Tuesday 12 March 2013

Hargai Terus Fotografi



Seruan di judul tulisan ini kedengarannya sangat berlebihan, padahal tidak demikian adanya. Pasalnya, dalam kehidupan manusia di dunia ini tidak ada yang kekal. Suatu saat nanti, kita pasti ditinggalkan orang yang paling kita cintai. Kenangan indah bersama orang yang kita cintai itu pastilah membekas. Apalagi jika kita masih menyimpan foto dirinya semasa hidup. Di sinilah terasa betapa foto itu amat berarti serta berharga. Foto seolah sebagai media untuk "bertemu" dengan yang telah tiada itu. Karenanya, pastikanlah setiap kali menekan tombol rana, Anda telah menciptakan suatu karya tentang sesuatu yang pernah ada di dunia ini.

Sebegitu pentingnya fotografi dalam kehidupan kita sehingga pantaslah kalau kita perlu tahu, minimal faktor-faktor apa saja yang ikut mempengaruhi hasil karya foto itu. Menurut B Darmawan, fotografer profesional, kamera sebagai produk dari teknologi modern merupakan alat komunikasi untuk menyatakan perasaan pribadi. Hebat benar kedengarannya, namun hendaknya disadari bahwa setiap kali menekan tombol rana, kemungkinan besar Anda akan menghasilkan karya besar dalam fotografi. Karya-karya Anda itu mungkin menghasilkan suatu karya besar yang sangat berharga!

Foto-foto dokumen yang diambil beberapa waktu yang lalu akan memiliki nilai tambah tersendiri tatkala foto-foto semacam itu semakin langka. Sebuah bangunan lama, misalnya foto Hotel In-Des di Jalan Gajah Mada Jakarta, akan terasa betapa tinggi nilainya sekarang, mengingat kawasan itu sudah berubah. Contoh-contoh semacam ini masih banyak kita jumpai.

Secara fotografis, tentunya salah satu modal utama sebuah kamera adalah lensanya. Lensalah, kata orang, yang menentukan hasil akhir sesuatu karya. Pada jenis kamera yang lensanya dapat dilepas-tukarkan, maka kualitas hasil pemotretan itu juga ditentukan dengan panjang pendeknya jarak-fokus lensa yang kita gunakan.

Pasanglah lensa sudut lebar, maka hasilnya akan berupa panorama yang luas atau lebar, garis-garis lurus dapat menjadi lengkung, dan bila menggunakan lensa-lensa sudut ultra-lebar, maka hasilnya tangkapan kamera ini seolah-olah dari dunia mimpi atau dunia fantasi. Sebaliknya bila kita menggunakan lensa-lensa tele atau ultra tele, maka objek-objek yang jauh letaknya dapat didekatkan, bahkan detail-detailnya dapat terlihat jelas, yang takkan terlihat dengan baik bila kita melihatnya dengan mata telanjang.

Cara kita melihat sesuatu objek inilah yang menimbulkan "seni" dalam fotografi. Cara melihat atau sering pula disebut sebagai "visi pemotret" (kadang-kadang juga sebagai "mata pemotret") inilah yang membedakan para seniman foto dari seniman-seniman lainnya. Visi pemotret ini berbeda dengan visi pelukis, visi pemahat, visi pe-visualisasi lainnya. Visi pemotret harus dapat "menerjemahkan" objek serta keadaan sekeliling yang akan dipotretnya, dalam batas-batas warna atau nada-warna media yang digunakannya.

Pemotret akan memilih-milih objek pemotretannya. Hal-hal apa sajakah yang akan dimasukkan ke fotonya. Sejak si pemotret menempatkan objek pemotretannya itu di dalam jendela pengamat kameranya, maka saat itu ia sudah memilih-milih dan mengatur peletakan objek pemotretannya, yang dikenal dalam dunia fotografi sebagai komposisi.

Komposisi inilah yang mengatur garis-garis vertikal maupun horizontal, bentuk-bentuk segi tiga, kerucut serta bulat-bulatan. Sehingga secara keseluruhan menghasilkan suatu penempatan yang serasi, yang enak dipandang. Sudah barang tentu, seorang pemotret yang sudah terbiasa dengan kameranya dapat memvisualisasikan objek pemotretannya, sebelum dia benar-benar mengabadikan objek pemotretannya itu.

Garis-garis dan bentuk-bentuk dipilihnya dengan cermat, demikian pula nuansa warna, pencahayaan dan sebagainya. Maka semakin cermat seorang pemotret memvisualisasikan objek pemotretannya, semakin baiklah hasil pemotretannya itu nanti.

Visi pemotret jadinya pada tahap ini berupa kepandaian atau keahliannya memandang sesuatu objek yang akan dipotretnya yang disesuaikannya pula dengan lensa yang akan digunakannya. Visi pemotret juga menyangkut kepekaannya untuk memilih-milih keadaan sekelilingnya yang ada sangkut pautnya dengan objek utama yang dijadikan modelnya. Hubungan keadaan sekelilingnya, keadaan pencahayaan dan sudut pandang pemotretannya, ini semua menyangkut visi pemotret itu.

Dalam memacu visi pemotret ini, maka seluruh naluri manusia dikerahkan. Meski tugas utama seorang pemotret adalah memotret objeknya, ada kalanya sangat sulit diperoleh jawaban dari si pemotret mengenai bagaimana, mengapa dan dari segi mana dia memotret objeknya itu. Baginya kalau objek-objek itu secara visual memang menari, mengapa tidak dibuat fotonya? Jadi memiliki intuisi tentang makna atau betapa pentingnya sesuatu objek bagi seorang fotografer, merupakan salah satu hal yang penting untuk menggerakkannya membuat foto itu.

Sebenarnya pemilihan penggunaan film warna ataupun hitam putih, sangat bergantung kepada keadaan objek itu sendiri. Sebaliknya keadaan objek itu sendiri ditentukan pula oleh keadaan cahaya dan letaknya dalam menentukan komposisi. Situasi-situasi semacam inilah, bila si pemotret dapat menghimpunnya, akan menghasilkan foto-foto yang bagus, indah dan berarti. Foto-foto semacam ini, pada situasi-situasi tertentu akan membangkitkan kenangan bagi para pengamat atau penontonnya.

Kalau hal terakhir ini, yaitu membangkitkan kenangan bagi para penontonnya, maka dapatlah dikatakan bahwa si pemotret telah berhasil mencapai sasarannya, yaitu mengalihkan segi visualisasinya itu kepada orang lain.

Bersifat Universal
Kita ketahui bahwa orang-orang suka mengidentifikasikan dirinya dengan hal-hal yang berhubungan dengan kebangsaan, ras, seks, pekerjaan, atau apa yang dimiliki orang lain. Namun satu hal yang sifatnya universal adalah mengenai tanggapannya terhadap kebahagiaan, kepedihan serta gejolak-gejolak hati umat manusia. Artinya suatu foto akan lebih banyak bercerita mengenai orang itu ketimbang asal keturunan, warna kulit, usia ataupun bidang usahanya.

Kebahagiaan ataupun kesuksesan, rasa puas ataupun harta kekayaan misalnya, merupakan "bahasa universal" yang menerobos jalur-jalur rintangan yang disebabkan kebahasaan, kebangsaan ataupun asal keturunan.

Seseorang di masyarakat yang primitif maupun yang hidupnya terpencil, memiliki rasa bahagia yang secara kualitatif tidak kalah mutunya dengan sesamanya yang hidup di kota-kota metropolitan, yang penuh gemerlapan dengan kejayaan kotanya. Dalam berita di media massa kita dapat menyaksikan serta merasakan kepedihan orang-orang yang menderita ditimpa kemalangan musibah seperti gempa, wabah DBD.Tanggapan emosi kita ini terhadap peristiwa-peristiwa itu semuanya didasarkan pada "bahasa universal" itu tadi. Sudah barang tentu kita juga menyadari bahwa kebahagiaan, kepuasan hati, gejolak hati seperti dimaksudkan di atas berbeda dari yang seorang dengan yang lainnya, namun sebagai seorang fotografer, maka faktor "keberuntungan" tidak kalah pentingnya dalam suatu penangkapan "peristiwa" diatas.

Dalam dunai fotogafi, rupa-rupanya faktor "keberuntungan" merupakan salah satu unsur yang penting. Mengapa ada foto yang menjadikan orang kagum terhadap si pemotretnya? Apakah karena fotograger itu menggunakan kamera gelapnya yang begitu canggih? Apakah karena si fotografer itu memang merupakan orang yang suka uang? Kalau kita berbicara mengenai fotografi, maka jawabannya sudah tentu adalah hal yang menggerakkan kita untuk menghasilkan atau membuat foto tersebut!

Banyak pemotret yang menghadapi situasi-situasi pemotretannya dengan hal yang tiba-tiba, yang tidak diduganya sama sekali. Misalnya kalau pemotret sedang "berburu foto" ke suatu desa di pinggiran kotanya, dari rumahnya sudah dibayangkan hal-hal apa yang akan dipotretnya nanti; kehidupan masyarakat desa, pemandangan indah di desa tersebut, mungkin beberapa pengrajin di desa itu, dan sebagainya. Namun menjelang si pemotret mencapai desa tujuannya, di tengah jalan dia berpapasan dengan iring-iringan orang desa yang sedang mengarak pengantin. Pesta pernikahan yang ditemuinya di tengah jalan ini, dilakukan secara adat setempat. Tidakkah dia akan berhenti untuk mengabadikannya?

Setelah perjumpaan yang tiba-tiba itu di tengah jalan, dalam melanjutkan perjalanannya menuju desa tujuannya, dijumpainya pula para ibu yang sedang bertugas padi di kali : ada yang mencuci pakaian, ada yang memandikan anak-anak balitanya, ada pula yang mandi tanpa mengenakan selembar kain pun.... Bukankah wanita yang dijadikan objek pemotretan selalu menarik perhatian, menjadi satu interes yang sifatnya universal? Wah jangan-jangan si pemotret akan menghabiskan seluruh waktunya di sini mengabadikan adegan-adegan yang diluar rencananya atau yang ditemukannya secara 'kebetulan" itu. Lain kali, apabila dia datang kembali ke tempat ini, belum tentu adegan-adegan yang sekarang tergelar di hadapannya akan ditemuinya lagi.

Yah setiap fotografer akan memiliki kesempatan semacam itu di mana pun dia berada. Setiap saat dia dihadapkan kepada situasi atau keadaan semacam itu, maka keputusan untuk merekam saat-saat yang menentukan, saat-saat yang tak akan berulang dan tergelar di hadapannya itu, seluruhnya bergantung kepada dirinya.

Pada saat dia mengambil keputusan untuk merekamnya, saat dia menjepretkan kameranya, maka rekaman suatu segi dari kehidupan umat manusia itu menjadi "miliknya", menjadi "produknya", yang kadangkala objek tersebut, mengapa dia membidik dari sudut pemotretan tersebut - mengapa tidak dari tempat lain?

Sudah barang tentu tidak setiap pengambilannya itu merupakan karya yang besar-besar atau cemerlang. Setelah fotografer kembali ke rumahnya, memproses hasil bidikannya, memilih-milih dari sejejeran negatif yang terpapar di hadapannya, barang kali dia akan "menemukan" beberapa bidikan yang bagus-bagus bahkan spektakuler. Namun tidak jarang dari hasil perburuannya itu jadi dia memperoleh hasil nihil, atau foto-foto hasil jepretannya tidak bagus. Sebagai seorang fotografer yang ulet, tentunya dia tidak akan menyerah begitu saja. Baginya berlaku prinsip: "Kali ini gagal, lain kali, suatu saat pada masa kemudian akan berhasil!

Hal seperti itu dapat pula dialami oleh para wartawan foto. Objek pemotretan yang mengandung unsur berita dapat diperkirakan sebelumnya, dapat diantisipasi sebelumnya. Namun terlalu sering hal-hal yang tiba-tiba dapat terjadi di hadapannya tanpa memberinya kesempatan untuk mengabdikan peristiwa tersebut. Mungkin dia akan berkata: "Ah sayang. Sewaktu wanita itu menikam calon kuat kanselir dari Jerbar dari SPD (Partai Sosialis Demokrat) Oskar Lafontaine, saya teraling oleh sosok badan seseorang di depanku. "atau" Lampu kilatkau belum siap!" atau "Kebetulan filmku habis" dan sebagainya. Jadi kembali di sini faktor-faktor kebetulan dan keberuntungan memegang peranan yang menentukan dalam menghasilkan suatu karya foto.

Foto-foto hasil suatu liputan yang sering dikenal sebagai photo essay, juga mengandung unsur-unsur tersebut bagi si pembuatnya. Sudah tentu faktor-faktor ditambah lagi dengan segudang pengalamannya menghadapi situasi-situasi semacam itu, merupakan bagian terpenting bagi seseorang fotografer untuk menerjemahkan keadaan lingkungan yang dihadapinya, yang diamatinya ke dalam bentuk-bentuk visual yang siap disajikannya ke hadapan masyarakat pengagumnya.

Namun, nama-nama seperti Louis Daguerre, Joseph Nicephore Niepse, Fox Talbot, Scot Archer, dan George Eastman, tidak akan begitu saja kita lupakan dalam perkembangan industri fotografi, khususnya kamera. *