Seruan di judul tulisan ini kedengarannya
sangat berlebihan, padahal tidak demikian adanya. Pasalnya, dalam kehidupan
manusia di dunia ini tidak ada yang kekal. Suatu saat nanti, kita pasti
ditinggalkan orang yang paling kita cintai. Kenangan indah bersama orang yang
kita cintai itu pastilah membekas. Apalagi jika kita masih menyimpan foto
dirinya semasa hidup. Di sinilah terasa betapa foto itu amat berarti serta
berharga. Foto seolah sebagai media untuk "bertemu" dengan yang telah
tiada itu. Karenanya, pastikanlah setiap kali menekan tombol rana, Anda telah
menciptakan suatu karya tentang sesuatu yang pernah ada di dunia ini.
Sebegitu pentingnya fotografi dalam
kehidupan kita sehingga pantaslah kalau kita perlu tahu, minimal faktor-faktor
apa saja yang ikut mempengaruhi hasil karya foto itu. Menurut B Darmawan,
fotografer profesional, kamera sebagai produk dari teknologi modern merupakan
alat komunikasi untuk menyatakan perasaan pribadi. Hebat benar kedengarannya,
namun hendaknya disadari bahwa setiap kali menekan tombol rana, kemungkinan
besar Anda akan menghasilkan karya besar dalam fotografi. Karya-karya Anda itu
mungkin menghasilkan suatu karya besar yang sangat berharga!
Foto-foto dokumen yang diambil beberapa
waktu yang lalu akan memiliki nilai tambah tersendiri tatkala foto-foto semacam
itu semakin langka. Sebuah bangunan lama, misalnya foto Hotel In-Des di Jalan
Gajah Mada Jakarta,
akan terasa betapa tinggi nilainya sekarang, mengingat kawasan itu sudah berubah.
Contoh-contoh semacam ini masih banyak kita jumpai.
Secara fotografis, tentunya salah satu
modal utama sebuah kamera adalah lensanya. Lensalah, kata orang, yang
menentukan hasil akhir sesuatu karya. Pada jenis kamera yang lensanya dapat
dilepas-tukarkan, maka kualitas hasil pemotretan itu juga ditentukan dengan
panjang pendeknya jarak-fokus lensa yang kita gunakan.
Pasanglah lensa sudut lebar, maka hasilnya
akan berupa panorama yang luas atau lebar, garis-garis lurus dapat menjadi
lengkung, dan bila menggunakan lensa-lensa sudut ultra-lebar, maka hasilnya
tangkapan kamera ini seolah-olah dari dunia mimpi atau dunia fantasi.
Sebaliknya bila kita menggunakan lensa-lensa tele atau ultra tele, maka
objek-objek yang jauh letaknya dapat didekatkan, bahkan detail-detailnya dapat
terlihat jelas, yang takkan terlihat dengan baik bila kita melihatnya dengan
mata telanjang.
Cara kita melihat sesuatu objek inilah yang
menimbulkan "seni" dalam fotografi. Cara melihat atau sering pula
disebut sebagai "visi pemotret" (kadang-kadang juga sebagai
"mata pemotret") inilah yang membedakan para seniman foto dari
seniman-seniman lainnya. Visi pemotret ini berbeda dengan visi pelukis, visi
pemahat, visi pe-visualisasi lainnya. Visi pemotret harus dapat "menerjemahkan"
objek serta keadaan sekeliling yang akan dipotretnya, dalam batas-batas warna
atau nada-warna media yang digunakannya.
Pemotret akan memilih-milih objek
pemotretannya. Hal-hal apa sajakah yang akan dimasukkan ke fotonya. Sejak si
pemotret menempatkan objek pemotretannya itu di dalam jendela pengamat
kameranya, maka saat itu ia sudah memilih-milih dan mengatur peletakan objek
pemotretannya, yang dikenal dalam dunia fotografi sebagai komposisi.
Komposisi inilah yang mengatur garis-garis
vertikal maupun horizontal, bentuk-bentuk segi tiga, kerucut serta
bulat-bulatan. Sehingga secara keseluruhan menghasilkan suatu penempatan yang
serasi, yang enak dipandang. Sudah barang tentu, seorang pemotret yang sudah
terbiasa dengan kameranya dapat memvisualisasikan objek pemotretannya, sebelum
dia benar-benar mengabadikan objek pemotretannya itu.
Garis-garis dan bentuk-bentuk dipilihnya
dengan cermat, demikian pula nuansa warna, pencahayaan dan sebagainya. Maka
semakin cermat seorang pemotret memvisualisasikan objek pemotretannya, semakin
baiklah hasil pemotretannya itu nanti.
Visi pemotret jadinya pada tahap ini berupa
kepandaian atau keahliannya memandang sesuatu objek yang akan dipotretnya yang
disesuaikannya pula dengan lensa yang akan digunakannya. Visi pemotret juga
menyangkut kepekaannya untuk memilih-milih keadaan sekelilingnya yang ada
sangkut pautnya dengan objek utama yang dijadikan modelnya. Hubungan keadaan
sekelilingnya, keadaan pencahayaan dan sudut pandang pemotretannya, ini semua
menyangkut visi pemotret itu.
Dalam memacu visi pemotret ini, maka
seluruh naluri manusia dikerahkan. Meski tugas utama seorang pemotret adalah
memotret objeknya, ada kalanya sangat sulit diperoleh jawaban dari si pemotret
mengenai bagaimana, mengapa dan dari segi mana dia memotret objeknya itu.
Baginya kalau objek-objek itu secara visual memang menari, mengapa tidak dibuat
fotonya? Jadi memiliki intuisi tentang makna atau betapa pentingnya sesuatu
objek bagi seorang fotografer, merupakan salah satu hal yang penting untuk
menggerakkannya membuat foto itu.
Sebenarnya pemilihan penggunaan film warna
ataupun hitam putih, sangat bergantung kepada keadaan objek itu sendiri.
Sebaliknya keadaan objek itu sendiri ditentukan pula oleh keadaan cahaya dan
letaknya dalam menentukan komposisi. Situasi-situasi semacam inilah, bila si
pemotret dapat menghimpunnya, akan menghasilkan foto-foto yang bagus, indah dan
berarti. Foto-foto semacam ini, pada situasi-situasi tertentu akan
membangkitkan kenangan bagi para pengamat atau penontonnya.
Kalau hal terakhir ini, yaitu membangkitkan
kenangan bagi para penontonnya, maka dapatlah dikatakan bahwa si pemotret telah
berhasil mencapai sasarannya, yaitu mengalihkan segi visualisasinya itu kepada
orang lain.
Bersifat Universal
Kita ketahui bahwa orang-orang suka
mengidentifikasikan dirinya dengan hal-hal yang berhubungan dengan kebangsaan,
ras, seks, pekerjaan, atau apa yang dimiliki orang lain. Namun satu hal yang
sifatnya universal adalah mengenai tanggapannya terhadap kebahagiaan, kepedihan
serta gejolak-gejolak hati umat manusia. Artinya suatu foto akan lebih banyak
bercerita mengenai orang itu ketimbang asal keturunan, warna kulit, usia
ataupun bidang usahanya.
Kebahagiaan ataupun kesuksesan, rasa puas
ataupun harta kekayaan misalnya, merupakan "bahasa universal" yang
menerobos jalur-jalur rintangan yang disebabkan kebahasaan, kebangsaan ataupun
asal keturunan.
Seseorang di masyarakat yang primitif
maupun yang hidupnya terpencil, memiliki rasa bahagia yang secara kualitatif
tidak kalah mutunya dengan sesamanya yang hidup di kota-kota metropolitan, yang
penuh gemerlapan dengan kejayaan kotanya. Dalam berita di media massa kita
dapat menyaksikan serta merasakan kepedihan orang-orang yang menderita ditimpa
kemalangan musibah seperti gempa, wabah DBD.Tanggapan emosi kita ini terhadap
peristiwa-peristiwa itu semuanya didasarkan pada "bahasa universal"
itu tadi. Sudah barang tentu kita juga menyadari bahwa kebahagiaan, kepuasan
hati, gejolak hati seperti dimaksudkan di atas berbeda dari yang seorang dengan
yang lainnya, namun sebagai seorang fotografer, maka faktor
"keberuntungan" tidak kalah pentingnya dalam suatu penangkapan
"peristiwa" diatas.
Dalam dunai fotogafi, rupa-rupanya faktor
"keberuntungan" merupakan salah satu unsur yang penting. Mengapa ada
foto yang menjadikan orang kagum terhadap si pemotretnya? Apakah karena
fotograger itu menggunakan kamera gelapnya yang begitu canggih? Apakah karena
si fotografer itu memang merupakan orang yang suka uang? Kalau kita berbicara
mengenai fotografi, maka jawabannya sudah tentu adalah hal yang menggerakkan
kita untuk menghasilkan atau membuat foto tersebut!
Banyak pemotret yang menghadapi
situasi-situasi pemotretannya dengan hal yang tiba-tiba, yang tidak diduganya
sama sekali. Misalnya kalau pemotret sedang "berburu foto" ke suatu
desa di pinggiran kotanya, dari rumahnya sudah dibayangkan hal-hal apa yang
akan dipotretnya nanti; kehidupan masyarakat desa, pemandangan indah di desa
tersebut, mungkin beberapa pengrajin di desa itu, dan sebagainya. Namun menjelang
si pemotret mencapai desa tujuannya, di tengah jalan dia berpapasan dengan
iring-iringan orang desa yang sedang mengarak pengantin. Pesta pernikahan yang
ditemuinya di tengah jalan ini, dilakukan secara adat setempat. Tidakkah dia
akan berhenti untuk mengabadikannya?
Setelah perjumpaan yang tiba-tiba itu di
tengah jalan, dalam melanjutkan perjalanannya menuju desa tujuannya,
dijumpainya pula para ibu yang sedang bertugas padi di kali : ada yang mencuci
pakaian, ada yang memandikan anak-anak balitanya, ada pula yang mandi tanpa
mengenakan selembar kain pun.... Bukankah wanita yang dijadikan objek
pemotretan selalu menarik perhatian, menjadi satu interes yang sifatnya
universal? Wah jangan-jangan si pemotret akan menghabiskan seluruh waktunya di
sini mengabadikan adegan-adegan yang diluar rencananya atau yang ditemukannya
secara 'kebetulan" itu. Lain kali, apabila dia datang kembali ke tempat
ini, belum tentu adegan-adegan yang sekarang tergelar di hadapannya akan
ditemuinya lagi.
Yah setiap fotografer akan memiliki
kesempatan semacam itu di mana pun dia berada. Setiap saat dia dihadapkan
kepada situasi atau keadaan semacam itu, maka keputusan untuk merekam saat-saat
yang menentukan, saat-saat yang tak akan berulang dan tergelar di hadapannya
itu, seluruhnya bergantung kepada dirinya.
Pada saat dia mengambil keputusan untuk
merekamnya, saat dia menjepretkan kameranya, maka rekaman suatu segi dari
kehidupan umat manusia itu menjadi "miliknya", menjadi
"produknya", yang kadangkala objek tersebut, mengapa dia membidik
dari sudut pemotretan tersebut - mengapa tidak dari tempat lain?
Sudah barang tentu tidak setiap
pengambilannya itu merupakan karya yang besar-besar atau cemerlang. Setelah
fotografer kembali ke rumahnya, memproses hasil bidikannya, memilih-milih dari
sejejeran negatif yang terpapar di hadapannya, barang kali dia akan
"menemukan" beberapa bidikan yang bagus-bagus bahkan spektakuler.
Namun tidak jarang dari hasil perburuannya itu jadi dia memperoleh hasil nihil,
atau foto-foto hasil jepretannya tidak bagus. Sebagai seorang fotografer yang
ulet, tentunya dia tidak akan menyerah begitu saja. Baginya berlaku prinsip:
"Kali ini gagal, lain kali, suatu saat pada masa kemudian akan berhasil!
Hal seperti itu dapat pula dialami oleh
para wartawan foto. Objek pemotretan yang mengandung unsur berita dapat
diperkirakan sebelumnya, dapat diantisipasi sebelumnya. Namun terlalu sering
hal-hal yang tiba-tiba dapat terjadi di hadapannya tanpa memberinya kesempatan
untuk mengabdikan peristiwa tersebut. Mungkin dia akan berkata: "Ah
sayang. Sewaktu wanita itu menikam calon kuat kanselir dari Jerbar dari SPD
(Partai Sosialis Demokrat) Oskar Lafontaine, saya teraling oleh sosok badan
seseorang di depanku. "atau" Lampu kilatkau belum siap!" atau
"Kebetulan filmku habis" dan sebagainya. Jadi kembali di sini
faktor-faktor kebetulan dan keberuntungan memegang peranan yang menentukan
dalam menghasilkan suatu karya foto.
Foto-foto hasil suatu liputan yang sering
dikenal sebagai photo essay, juga mengandung unsur-unsur tersebut bagi si
pembuatnya. Sudah tentu faktor-faktor ditambah lagi dengan segudang
pengalamannya menghadapi situasi-situasi semacam itu, merupakan bagian
terpenting bagi seseorang fotografer untuk menerjemahkan keadaan lingkungan
yang dihadapinya, yang diamatinya ke dalam bentuk-bentuk visual yang siap
disajikannya ke hadapan masyarakat pengagumnya.
Namun, nama-nama seperti Louis Daguerre,
Joseph Nicephore Niepse, Fox Talbot, Scot Archer, dan George Eastman, tidak
akan begitu saja kita lupakan dalam perkembangan industri fotografi, khususnya
kamera. *