kalau
permainan anak yang lain pelan-pelan punah karena kalah bersaing dengan
permainan baru, maka “cangkriman” bisa punah karena memang ada
diantaranya yang ketinggalan jaman atau tidak bisa dipahami lagi pada
masa sekarang. “Cangkriman” sendiri tidak akan punah, “cangkriman” baru
tetap banyak bermunculan, khususnya “cangkriman blenderan” atau
cangkriman “plesetan”. Obyek “plesetan” memang ibarat sumur yang tak
pernah kering airnya. Di bawah ini beberapa contoh cangkriman yang
nyaris tidak bisa dipakai lagi pada abad ke 21:
- “Sega sekepel dirubung tinggi” (Nasi sekepal dikerumuni kutu busuk). Jawabannya adalah “salak” Kulit buah salak memang mirip kerumunan kutu busuk bagi yang pernah melihat kutu busuk. Jaman dulu kutu busuk merajalela khususnya di tempat tidur dan kursi. Sekarang rasanya hampir tidak pernah lagi kita jumpai. Sulitlah anak sekarang walaupun IQ nya tinggi, berimajinasi bahwa salak itu seperti nasi sekepal yang dikerumuni kutu busuk.
- “Pitik walik saba kebon” (ayam keriting berada di kebun) jawabannya “nanas”. Mungkin masih relevan karena pohon nanas masih tetap di kebun, kecuali bagi yang sudah tidak pernah lagi lihat pohon nanas karena tinggal di daerah urban yang penuh sesak. Demikian pula “pitik walik saba meja” yang jawabannya “sulak” atau kemoceng. Jaman dulu memang yang namanya kemoceng pasti terbuat dari bulu ayam. Sekarang ini mungkin lebih banyak kemoceng yang terbuat dari “tali rafia”
- “Ing ngisor kedhung ing nduwur payung” (di bawah ada palung di atas ada payung). Jawabannya “nasi yang sedang ditanak”. Hanya bisa dijawab oleh orang yang masih kenal “dandang”. Bagian paling bawah dandang untuk tempat menaruh air, kemudian di atas air ditaruh “sarangan” (seperti saringan dengan lobang agak besar) dan diatasnya kita taruh nasi yang akan ditanak. Kemudian tutup dandang yang mengerucut bisa kita bayangkan seperti payung. Anak jaman sekarang yang tahunya “rice cooker” mana bisa membayangkan.
- “Ngarep ireng mburi ireng sing tengah methentheng” (depan hitam belakang hitam yang tengah tegang). Jawabnya “penjual arang sedang memikul arang”. Dulu memang banyak orang jualan arang seperti ini pada masa jaya arang menjadi bahan bakar utama baik untuk memasak maupun untuk seterika. Sekarang sudah ada minyak tanah, elpiji, microwave dan seterika listrik.
- “Pakboletus” ini cangkriman “wancahan” atau singkatan (akronim). Jawabnya “tapak kebo ana lelene satus”. Saya sendiri (sebagai anak kota) pada saat itu sulit memahami. Beda dengan “burnaskopen” (bubur panas kokopen). Kalau yang ini langsung paham. Bagaimana ada bekas telapak kerbau ada lelenya. Tapi memang betul, bekas kaki kerbau bisa ada ikannya. Kala itu kita main-main di dekat sawah, teman saya teriak-teriak dapat ikan di cekungan tanah pinggir sawah, yang konon bekas injakan kerbau. Betul lele, tapi hanya satu bukan satus (seratus).
- Kalau yang ini cangkriman dalam tembang Pucung: “Bapak pucung cangkemu marep mandhuwur; Sabane ing sendhang; Pencokane lambung kering; Prapteng wisma si pucung mutah kuwaya” (terjemahannya: Bapak pucung mulutmu menghadap ke atas; Perginya ke mata air; Hinggapnya di pinggang kiri; Sampai rumah si pucung memuntahkan air). Jawabannya adalah “Klenthing” tempat air yang umumnya terbuat dari gerabah , bentuknya agak bulat, ada lehernya. Biasanya dibawa wanita, diletakkan di pinggang kiri. Sampai rumah air dari “klenthing” ditumpahkan ke tempat air yang lebih besar. Apa masih banyak wanita membawa “klenthing?” Saat ini posisi “klenthing” sudah digeser “jirigen” dan tidak ada orang membawa “jirigen” dengan posisi “pencokanmu lambung kering”
Ada saat datang, ada pula saat
pergi. Cangkriman di atas mungkin datang 100 tahun lalu, bisa saja lebih
lama lagi. Barangkali sudah saatnya pergi. Materi “cangkriman” boleh
pergi tetapi pasti muncul “cangkriman-cangkriman” baru yang sesuai
dengan jamannya. “Cangkriman” sebagai bagian dari budaya yang menghibur
sekaligus mendidik, harusnya tetap “di-uri-uri”
sumber : http://iwanmuljono.blogspot.com