“Cangkriman”
bukanlah sekedar olah tutur yang “waton nyatur” (asal bunyi) karena
disamping ada beberapa jenis cangkriman, eksekusinya pun juga pakai
kaidah.
Jadi tidak terlalu gampanglah orang membuat cangkriman. Supaya kita mampu merakit sebuah cangkriman termasuk menjawabnya, diperlukan kecerdasan, kreativitas dan wawasan. Ada empat jenis “cangkriman” yaitu “cangkriman wancahan, pepindhan, blenderan dan tembang”
1. CANGKRIMAN WANCAHAN
Jadi tidak terlalu gampanglah orang membuat cangkriman. Supaya kita mampu merakit sebuah cangkriman termasuk menjawabnya, diperlukan kecerdasan, kreativitas dan wawasan. Ada empat jenis “cangkriman” yaitu “cangkriman wancahan, pepindhan, blenderan dan tembang”
1. CANGKRIMAN WANCAHAN
“Wancahan” dalam bahasa
Indonesia adalah singkatan. “Cangkriman wancahan” adalah cangkriman
“akronim”. Tapi ada rumusnya, yaitu yang dipakai adalah satu atau dua
suku kata terakhir. Bukan suku kata terdepan, tengah, atau campuran.
Kita tentu tahu akronim “Gakin dan Maskin”. Yang satu “keluarga miskin”
dan satunya “masyarakat miskin”. Mana yang benar menurut tatacara Jawa?
Tentusaja “Gakin” karena menggunakan suku kata terakhir dari tiap kata.
Beberapa contoh “cangkriman wancahan” antara lain:
- Kabaketan: “Nangka tiba ning suketan” (Nangka jatuh di rerumputan). Perhatikan yang digunakan adalah satu dan dua suku kata terakhir
- Wiwawite lesbadhonge jatos lempuk: “Uwi dawa wite tales amba gdhonge jati atos pelem empuk. Biarpun panjang, akronim tetap mampu menggunakan suku kata terakhir saja. (catatan: Uwi sejenis umbi yang menjalar)
- Ling cik tu tu ling ling yu: Mirip ucapan Cina, tetapi tetap akronim dengan suku kata terakhir. “Maling mancik watu, watu nggoling maling mlayu”. (Maling naik batu, batu terguling maling lari”. Dewasa ini banyak akronim yang dimirip-miripkan bahasa Cina tetapi perhatikan akronimnya pasti campuran suku kata depan dan akhir.
2. CANGKRIMAN PEPINDHAN
“Pepindhan” adalah analogi.
Jadi kita menyebutkan sifat suatu barang atau keadaan untuk dijawab.
Pada umumnya “cangkriman pepindhan” disampaikan dalam satu kalimat.
Sebagai contoh antara lain:
- Yen esuk sikile papat, awan sikile loro bareng sore sikile telu (waktu pagi kakinya empat, siang kakinya dua, ketika sore kakinya tiga). Jawabnya “Manusia” Masih bayi merangkak, kakinya empat, setelah dewasa bisa jalan kakinya dua dan setelah tua pakai tongkat, kakinya empat.
- Yen mandheg sikile sepuluh yen mlaku sikile loro (kalau berhenti kakinya sepuluh ketika jalan kakinya dua). Jawabnya Orang jualan makanan dengan pikulan. Contohnya orang jualan sate ayam yang dipikul. Ketika berjalan,pikulan diangkat maka kaki yang 4X2 tidak menapak di tanah, tinggal kaki yang jualan. Pengembangan dari “cangkriman” ini adalah “yen mandheg sikile 14” jawabnya orang jualan bawa dingklik untuk duduk. Dingkliknya berkaki empat.
- Dikethok malah tambah dhuwur (dipotong malah tambah tinggi). Jawabnya celana
- Mboke dielus-elus anake diidak-idak (ibunya dielus-elus anaknya diinjak-injak). Jawabnya “tangga” yang dipakai untuk memanjat.
3. CANGKRIMAN BLENDERAN (PLESETAN)
Kalimatnya jelas tetapi maksudnya bukan itu. Biasanya tidak terlalu sulit ditebak. Beberapa contoh antara lain:
- Wong dodol tempe ditaleni (Orang jual tempe ditaleni). Maksudnya yang diikat bukan orang yang jualan tempe tetapi talinya. Di pasar tradisional masih banyak kita jumpai tempe yang diikat daun, bisa daun pisang atau daun jati kemudian supaya bungkus tidak lepas maka perlu diikat.
- Gajah ngidak endhog ora pecah (Gajah menginjak telur tidak pecah). Jelas yang dimaksud bukan telurnya yang tidak pecah melainkan gajahnya.
- Yang satu ini agak moderen: Gajah numpak becak ketok apane? (Gajah naik becak kelihatan apanya). Jawabnya: Ketok ndobose (kelihatan membualnya)