
Tetapi sudah sejak abad XVII jalan pintas itu tidak lagi dapat dilayari
setiap saat.”
Dalam bukunya yang lain, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I
(1961), De Graaf masih mencatat, “… residen ini dengan sebuah kapal
kecil melewati daratan yang tergenang air di sebelah selatan Muria.”
Dengan begitu, jika memang Sunan Muria hidup di abad XV, berarti ia
menyeberangi selat itu lebih dahulu, sebelum mendaki sampai ke puncak
Colo untuk mendirikan padepokannya.
Jangan Jadi Maling Kopo
Dalam legenda Maling Kopo, dikisahkan bahwa Sunan Muria menghadiri pesta
tasyakuran (syukuran) di Juwana yang diadakan Ki Ageng Ngerang, kakek
Juru Martani yang kelak akan menjadi pendukung penting Sutawijaya dalam
mendirikan Kerajaan Mataram.
Konon pesta yang dihadiri murid-muridnya itu untuk mensyukuri
tercapainya usia 20 dari putri Ki Ageng, yakni Dewi Roroyono. Adalah
putri tersebut yang menghidangkan makanan dan minuman, yang membuat
salah seorang muridnya, Adipati Pethak Warak, terpesona begitu rupa
sehingga menculiknya malam itu juga dan membawanya ke Mandalika di
wilayah Keling. Tentu saja ini membuat Ki Ageng murka. lantas
menyayembarakan putrinya tersebut: Barangsiapa mampu mengembalikan
Roroyono boleh menjadi suaminya. Sunan Muria yang mengajukan diri untuk
merebut Roroyono, bukan karena bermaksud memperistri, melainkan sekadar
membantu gurunya, karena ia sendiri juga sudah menikah.
Ketika ia berangkat, di jalan bertemu dengan dua bersaudara murid-murid
Ki Ageng, yakni Genthiri dan Kopo. Mereka berdua langsung menawarkan
bantuan, untuk menggantikan Sunan Muria, dan jika berhasil Roroyono
tetap menjadi istri Sunan Muria.
Alhasil, dengan bantuan orang sakti bernama Wiku Lodhang Datuk, Roroyono
berhasil diambil kembali. Apa boleh buat, malah sekarang Kopo tersebut
jatuh cinta kepada Roroyono sampai jatuh sakit. Padahal, Roroyono sudah
diperistri Sunan Muria. Prihatin atas penderitaan adiknya, Genthiri
berangkat ke Muria bermaksud merebut Roroyono, tetapi ia tewas dalam adu
kesaktian melawan murid-murid Sunan Muria. Mendengar berita ini, Kopo
berangkat menyusulnya ketika Sunan Muria dan murid-muridnya turun
gunung. Setelah berhasil menculik Roroyono, Kopo dengan cerdik
membawanya ke Pulau Seprapat, tempat Wiku Lodhang Datuk bermukim. Namun
orang sakti itu tidak bersedia membantunya, sehingga ketika murid Sunan
Muria yang mengejarnya tiba, Kopo hanya bisa memberi perlawanan sebentar
sebelum mati terbunuh. Sejak saat itu, istilah “Maling Kopo” diberikan
kepada mereka yang membawa lari perempuan untuk dipaksa jadi istrinya.
Dari legenda ini, kita dapat meng-implementasi-kannya ke dalam kehidupan
kita, agar kita “Jangan Jadi Maling Kopo” (orang yang membawa lari
perempuan untuk dipaksa jadi istrinya)
I.MAULANA MALIK IBRAHIM
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan
lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah
Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah
Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi.
Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan
Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari
Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang
ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand.
Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina
Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan
cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga
murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri
untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia
pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa.
Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia
merangkul masyarakat bawah – kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka
sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat
sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang
saudara.
Cara – cara inilah yang sekarang diimplikasikan oleh kebanyakan
politikus kita dalam kehidupan berpolitk praktis untuk menggalang massa
sebanyak – banyaknya dengan berkedok pada jargon “berpihak pada kawulo
alit, wong cilik, dekat dengan rakyat dan sebagainya” demi mendapatkan
dukungan dan simpati rakyat, dari yang hanya sekedar untuk memenangkan
partainya, meraih kekuasaan sampai dengan yang benar – benar
memperjuangkan aspirasi dan nasib rakyat.