Tuesday, 28 May 2013

Cangkriman : Ilmu Bumi

Saya ingat waktu Sekolah Dasar dulu. Saya sekolah di SD Negeri Jetisharjo I Yogyakarta. Pak Guru menggambar arah mata angin kemudian peta jalan di sekitar sekolah. Lalu kita dibawa keluar gedung, berjalan mengikuti petunjuk dalam peta. Atau dibalik: Kita keluar sekolah, jalan mengikuti pak guru kemudian sekembali ke sekolah, kita membaca peta yang telah digambar pak guru. Kita cari lagi jalan atau gang mana yang tadi kita lalui. Terus terang itulah kali pertama saya kenal “Ilmu Bumi” sebelum mulai menjelajah peta Indonesia dan Dunia dalam atlas maupun dalam perjalanan sesungguhnya.
 
Saya bersyukur bahwa negara tercinta kita ini adalah negara merdeka. Bila tidak, dunia kita ini mungkin amat sepi. Dunia kita yang anak Yogya mungkin hanya sebatas Yogya – Solo saja, seperti diungkapkan dalam tembang “Wilting Klapa” sebagai berikut:
Witing klapa, jawata ing ngarcapada, salugune wong wanita, kula sampun jajah praja ing Ngayogya Surakarta”
Ya, hanya sebatas Yogyakarta sampai Surakarta padahal kita punya Sabang sampai Merauke. 
Intro saya sudah terlalu panjang. Saya hanya ingin menunjukkan satu tembang Pucung. Sepertinya bukan cangkriman, tapi sebenarnya adalah cangkriman tembang yang bersendikan pengenalan aran mata angin. Sayangnya tembang ini amat bersifat lokal sehingga hanya dapat dipahami anak Yogya atau orang yang mengenal kota Yogya dan tahu bahasa Jawa.
Bapak pucung Pasar Mlathi kidul Dhenggung; Kricak lor negara; Pasar Gedhe loring Loji; Menggok ngetan kesasar ning Gondomanan.
Terjemahannya:
Bapak pucung Pasar Mlati di selatan Denggung; Kricak di utara kotaraja; Pasar Gedhe (Beringharjo) di utara loji; Belok ke timur tersesat di Gondomanan
Berarti kita harus tahu Denggung, Pasar Mlati lalu Kampung Kricak. Yang dimaksud “loji” mungkin Gedung Negara yang sekarang ini. Loji adalah gedung-gedung Belanda. Kalau belok ke timur kemudian kita tersesat di Gondomanan pertanyaannya adalah: Dimanakah posisi kita saat melantunkan tembang Pucung ini? Silakan dijawab. 
Tembang ini mungkin sudah jarang di dengar lagi. Wawasannya memang terlalu sempit untuk ukuran sekarang. Tetapi nilai pendidikan untuk mengenal wilayah pada masa itu perlu diapresiasi. Sekarang memang bukan sekedar “ing Ngayogya Surakarta” tetapi “Dari Sabang sampai Merauke ................... itulah Indonesia”
sumber : http://iwanmuljono.blogspot.com

Related Posts:

  • Kumpulan Suluk Sunan Bonang #2 Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalu… Read More
  • Serat Sabdo Jati dan maknanya Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito. Demikian nama salah seorang pujangga terkenal yang pernah menorehkan jejak gemilang dalam kesusastraan Jawa di abad 19. Namanya senantiasa dikenang sebagai pujangga besar yang karya-karyan… Read More
  • Serat Centhini atau Suluk Tambanglaras Serat Centhini (dalam aksara Jawa: ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala maca… Read More
  • Asal Usul Nama Indonesia PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan).Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini… Read More
  • Makna Serat Kalatidha Salah satu karya besar dari Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito, Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut "zaman edan".Lahir pada 15 Maret 1802 dengan nama asli Bagus Burham. Ayahnya seorang carik K… Read More