This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Showing posts with label Budaya. Show all posts
Showing posts with label Budaya. Show all posts

Tuesday 28 May 2013

Cangkriman : Ilmu Bumi

Saya ingat waktu Sekolah Dasar dulu. Saya sekolah di SD Negeri Jetisharjo I Yogyakarta. Pak Guru menggambar arah mata angin kemudian peta jalan di sekitar sekolah. Lalu kita dibawa keluar gedung, berjalan mengikuti petunjuk dalam peta. Atau dibalik: Kita keluar sekolah, jalan mengikuti pak guru kemudian sekembali ke sekolah, kita membaca peta yang telah digambar pak guru. Kita cari lagi jalan atau gang mana yang tadi kita lalui. Terus terang itulah kali pertama saya kenal “Ilmu Bumi” sebelum mulai menjelajah peta Indonesia dan Dunia dalam atlas maupun dalam perjalanan sesungguhnya.
 
Saya bersyukur bahwa negara tercinta kita ini adalah negara merdeka. Bila tidak, dunia kita ini mungkin amat sepi. Dunia kita yang anak Yogya mungkin hanya sebatas Yogya – Solo saja, seperti diungkapkan dalam tembang “Wilting Klapa” sebagai berikut:
Witing klapa, jawata ing ngarcapada, salugune wong wanita, kula sampun jajah praja ing Ngayogya Surakarta”
Ya, hanya sebatas Yogyakarta sampai Surakarta padahal kita punya Sabang sampai Merauke. 
Intro saya sudah terlalu panjang. Saya hanya ingin menunjukkan satu tembang Pucung. Sepertinya bukan cangkriman, tapi sebenarnya adalah cangkriman tembang yang bersendikan pengenalan aran mata angin. Sayangnya tembang ini amat bersifat lokal sehingga hanya dapat dipahami anak Yogya atau orang yang mengenal kota Yogya dan tahu bahasa Jawa.
Bapak pucung Pasar Mlathi kidul Dhenggung; Kricak lor negara; Pasar Gedhe loring Loji; Menggok ngetan kesasar ning Gondomanan.
Terjemahannya:
Bapak pucung Pasar Mlati di selatan Denggung; Kricak di utara kotaraja; Pasar Gedhe (Beringharjo) di utara loji; Belok ke timur tersesat di Gondomanan
Berarti kita harus tahu Denggung, Pasar Mlati lalu Kampung Kricak. Yang dimaksud “loji” mungkin Gedung Negara yang sekarang ini. Loji adalah gedung-gedung Belanda. Kalau belok ke timur kemudian kita tersesat di Gondomanan pertanyaannya adalah: Dimanakah posisi kita saat melantunkan tembang Pucung ini? Silakan dijawab. 
Tembang ini mungkin sudah jarang di dengar lagi. Wawasannya memang terlalu sempit untuk ukuran sekarang. Tetapi nilai pendidikan untuk mengenal wilayah pada masa itu perlu diapresiasi. Sekarang memang bukan sekedar “ing Ngayogya Surakarta” tetapi “Dari Sabang sampai Merauke ................... itulah Indonesia”
sumber : http://iwanmuljono.blogspot.com

Jenis dan Kaidah Cangkriman : Cangkriman Tembang

CANGKRIMAN TEMBANG

Yang ini agak serius walaupun isinya bisa lucu. Tentusaja harus mengikuti kaidah tembang yang digunakan. Apakah Pucung, Pangkur atau tembang macapat lainnya. Hampir mirip dengan “Cangkriman pepindhan”, ada barang atau keadaan yang harus ditebak. Contohnya tembang Pucung di bawah ini:

Bapak pucung dudu watu dudu gunung; Sangkamu ing sabrang; ngon-ingone sang Bupati; Yen lumaku si pucung lembehan grana

Terjemahannya: Bapak pucung bukan batu bukan gunung (berarti sesuatu yang besar); Asalmu dari seberang (berarti bukan dari tanah Jawa); Piaraan sang Bupati (dipelihara sang Bupati); Kalau berjalan si pucung berlenggang hidung (siapa lagi yang jalannya bergoyang hidung kalau bukan “gajah”)

Bahasa Jawa : Cangkriman

kalau permainan anak yang lain pelan-pelan punah karena kalah bersaing dengan permainan baru, maka “cangkriman” bisa punah karena memang ada diantaranya yang ketinggalan jaman atau tidak bisa dipahami lagi pada masa sekarang. “Cangkriman” sendiri tidak akan punah, “cangkriman” baru tetap banyak bermunculan, khususnya “cangkriman blenderan” atau cangkriman “plesetan”. Obyek “plesetan” memang ibarat sumur yang tak pernah kering airnya. Di bawah ini beberapa contoh cangkriman yang nyaris tidak bisa dipakai lagi pada abad ke 21:
  1. Sega sekepel dirubung tinggi” (Nasi sekepal dikerumuni kutu busuk). Jawabannya adalah “salak” Kulit buah salak memang mirip kerumunan kutu busuk bagi yang pernah melihat kutu busuk. Jaman dulu kutu busuk merajalela khususnya di tempat tidur dan kursi. Sekarang rasanya hampir tidak pernah lagi kita jumpai. Sulitlah anak sekarang walaupun IQ nya tinggi, berimajinasi bahwa salak itu seperti nasi sekepal yang dikerumuni kutu busuk.

Jenis dan Kaidah Cangkriman

Cangkriman” bukanlah sekedar olah tutur yang “waton nyatur” (asal bunyi) karena disamping ada beberapa jenis cangkriman, eksekusinya pun  juga pakai kaidah.
Jadi tidak terlalu gampanglah orang membuat cangkriman. Supaya kita  mampu merakit sebuah  cangkriman termasuk menjawabnya, diperlukan kecerdasan, kreativitas dan wawasan. Ada empat jenis “cangkriman” yaitu “cangkriman wancahan, pepindhan, blenderan dan tembang”

1. CANGKRIMAN WANCAHAN

“Wancahan” dalam bahasa Indonesia adalah singkatan. “Cangkriman wancahan” adalah cangkriman “akronim”. Tapi ada rumusnya, yaitu yang dipakai adalah satu atau dua suku kata terakhir. Bukan suku kata terdepan, tengah, atau campuran. Kita tentu tahu akronim “Gakin dan Maskin”. Yang satu “keluarga miskin” dan satunya “masyarakat miskin”. Mana yang benar menurut tatacara Jawa? Tentusaja “Gakin” karena menggunakan suku kata terakhir dari tiap kata. Beberapa contoh “cangkriman wancahan” antara lain:

Contoh Penggunaan Cangkriman Dalam Kehidupan Sehari - hari

Kira-kira sebulan lalu saya di kantor Cipaganti, Bandung, menunggu keberangkatan travel mau kembali ke Jakarta. Masih cukup waktu jadi saya minum kopi di sebelah. Ada laki-laki setengah umur seperti saya menyapa: “Ijin join ya pak, gak ada tempat lagi”.
“Mangga pak”, lidah sudah terlanjur lebih mudah ngomong “mangga” daripada “silakan”. Bagaimanapun saya tetap ingat Yitna yuwana lena kena walaupun kemudian saya merasa bersalah karena orang ini ternyata orang baik-baik.

“Bapak Jawa ya”, mungkin karena “monggo” saya tadi. “dari mana Pak?”

“Jogja, Pak”, jawab saya pendek.

“Saya juga Jogja. Tapi Jogja kemringet”. Kemringet adalah berkeringat. Maksud bapak adalah dia berasal dari desa di wilayah Jogja, cukup jauh dari Jogja.

Mengenal Tradisi Ruwatan


Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan didalam hidupnya.
Kebudayaan Jawa sebagai subkultur Kebudayaan Nasional Indonesia, telah mengakar bertahun-tahun menjadi pandangan hidup dan sikap hidup umumnya orang Jawa. Sikap hidup masyarakat Jawa memiliki identitas dan karakter yang menonjol yang dilandasi direferensi nasehat-nasehat nenek moyang sampai turun temurun, hormat kepada sesama serta berbagai perlambang dalam ungkapan Jawa, menjadi isian jiwa seni dan budaya Jawa.

Didalam ungkapan " Crah Agawe Bubrah - Rukun Agawe Santosa " menghendaki keserasian dan keselarasan dengan pola pikir hidup saling menghormati. Perlambang dan ungkapan-ungkapan halus yang mengandung pendidikan moral, banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, misalnya :

1. Ojo Dumeh : Merasa dirinya lebih

2. Mulat sarira, Hangrasa wani : Mawas diri, instropeksi diri

3. Mikul Duwur, Mendem Jero : Menghargai dan menghormati serta menyimpan - rahasia orang lain.

Mengenal Keris

Keris dan Tosan Aji lainnya, bagi Masyarakat Nusantara tentu memiliki makna tersendiri, bukan saja tentang tuah ataupun yoni, tetapi juga makna budaya, sejarah dan filosofi yang sarat makna, bahkan telah menjadi semacam Filosofi Hidup.
Berbagai buku telah mengupas banyak tentang keris. Berbagai forum diskusi, baik yang santai sambil disambi ngopi, setengah serius dan sampai yang serius berbentuk seminar dan lokakarya telah pula dilakukan. Perdebatan dan kesamaan pendapat selalu muncul mengiringi perkembangan budaya keris.

Keris, dari jaman dahulu hingga sekarang telah menjadi suatu benda yang menarik untuk dimiliki sebagai benda koleksi, dipandang sebagai suatu bentuk karya seni dan spiritual yang sangat indah maupun diperbincangkan dari berbagai aspek. Bukan saja pada aspek fisik maupun non fisik, tetapi juga aspek sejarah dan evolusi perkembangannya.

Makna cerita dalam Serat Dewa Ruci

Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr. Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito.
Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
"angkatan tua", ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk "ilmu kasampurnan" .

Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan "bahasa" orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,

Kumpulan Suluk Sunan Bonang #2

Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.

Asal Usul Nama Indonesia


PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan).
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang) nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).
Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi(Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia.

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa
Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”.

Serat Sabdo Jati dan maknanya

Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito. Demikian nama salah seorang pujangga terkenal yang pernah menorehkan jejak gemilang dalam kesusastraan Jawa di abad 19. Namanya senantiasa dikenang sebagai pujangga besar yang karya-karyanya tetap abadi hingga kini.
Dari tangan pujangga asal Keraton Surakarta ini lahir berbagai karya sastra bermutu tinggi yang sarat nilai kemanusiaan. Buku-bukunya antara lain membahas falsafah, ilmu kebatinan, primbon, kisah raja, sejarah, lakon wayang, dongeng, syair, adat kesusilaan, dan sebagainya. Namun sebagian masyarakat Jawa, terutama rakyat jelata, sering mengidentikkan Ronggowarsito dengan karangan-karangan yang memadukan kesusastraan dengan ramalan yang penuh harapan, perenungan dan perjuangan.

Dilahirkan pada 15 Maret 1802 dengan nama asli Bagus Burham. Ayahnya seorang carik Kadipaten Anom yang bernama Raden Mas Pajangswara. Ibunya Raden Ayu Pajangswara merupakan keturunan ke-9 Sultan Trenggono dari Demak.
Bakat dan keahliannya dalam bidang kesusastraan semakin terasah dengan bimbingan kakeknya Raden Tumenggung Sastronegoro. Semenjak kecil, ia dibekali ajaran Islam dan pengetahuan yang bersandar pada ajaran kejawen, Hindu, Budha, serta ilmu kebatinan.
Karya-karya besarnya yang terkenal sampai saat ini adalah Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut "zaman edan". Ada kitab Jaka Lodhang yang berisi ramalan akan datangnya zaman baik, serta Sabdatama yang berisi ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah laku manusia yang tamak.Menjelang akhir hayatnya, Ronggowarsito menulis buku terakhir Sabdajati yang di antaranya berisi ramalan waktu kematiannya sendiri. Buku ini pun berisi ucapan perpisahan dan permohonan pamit karena Ki Pujangga akan segera meninggalkan dunia fana ini.
Pada 24 Desember 1873, pujangga besar dari tanah Jawa itu meninggal dunia dengan tenteram. Tempat peristirahatan terakhirnya terletak di Palar, sebuah desa kecil di wilayah Klaten.

Hawya pegat ngudiya Ronging budyayu
Margane suka basuki
Dimen luwar kang kinayun
Kalising panggawe sisip
Ingkang taberi prihatos

Makna Serat Kalatidha

Salah satu karya besar dari Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito, Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut "zaman edan".Lahir pada 15 Maret 1802 dengan nama asli Bagus Burham. Ayahnya seorang carik Kadipaten Anom yang bernama Raden Mas Pajangswara. Ibunya Raden Ayu Pajangswara merupakan keturunan ke-9 Sultan Trenggono dari Demak.Pada 24 Desember 1873, meninggal dunia dengan tenteram. Tempat peristirahatan terakhirnya terletak di Palar, sebuah desa kecil di wilayah Klaten.

Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaturi
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun kala tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda

Serat Centhini atau Suluk Tambanglaras

Serat Centhini (dalam aksara Jawa: ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.
Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yaitu yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V.

Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi. Berarti masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana

Falsafah Ajaran Hidup Jawa

Falsafah Ajaran Hidup Jawa memiliki tiga aras dasar utama.
Yaitu: aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia. Aras keberadaban manusia implementasinya dalam ujud budi pekerti luhur. Maka di dalam Falsafah Ajaran Hidup Jawa ada ajaran keutamaan hidup yang diistilahkan dalam bahasa Jawa sebagai piwulang (wewarah) kautaman.
Secara alamiah manusia sudah terbekali kemampuan untuk membedakan perbuatan benar dan salah serta perbuatan baik dan buruk. Maka peranan Piwulang Kautaman adalah upaya pembelajaran untuk mempertajam kemampuan tersebut serta mengajarkan kepada manusia untuk selalu memilih perbuatan yang benar dan baik menjauhi yang salah dan buruk.

Namun demikian, pemilihan yang benar dan baik saja tidaklah cukup untuk memandu setiap individu dalam berintegrasi dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat.
Oleh karena itu, dalam Piwulang Kautaman juga diajarkan pengenalan budi luhur dan budi asor dimana pilihan manusia hendaknya kepada budi luhur. Dengan demikian setiap individu atau person menjadi terpandu untuk selalu menjalani hidup bermasyarakat secara benar, baik dan pener (tepat, pas).

Kumpulan Suluk Sunan Bonang

Tasawuf dan Pengetahuan Diri
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).

Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).

Sunday 19 May 2013

Wayang Kulit #3

*Wayang Dhudahan
Wayang dhudahan yaiku wayang kang ora melu disimping nanging mung disimpen ana sajroning kothak. Biasane wayang dhudahan kuwi klebu wayang kang kerap dilakokake dening Ki Dhalang.
Contone wayang dhudahan :
1. Dhudahan Kurawa
Patih Sengkuni , Pandhita Durna , Burisrawa , Dursasana , Kartamarma , Jayadrata , Durmagati-Durgempa-Durmuka-lan sapiturute , Aswatama , Citraksa , Citraksi
2. Dhudahan Pandhita lan Dewa
Begawan Abiyasa , Begawan Sempani/Sapwani , Resi Wisrawa , Begawan Wilwuk , Nagaraja , Anantaboga , Badawangananala
3.Dhudahan Raseksa (buta)

Wayang Kulit #2

SIMPINGAN
Akehe wayang ing kothak ora padha ing antarane dhalang siji lan liyane. Ana kang kurang saka 180, ana uga kang nganti 400 wayang. Wayang mau ana kang ditata ing pakeliran sisih tengen lan kiwa, ana uga kang ing njero kothak.
1. Simpingan Kiwa
Ing antarané kang ditata ana ing sisih kiwa yaiku:
-Buta Brahala utawa Ditya
-Balasrewu
-Kumbakarna
-Tremboko
-Bathara Gana

WAYANG KULIT #1

Wayang Kulit iku salah sawijining pagelaran wayang ingkang mbabaraké lakon mahabharata utawa ramayana sing wayangé digawé saka kulit. Jinising wayang iki kang paling disenengi ing Tanah Jawa. Wayang iki digawé saka kulit kang ditatah lan diéntha kaya déné manungsa. Umumé wayang kulit nglakonaké lakon Wayang Purwa, nanging ana uga kang nganggo Crita Menak lan Babad Tanah Jawa, crita agama (Kristen, Buddha), perjuwangan, lan manéka warna crita liyané.
Wayang kulit dilakokaké ing layar putih kang sinebut kelir. Déné wayang-wayang kuwi ditancepaké ing debog ana ing sisih tengen lan kiwané dhalang. Gamelan kang ana ing sisih mburi ngiringi pagelaran iki.
Pagelaran wayang wis diakoni déning UNESCO ing tanggal 7 November 2003, dadi karya kabudayan kang édi péni ing babagan crita dongéng lan warisan kang berharga sanget (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Suwaliké, UNESCO nyuwun supaya Indonesia njaga (preserve) warisan kuwi.