Pernahkah engkau mendengar
cerita tentang kota-kota? Ketika ia menumpahkan dahaganya dan memburu
fatamorgana, lalu bertarung dalam kebisingan dan kendati dengan kesombongannya
ia hanya mampu menggigit jari?
Pernahkah engkau mendengar
cerita tentang nenek moyang kita yang pelaut, menantang ganasnya ombak agar
dapat memberikan kepada cakrawala sebuah garis baru. Dan ketika kegelapan mulai
sirna di ujung fajar, sesungguhnya cakrawala terlalu luas untuk dihela oleh
sepotong garis?
Pernahkah engkau mendengar
cerita tentang bumi yang diguncangkan dengan guncangannya yang dahsyat,
mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya, hingga manusia
bertanya-tanya, "Mengapa bumi jadi begini?"
Di sini. Dalam perenungan, kamu
dapat menjawabnya selama kamu jauh dari panca indramu. Dalam perenungan,
nilai-nilai kehidupan terekam baik-baik, dan kamu niscaya akan menemukan dirimu
menjadi makhluk lain, yang tidak menyerupaimu. Aku berkata-kata pada diriku
sendiri sambil mengedarkan pandanganku ke sekeliling, tercekat duduk di sebuah
kursi kecil di sebuah kantin, suara televisi menjeratku ke sana. Memaksa kedua belah mataku terpaku ke
arah deretan bocah-bocah kecil yang berbaris tertidur dengan tenang. Beralaskan
dan berselimutkan kain seadanya, memanjang menutupi tubuh-tubuh letih mereka
dari kaki hingga leher. Sebuah realitas digelar, sebagain besar korban adalah
anak-anak. Padahal di mataku bocah-bocah kecil itu tampak begitu suci. Bahkan
lebih suci dari cahaya fajar yang tiap hari menyinari negeri ini.
Cahaya Fajar? Mungkin mereka
tidak lagi mengenalnya ketika ratap tangis yang ada akan menggelayuti mata-mata
ibu, ayah dan saudara-saudara yang ditinggalkan. sementara mata mereka terkatup
untuk selamanya.
Ada juga bocah lain.
Dia hanyalah seorang bocah kerempeng, kurus kering. Usianya belum sepuluh
tahun. Di wajahnya yang kurus tampak sepasang mata yang cekung oleh kelelahan.
Tangannya memerah karena dingin, namun lembut kendali luka-luka memenuhi
telapaknya. Tubuhnya mengigil, tapi sulit membedakan apakah ia kedinginan atau
sedang ketakutan Dengan pakaian yang basah kuyup ia menatap wajah-wajah asing
di sekelilingnya. Lama dalam diam, saat matanya terus memelototi kekosongan
dalam kebisuan. Saat yang keras dalam keheningan berlalu, ketika ia mencoba
mengingat-ingat nama itu. Akan tetapi secepat kilat kenangannya membawanya
menerawang jauh ke belakang. Dia tidak bicara. Siapakah keluarganya? Bahkan
ketika ditanya dalam bahasa Aceh sekalipun. Kebisuannya cukup mewakili seluruh
perasaannya yang memang sudah tanpa rasa lagi. 'Mute' total. Ini sudah lebih
dari sekedar jawaban.
Pemandangan itu pantaskah
membuat air mata menetes? Hampir seratus ribu lebih tubuh terbujur kaku,
sementara yang lain mengungsi tanpa persediaan makan dan air bersih.
Membangkitkan emosi kesedihan, tanpa kata-kata, lebih dari sekedar menangis.
Awan gelap kelabu menyelimuti negri ini, saat ia mencuri celak hitam dari mata
langit. Ada
peristiwa yang tidak pernah terbayangkan di pagi itu, bahkan dalam kekayaan
imaji kanak-kanak ribuan bocah kecil yang pulas itu. Sebuah gempuran membahana
di gerbang negeri yang bisu, saat yang keras dalam keheningan pagi berlalu.
Ketika tangis mereka bersimfoni dengan derasnya air, ratap mereka dengan syahdu
disenandungkan lewat acara berkabung nasional, digubah dari relung kegelapan
ombak laut yang mengalir dengan cepatnya. Deras. Teriakan menyayat hati yang
mampu mengimbangi.
"Kenapa harus Aceh?" Pertanyaan ini
mewakili sanubarinya. Aku menoleh sekilas. Seorang lelaki dengan kepala bulat -
seperti telur yang sedang dinikmatinya bergumam dalam geram. Di kantin ini, ia
masih bisa makan, dan aku juga masih bisa makan. Ada air bersih di sini, ada makanan lezat
siap santap.
"Kenapa harus Aceh?" Aku mengulangi
tanyanya, entah dengan maksud apa.
"Ya, kenapa harus Aceh?
Kenapa tidak Jakarta?" Dia memandangku
tajam. Kau tahu? Masyarakat Aceh sudah kenyang dengan penderitaan, teror karena
konflik GAM, dan kini bencana alam dan entah nanti apalagi. Sementara daerah
lain? kenyang dengan kemaksiatan. Tapi argumen itu tidak cukup, kita tetap
tidak akan pernah bisa menjawab, kenapa harus Aceh? Masyarakat Aceh, Sumut,
mereka bukan sekedar bagian bangsa kita, tapi bagian dari jantung hati kita
yang berdetak di tempat lain.
"Jakarta bukan tsunami, tapi meteor jatuh di laut Jawa," seseorang tidak menjawab, tapi memberikan argumen lain.
Aku menyahut "Tidak
perlu ada bencana. Seharusnya bukan semuanya..." bahwa kemudian
kalimatku berhenti begitu saja, menggantung di langit-langit tenggorokanku,
ketika teringat kisah kaum Nabi Nuh. Seharusnya tidak perlu ada kata
'Seharusnya' jika segala sesuatu telah digariskan oleh Nya. Sambil
bertanya-tanya, mungkinkah hidup mundur sejauh ini?
Di zaman yang berwarna-warni
ini, potret bangsa kita terluka dalam cermin sebagai gambaran yang hitam pekat.
Ada mereka yang
setiap hari sibuk berpikir apa yang tersisa untuk dimakan. Menyeret langkahnya
satu persatu di tengah teriknya panas atau sembilunya dingin malam. Tak tersisa
kesempatan untuk berfikir istirahat dengan tenang. Bagi mereka hidup adalah
usaha keras memeras keringat hingga bencana alam menutup akhir kisah perjalanan
hidup mereka. Di luar itu semua, dalam realitas sosial di waktu yang sama,
maksiat tetap ditawarkan dengan megah dan gempita. Bahkan terkadang harus bayar
mahal untuk itu. Kasus rusaknya generasi dengan data-data yang mencengangkan
begitu akrab di telinga dan mata lewat layar televisi, surat kabar dan selebaran-selebaran yang
bertebaran di pinggir jalan. Mungkinkah?
Inikah jawaban mengapa Allah mengambil
anak-anak agar mereka tidak perlu tumbuh menjadi remaja yang disuguhi tayangan
'BCG', 'Virgin', dan semacamnya. Bukankah Allah menjamin anak-anak yang
meninggal sebelum baligh akan masuk surga tanpa dihisab? Sementara kelebihan
lain diungkapkan Rasulullah SAW dalam sabdanya , dari Abdurrahman bin Samurah
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "...Aku melihat seorang dari
ummatku (pada hari akhir) ringan timbangannya. Namun afrathnya (anak-anaknya
yang meninggal masih kecil) mendatanginya dan memberatkan timbangan
itu..."
Lewat catatan negeri ini yang
digelar layar televisi, beberapa berita ditampilkan. Pemerintah mengumumkan
dana 50 miliar rupiah untuk ratusan ribu korban bencana Tsunami yang dijanjikan
dijaga dengan ketat agar tidak dikorupsi, sementara dalam waktu yang bersamaan
seorang bupati di Jawa timur dituduh mengkorupsi dana 63 miliar selama
jabatannya. Di Aceh, setelah kejadian bencana ada yang meneriakkan air agar
masyarakat lari ketakutan dan mereka dengan bebas menjarah barang-barang berharga
yang tersisa. Sementara di ujung daerah lainnya, ada pula pihak-pihak yang
memanfaatkan nama lembaga penyalur bantuan dana dengan tujuan untuk memasukkan
uang ke nomor rekening pribadi mereka. Lucu. Siapa bilang bangsaku ini tidak
punya selera humor, bahkan dalam keadaan genting sekalipun?
Sedih rasanya ketika aku
meninggalkan kantin dan keluar dengan disambut hujan deras. Sudah beberapa hari
ini hujan turun dengan derasnya, tapi aku tau pasti apa yang dibisikkan hujan
padaku hari ini, lewat tetes-tetes airnya yang tiada berhenti membasahai tanah
pertiwi. Bahkan ketika malam tahun baru menjelang, hujan masih membasahi negeri
ini. Senandung tangis keseharian menggema dan menggema lagi, sementara segala
kenangan terbang jauh. Jauh menembus batas negeri yang terkoyak-koyak, melewati
auman kata dan tatapan yang perkasa oleh pembangkangannya. Lembaran-lembaran
kisah lama, sejumlah panorama kehidupan yang terbentang dalam masa dan kenangan
yang berbeda. Semuanya hidup kembali. Seketika terasa ada sesuatu yang ganjil,
kala bisikan menembus jiwa negriku sendiri, "Menangislah Indonesiaku,
menangislah Negeriku".
Menangislah, karena kita memang
pantas untuk mengakui betapa besar dosa-dosa kita dibandingkan besarnya
gelombang air yang telah diperlihatkanNya. Menangislah untuk mengakui betapa
lemahnya kita di hadapanNya, sementara ampunanNya jauh lebih luas dari lautan
itu. Betapa Maha Besar Allah yang menunjukkan kebesarannya di Aceh lewat
rumah-rumahNya yang masih berdiri kokoh di antara bangunan yang porak-poranda. Mungkin Ia
kembali ingin mendengar keluhan-keluhan kita. Keluhan tulus yang kita sampaikan
dengan penuh pengharapan. Seperti lagu yang disenandungkan Ebiet G Ade yang
samar-samar kudengar saat aku meninggalkan kantin, mengakhiri berita yang
ditayangkan layar televisi itu.
Ini bukan hukuman
Hanya satu isyarat
Bahwa kita mesti banyak berbenah
Hanya satu isyarat
Bahwa kita mesti banyak berbenah
Bila kita kaji lebih jauh
Dalam kekalutan
Masih banyak tangan yang rela berbuat nista
Tuhan pasti telah memperhitungkan
Amal dan dosa yang kita perbuat
Dalam kekalutan
Masih banyak tangan yang rela berbuat nista
Tuhan pasti telah memperhitungkan
Amal dan dosa yang kita perbuat
Kemana lagi kita kan sembunyi?
Hanya kepadaNya kita kembali
Tak ada yang dapat, bisa menolong
Hanya kepadaNya kita tunduk, sujud padaNya
Hanya kepadaNya kita kembali
Tak ada yang dapat, bisa menolong
Hanya kepadaNya kita tunduk, sujud padaNya
<Aathierah at
yahoo dot fr>