Sunday 29 September 2013

Filosofi PANDAWA menurut Kanjeng Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga atau Raden Seca atau Raden Syahid atau Raden Said adalah salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Indonesia yang media dakwahnya beraneka macam, dan salah satunya adalah melalui seni pewayangan. Wayang purwa asli peninggalan zaman Hindu yang disebut wayang beber karena tokoh-tokohnya dilukis hanya pada selembar kulit oleh Sunan Kalijaga diubah, tiap tokoh ditatah sendiri-sendiri seperti yang kita jumpai sekarang. Untuk menghindari larangan agama waktu itu, tokoh-tokoh tersebut dibuat serba pipih, tidak persis seperti manusia biasa. Anehnya, malah membuat makin tinggi cita rasa dan nilai seninya serta menimbulkan kesan unik. Dipadukannya ajaran Islam dengan filosofi pewayangan sehingga banyak bangsawan dan cendekiawan yang tertarik untuk menjadi pengikutnya.
 
Rukun Islam yang lima perkara, misalnya, digambarkan melalui lima ksatria Pandawa. Walaupun diancam dan dicurangi Kurawa, mereka selalu berjaya bahkan berhasil memenangkan pertempuran di medan Kurusetra dalam palagan atau perang Bharatayudha.
pandawan

Rukun pertama dijelmakan dalam tokoh tertua Yudhistira alias Samiaji atau Puntadewa. Dengan senjata pamungkasnya, Jimat Kalimosodo, alih kata dari Kalimah Syahadat, raja bijaksana itu tidak pernah kalah dan tidak pernah putus asa. Ia selalu sabar menghadapi musibah, senantiasa berbaik sangka kepada setiap orang, dan kalau perlu mengalah demi menjaga persatuan menuju kejayaan.

Rukun kedua, salat (fardhu), diisyaratkan melalui Raden Werkudara atau Bima (Brathasena), yang tidak pernah duduk dan selalu siap dengan kuku Pancanakanya. Artinya, salat lima waktu tidak boleh tidak mesti ditegakkan dalam keadaan apapun. Sedang sakit pun salat harus tetap dikerjakan seperti halnya Bima yang selalu berdiri kokoh setiap saat. Lewat pelaksanaan salat, derajat manusia tidak dibeda-bedakan, termasuk antara orang kecil dan pembesar negara sekalipun. Hal itu diibaratkan sama dengan sikap Werkudara yang tidak pernah memakai bahasa halus kromo inggil dan tetap berbicara ngoko kepada semua orang, tanpa bermaksud kurang ajar.

Rukun ketiga, puasa (dalam bulan Ramadan), menggunakan lambang Raden Arjuna (Raden Permadi), ksatria Pandawa yang paling ganteng dan digandrungi kaum wanita. Persis seperti orang berpuasa, godaan hawa nafsu banyak sekali. Andaikata tidak kuat menghindarinya, pasti akan jebol pertahanannya.

Rukun keempat dan kelima, zakat dan haji, digambarkan sebagai dua ksatria kembar, Nakula dan Sadewa. Mereka adalah tokoh yang tidak sering muncul, sebagaimana zakat dan haji yang hanya diwajibkan bagi orang-orang yang mampu. Akan tetapi, tanpa Nakula dan Sadewa, Pandawa akan rapuh dan hancur. Begitu pula umat Islam, jika tidak ada para hartawan yang sanggup membayar zakat dan menunaikan haji, fakir miskin akan terancam oleh kekafiran dan pemurtadan. Kesenjangan antara orang kaya dan orang melarat tidak akan terjembatani.