Saya
ingat waktu Sekolah Dasar dulu. Saya sekolah di SD Negeri Jetisharjo I
Yogyakarta. Pak Guru menggambar arah mata angin kemudian peta jalan di
sekitar sekolah. Lalu kita dibawa keluar gedung, berjalan mengikuti
petunjuk dalam peta. Atau dibalik: Kita keluar sekolah, jalan mengikuti
pak guru kemudian sekembali ke sekolah, kita membaca peta yang telah
digambar pak guru. Kita cari lagi jalan atau gang mana yang tadi kita
lalui. Terus terang itulah kali pertama saya kenal “Ilmu Bumi” sebelum
mulai menjelajah peta Indonesia dan Dunia dalam atlas maupun dalam
perjalanan sesungguhnya.
Saya bersyukur bahwa negara
tercinta kita ini adalah negara merdeka. Bila tidak, dunia kita ini
mungkin amat sepi. Dunia kita yang anak Yogya mungkin hanya sebatas
Yogya – Solo saja, seperti diungkapkan dalam tembang “Wilting Klapa”
sebagai berikut:
Witing klapa, jawata ing ngarcapada, salugune wong wanita, kula sampun jajah praja ing Ngayogya Surakarta”
Ya, hanya sebatas Yogyakarta sampai Surakarta padahal kita punya Sabang sampai Merauke.
Intro saya sudah terlalu
panjang. Saya hanya ingin menunjukkan satu tembang Pucung. Sepertinya
bukan cangkriman, tapi sebenarnya adalah cangkriman tembang yang
bersendikan pengenalan aran mata angin. Sayangnya tembang ini amat
bersifat lokal sehingga hanya dapat dipahami anak Yogya atau orang yang
mengenal kota Yogya dan tahu bahasa Jawa.
Bapak pucung Pasar Mlathi kidul Dhenggung; Kricak lor negara; Pasar Gedhe loring Loji; Menggok ngetan kesasar ning Gondomanan.
Terjemahannya:
Bapak pucung Pasar Mlati di
selatan Denggung; Kricak di utara kotaraja; Pasar Gedhe (Beringharjo) di
utara loji; Belok ke timur tersesat di Gondomanan
Berarti kita harus tahu
Denggung, Pasar Mlati lalu Kampung Kricak. Yang dimaksud “loji” mungkin
Gedung Negara yang sekarang ini. Loji adalah gedung-gedung Belanda.
Kalau belok ke timur kemudian kita tersesat di Gondomanan pertanyaannya
adalah: Dimanakah posisi kita saat melantunkan tembang Pucung ini?
Silakan dijawab.
Tembang ini mungkin sudah
jarang di dengar lagi. Wawasannya memang terlalu sempit untuk ukuran
sekarang. Tetapi nilai pendidikan untuk mengenal wilayah pada masa itu
perlu diapresiasi. Sekarang memang bukan sekedar “ing Ngayogya
Surakarta” tetapi “Dari Sabang sampai Merauke ................... itulah
Indonesia”
sumber : http://iwanmuljono.blogspot.com