Kira-kira sebulan lalu saya di
kantor Cipaganti, Bandung, menunggu keberangkatan travel mau kembali ke
Jakarta. Masih cukup waktu jadi saya minum kopi di sebelah. Ada
laki-laki setengah umur seperti saya menyapa: “Ijin join ya pak, gak ada
tempat lagi”.
“Mangga pak”, lidah sudah terlanjur lebih mudah ngomong “mangga” daripada “silakan”. Bagaimanapun saya tetap ingat Yitna yuwana lena kena walaupun kemudian saya merasa bersalah karena orang ini ternyata orang baik-baik.
“Bapak Jawa ya”, mungkin karena “monggo” saya tadi. “dari mana Pak?”
“Jogja, Pak”, jawab saya pendek.
“Saya juga Jogja. Tapi Jogja kemringet”. Kemringet adalah berkeringat. Maksud bapak adalah dia berasal dari desa di wilayah Jogja, cukup jauh dari Jogja.
“Mangga pak”, lidah sudah terlanjur lebih mudah ngomong “mangga” daripada “silakan”. Bagaimanapun saya tetap ingat Yitna yuwana lena kena walaupun kemudian saya merasa bersalah karena orang ini ternyata orang baik-baik.
“Bapak Jawa ya”, mungkin karena “monggo” saya tadi. “dari mana Pak?”
“Jogja, Pak”, jawab saya pendek.
“Saya juga Jogja. Tapi Jogja kemringet”. Kemringet adalah berkeringat. Maksud bapak adalah dia berasal dari desa di wilayah Jogja, cukup jauh dari Jogja.
Selesai berbasa-basi beliau berceritera bahwa jaman dulu permainan anak desa dan anak kota hampir sama. Disebutkan antara lain gobag sodor, sepak sekong, benthik dan beberapa lagi. Termasuk “Cangkriman”.
“Cangkriman” atau disebut pula “bedhekan”, bisa juga “badhean” adalah teka-teki atau tebakan. Anak kota dulu juga suka cangkriman. Kalau sore “jagongan” sama teman, pas tidak bermain dengan tenaga fisik, maka kita main tebak-tebakan.
“Burnaskopen?” Tiba-tiba bapak itu mulai dengan cangkrimannya.
“Bubur panas kokopen”, jawab saya (dikokop: Mulut langsung nempel bibir mangkuk, tanpa sendok). “Itu sih gampang sekali”.
Beliau ketawa keras sekali. “Hanya ngetes anak kota”, katanya. Jadilah setengah jam waktu tunggu dihabiskan untuk bernostalgia perkara “cangkriman”.
Cangkriman adalah peristiwa tutur dalam suasana santai. Perlu berfikir tetapi bukan fikiran yang berat. Unsur permainan dan hiburannya besar tetapi juga ada unsur pendidikannya sekaligus melatih kecerdasan dan kreativitas. Bisa dilakukan dimana saja dan tanpa biaya kecuali kalau sambil makan minum di warung.
Cangkriman perlu “provokator”. Ketika seorang mulai dengan cangkrimannya: “Apa bedane balapan jaran karo balapan pit?” (Pit: Sepeda). Maka gayung pun bersambut. Mulai ada yang menjawab, ada yang salah, ada juga yang betul. Kalau tidak ada yang menjawab dengan benar maka si pemberi cangkriman akan menjawab sendiri: “Kalau balapan jaran (kuda) ada penitipan sepeda tetapi kalau balapan sepeda tidak ada penitipan kuda”. Lalu yang lain gantian memberikan cangkriman. Perlu pencetus, tanpa direncanakan tetapi “gayeng”
Karena bisa menimbulkan tawa, maka para pelawak khususnya yang bernuansa Jawa, seperti Dhagelan Mataram dan Ludruk banyak menggunakan cangkriman, utamanya yang bernuansa plesetan. Kalau ditanya: “Iwak kucing karo iwak pitik enak endi?” (daging kucing dan daging ayam enak mana?). Hati-hati, kalau kita jawab enak daging ayam maka akan diteruskan dengan: “Kalau begitu kamu pernah makan daging kucing?”.
Memang ada cangkriman yang tidak terlalu santai, misalnya cangkriman yang disampaikan dalam bentuk “tembang”. Bahkan ada cangrkiman sayembara, khususnya di dunia Pedhalangan. Raden Sadewa berhasil memperistri Dewi Srengginiwati putri Raja Bhadawanganala karena mampu menebak cangkrimannya.
Demikian pula begawan Wisrawa berhasil “mbatang” (menebak) cangkriman Dewi Sukesi. Begawan Wisrawa sebenarnya ikut sayembara atasnama putranya, Prabu Danaraja dari Kerajaan Lokapala. Dari sini masalah tumbuh. Dewi Sukesi tidak mau diperistri Prabu Danaraja, Dia hanya mau diperistri orang yang berhasil menebak “cangkriman”nya. Bagaimanapun Begawan Wisrawa menolak, Dewi Sukesi tetap bersikeras.
Saya tidak berceritera wayang disini, singkat ceritera dari peristiwa "mbatang cangkriman" Dewi Sukesi tidak menjadi isteri Danapati tetapi menjadi istri Begawan Wisrawa, bapaknya Danapati, dan putra yang dilahirkan dari pasutri Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi adalah: Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Gunawan Wibisana
sumber : iwanmuljono.blogspot.com