Tuesday 28 May 2013

Serat Centhini atau Suluk Tambanglaras

Serat Centhini (dalam aksara Jawa: ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.
Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yaitu yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V.

Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi. Berarti masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana

IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa).
Yang dijadikan sumber dari Serat Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala jati tunggal swara raja, yang menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa, berarti masih di zamannya Sunan Pakubuwana III). Tidak diketahui siapa yang mengarang kitab Jatiswara. Bila dianggap pengarangnya adalah R.Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan
karena terdapat banyak selisihnya dengan kitab Rama atau Cemporet.

Tujuan dan pelaku penggubahan
Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini ini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu, yang termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama. Pengerjaan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom, dan
yang mendapatkan tugas membantu mengerjakannya adalah tiga orang pujangga istana, yaitu:
- Raden Ngabehi Ranggasutrasna
- Raden Ngabehi Yasadipura II (sebelumnya bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita I)
- Raden Ngabehi Sastradipura
Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur, Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan
pengetahuannya tentang agama Islam.

Pengerjaan isi
R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota,bersangkala Paksa suci sabda ji.
Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura(sekarang juga bernama Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama
oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.
Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebab Pangeran Adipati Anom mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa pengetahuan tentang masalah senggama kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.
Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas
dan duabelas) kepada ketiga pujangga istana tadi. Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 725 lagu.

Ringkasan isi

Serat Centhini atau berjudul resmi Suluk Tambangraras disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram.
Diawali dengan kehancuran kekuasaan Giri oleh Mataram, yang digambarkan pada tembang kedelapan; suatu malam hujan berat, Pangeran Surabaya sendirian datang menghadap ke serambi masjid Giri. Pangeran Pekik namanya, dan dia berujar: "Wahai Sunan Giri, dengarkan baik-baik perkataanku. Sultan Agung adalah raja Tanah Jawa. Gusti Jagad di atas jagad, beliau memerintah dengan sangat santun, bijaksana, dan sesuai dengan hukum Allah serta sakti. [...] Bila
kamu benar-benar menginginkan kedamaian dan kemakmuran bagi Kerajaan Giri, bersujudlah kepada Sultan Agung..."

Dari sinilah kisah dimulai. Sunan Giri menolak, perang pecah, Giri takluk dan tiga putranya bernama Jayengresmi, Jayengsari dan Rancangkapti, memilih untuk melakukan perjalanan spiritual. Berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.

Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Dalam perjalanan itu, mereka memperolah pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawi, syariat para nabi, pengetahuan mengenai wudlu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dua puluh, Hadis Markum, hingga perhitungan selamatan orang meninggal dunia, serta perwatakan Kurawa dan Pandawa.
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh- tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai
dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan
tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.

Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.

Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.

Kesemua yang diperoleh itu bisa dicernai lewat 722 tembang. Tentu butuh waktu untuk mencernanya, apa lagi jika masih dalam bahasa aslinya, bahasa Jawa. Ringkasannya berbahasa Indonesia sudah diterbitkan oleh Balai Pustaka
pada 1981. Begitupun 12 jilid pernah diterbitkan oleh Yayasan Centhini, dan tiga jilid pertama diterbitkan lagi oleh Balai Pustaka pada 1991.

Lingkup pengaruh
Karya ini boleh dikatakan sebagai ensiklopedi mengenai "dunia dalam" masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon(horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat,cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya.

Menurut Ulil Abshar Abdalla, terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada syariahpesantren dan Walisongo. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkannya dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik" seolah antara alam monoteisme-Islam dan paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.

Dr. Badri Yatim MA menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.

Serat Centhini terus menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa Ranggawarsita sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranya adalah versi keraton Mangkunegaran tersebut.

Kepustakaan

Sunan Pakubuwana VII, yang bertahta dari tahun 1757 sampai 1786, berkenan menghadiahkan Suluk Tambanglaras tersebut kepada pemerintah Belanda. Akan tetapi yang diberikan hanya mengambil dari jilid lima sampai sembilan,dengan menambah kata pengantar baru yang dikerjakan oleh R.Ng. Ranggawarsita III. Kitab tersebut bersangkala Tata resi amulang jalma, yang berarti 1775, dan dijadikan delapan jilid, diberi judul Serat Centhini, yang terdiri dari 280 lagu.

Penerbit PN Balai Pustaka pada tahun 1931 pernah pula menerbitkan ringkasan Serat Centhini, yang dibuat oleh R.M.A. Sumahatmaka, berdasarkan naskah milik Reksapustaka istana Mangkunegaran. Ringkasan tersebut telah dialihaksarakan dan diterjemahkan secara bebas dalam bentuk cerita, yang diharapkan pembuatnya dapat mudah dipahami oleh masyarakat yang lebih luas.

Contoh Bait Serat Centhini

Ada beberapa stigmatis yang berkembang seiring dengan munculnya Serat Centhini, yang oleh beberapa kalangan dituduh hanya mengumbar hawa nafsu dan merupakan cerminan dari watak masyarakat Jawa. Sebenarnya ini hanyalah bagian tertentu, yang menceritakan kehidupan manusia secara utuh. Sama halnya jika kita melihat relief pada kaki candi Borobudur yang mengambarkan kehidupan taraf rendah, yang dipenuhi dengan nafsu belaka. Pada tahapan tertentu akan muncul kejenuhan dan selanjutnya manusia ingin mengetahui tujuan hidupnya dan bertemu dengan penciptanya.
Berikut ini merupakan contoh bait dari Serat Centhini, yang berisi peringatan akan datangnya hari kiamat, beserta tanda- tanda yang menyertainya.

Ki Sali ing Laweyan nglajengaken katrangan bab Jangka Jayabaya, wiwit jaman Kalawisesa ing jaman Pajajaran dumugi jumenengipun turun Sultan Erusakra ing Ngamartalaya ngantos dumuginipun Kiyamat Kobra (kaca 1 - 6). Kasambet katranganipun Ki Atyanta bab Kiyamat Kobra miturut Hadis kanthi pratandha ngalamat warni 40.

Sabibaripun, Mas Cebolang nglajengaken lampah dumugi ing Majasta kapanggih Ki Jayamilasa (jurukunci pasareyan Jaka Bodho putra raja majapait ingkang ngrungkebi agami Islam). Lajeng sami jiyarah ing pasareyan Majasta.

Ing Sapinggiring lepen Dengkeng wonten wit asem ing tengahipun menggik alit. Miturut Ki Jayamilasa wit asem wau ing jaman kinanipun kangge nancang gethekipun Jaka Tingkir. Lajeng kabeberaken babadipun Jaka Tingkir nalika badhe
suwita dhateng Demak, numpak gethek. Lerem ing Majasta, gethek kacancang wit asem ingkang tilasipun taksih katingal pingget alit ing tengah wau (kaca 48 - 55).
Lampahanipun dumugi sendhang Banyubiru ingkang rumiyinipun papan mejang ngelmu raos, sarta sami ningali siti ingkang kaangge Jaka Tingkir anggala maesa. Maesa ngamuk, ingkang saged nyepeng namung Jaka Tingkir. Lajeng sami jiyarah ing astana Banyubiru. Mas Cebolang kapengin kapanggih Seh Hersaranu, dumadakan mireng suwanten

bilih sagedipun kapanggih Seh Hersaranu benjing menawi sampun emah-emah wonten ing Wanataka (kaca 60 - 61). Lampahipun dumugi dhusun Teleng sumerep sendhang Tirtamaya. Miturut kaol, sinten ingkang adus ing sendhang cacah sanga ing laladan ngriku, mangka rampung saderengipun pletheking surya, yekti teguh timbul tuwin yuwana. Lumampah mangetan tumuju dhateng Pacitan.

Ing Girimarta kapanggih Endrasmara, putranipun Ketib Winong ing mataram, ing ngayeng badhe ngaos dhateng
Panaraga kandheg ing Girimarta sesemah Rara Indradi putranipun Kyai Haji Nurgirindra. Endrasmara mila karem ulah asmara, semahipun sakawan sami rukun. Ing dalunipun rerembegan bab gesang lan panggesanganing manungsa tuwin ihtiyaripun.

Nyandhak kawruh tasawuf lan fekih, Endrasmara milih fekih ingkang mupakat kanggenipun tiyang Jawi. Endrasmara medhar bab pratingkahing cumbana tuwin sipat-sipating wanita dalah panggigahing napsu asmara. Kyai Haji Nurgirindra ngawontenaken pengetan Maulud Nabi ngundang Mas Cebolang mirengaken katrangan bab Asma’ulhusna
(Asmaning Allah) tuwin khasiatipun (kaca 76 - 88).
Mas Cebolang dalah para santrinipun dherek Haji Nurgirindra dhateng griyanipun Nyai Wulanjar Demang ing Paricara ingkang ngawontenaken wilujengan pendhak geblagipun Ki Demang. Mas Cebolang ingkang katedha terbangan kanthi beksan, sengaja namur dados pawestri nama Ken Suwadi. Bokmas Demang sakalangkung kapranan dhateng Ken Suwadi, mila katedha nyipeng. Panamuripun Mas Cebolang sakalangkung remit; ing dalu badhar sanyatanipun,
ewadene malah dados pirenanipun Nyai Demang, lajeng posah-pasihan (kaca 89 - 120).

Dumugi dhusun Karang kapanggih Ki Darmayu ingkang ngreksa tumbalipun tanah Jawi. Tumbal wau wonten ing astana
Genthong, ingkang kalangse monten pethak. Tumbal ing salebeting genthong wujud balung sajempol, panjangipun sakilan (kaca 124 - 130)

Kapanggih rombonganipun Brahmana Sidhi saking Hindhustan ingkang badhe nyantuni monten langsening tumbal. Sang Brahmana wawanrembag kaliyan Mas Cebolang, ngandharaken bab gegebenganipun Kabudhan, inggih punika tataning siswa dumugi guru, ajaran gesang tumimbal, tanha, karma, cakramangggilingan, pambirating panandhang, gegayuhan ing dalem kasampurnaning Buddha, ilmu tuwin laku lan sanes-sanesipun (kaca 131 - 146).

Wondene Mas Cebolang ngandharaken isinipun Serat Rama bab kautamenipun Wibisana tuwin Kumbakarna. Sang Brahmana nyariosaken lalampahanipun Sultan Abdulkarim Kubra ingkang nyikara tiyang mlarat, wasana Sultan sirna dalah sadaya abdinipun jalaran sami boten purun nilar Sang Prabu ingkang nandhang dosa, kadosdene pakartinipun sang Wibisana ( kaca 149 - 151). Mas Cebolang nyariosaken piwulangipun Sri Rama sasampunipun kundur dhateng Ayodya inggih punika bab lepasing jiwa ingkang patitis (kaca 152 - 154).

Sabibaripun punika, Mas Cebolang dalah santrinipun nglajengaken lampah, nyabrang lepen sumerep sawatawis wanita sami gegujengan angujiwat. Dumugi dhusun Selaung kapanggih Patinggi Ki Nursubadya sarta lajeng sipeng ing
griyanipun. Ingkang ngladosi tamu sadaya tiyang estri jalaran ing Selaung tiyang jaler sami ngumbara dados warok,
remen gegemblakan, tebih dhateng tiyang estri, pangangge lan tingkahipun nelakaken sarwi sesongaran, ngendelaken dhug-dhengipun.