Tuesday 12 March 2013

Menangislah

Pernahkah engkau mendengar cerita tentang kota-kota? Ketika ia menumpahkan dahaganya dan memburu fatamorgana, lalu bertarung dalam kebisingan dan kendati dengan kesombongannya ia hanya mampu menggigit jari?

Pernahkah engkau mendengar cerita tentang nenek moyang kita yang pelaut, menantang ganasnya ombak agar dapat memberikan kepada cakrawala sebuah garis baru. Dan ketika kegelapan mulai sirna di ujung fajar, sesungguhnya cakrawala terlalu luas untuk dihela oleh sepotong garis?

Pernahkah engkau mendengar cerita tentang bumi yang diguncangkan dengan guncangannya yang dahsyat, mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya, hingga manusia bertanya-tanya, "Mengapa bumi jadi begini?"

Di sini. Dalam perenungan, kamu dapat menjawabnya selama kamu jauh dari panca indramu. Dalam perenungan, nilai-nilai kehidupan terekam baik-baik, dan kamu niscaya akan menemukan dirimu menjadi makhluk lain, yang tidak menyerupaimu. Aku berkata-kata pada diriku sendiri sambil mengedarkan pandanganku ke sekeliling, tercekat duduk di sebuah kursi kecil di sebuah kantin, suara televisi menjeratku ke sana. Memaksa kedua belah mataku terpaku ke arah deretan bocah-bocah kecil yang berbaris tertidur dengan tenang. Beralaskan dan berselimutkan kain seadanya, memanjang menutupi tubuh-tubuh letih mereka dari kaki hingga leher. Sebuah realitas digelar, sebagain besar korban adalah anak-anak. Padahal di mataku bocah-bocah kecil itu tampak begitu suci. Bahkan lebih suci dari cahaya fajar yang tiap hari menyinari negeri ini.

Cahaya Fajar? Mungkin mereka tidak lagi mengenalnya ketika ratap tangis yang ada akan menggelayuti mata-mata ibu, ayah dan saudara-saudara yang ditinggalkan. sementara mata mereka terkatup untuk selamanya.

Ada juga bocah lain. Dia hanyalah seorang bocah kerempeng, kurus kering. Usianya belum sepuluh tahun. Di wajahnya yang kurus tampak sepasang mata yang cekung oleh kelelahan. Tangannya memerah karena dingin, namun lembut kendali luka-luka memenuhi telapaknya. Tubuhnya mengigil, tapi sulit membedakan apakah ia kedinginan atau sedang ketakutan Dengan pakaian yang basah kuyup ia menatap wajah-wajah asing di sekelilingnya. Lama dalam diam, saat matanya terus memelototi kekosongan dalam kebisuan. Saat yang keras dalam keheningan berlalu, ketika ia mencoba mengingat-ingat nama itu. Akan tetapi secepat kilat kenangannya membawanya menerawang jauh ke belakang. Dia tidak bicara. Siapakah keluarganya? Bahkan ketika ditanya dalam bahasa Aceh sekalipun. Kebisuannya cukup mewakili seluruh perasaannya yang memang sudah tanpa rasa lagi. 'Mute' total. Ini sudah lebih dari sekedar jawaban.

Pemandangan itu pantaskah membuat air mata menetes? Hampir seratus ribu lebih tubuh terbujur kaku, sementara yang lain mengungsi tanpa persediaan makan dan air bersih. Membangkitkan emosi kesedihan, tanpa kata-kata, lebih dari sekedar menangis. Awan gelap kelabu menyelimuti negri ini, saat ia mencuri celak hitam dari mata langit. Ada peristiwa yang tidak pernah terbayangkan di pagi itu, bahkan dalam kekayaan imaji kanak-kanak ribuan bocah kecil yang pulas itu. Sebuah gempuran membahana di gerbang negeri yang bisu, saat yang keras dalam keheningan pagi berlalu. Ketika tangis mereka bersimfoni dengan derasnya air, ratap mereka dengan syahdu disenandungkan lewat acara berkabung nasional, digubah dari relung kegelapan ombak laut yang mengalir dengan cepatnya. Deras. Teriakan menyayat hati yang mampu mengimbangi.

"Kenapa harus Aceh?" Pertanyaan ini mewakili sanubarinya. Aku menoleh sekilas. Seorang lelaki dengan kepala bulat - seperti telur yang sedang dinikmatinya bergumam dalam geram. Di kantin ini, ia masih bisa makan, dan aku juga masih bisa makan. Ada air bersih di sini, ada makanan lezat siap santap.

"Kenapa harus Aceh?" Aku mengulangi tanyanya, entah dengan maksud apa.

"Ya, kenapa harus Aceh? Kenapa tidak Jakarta?" Dia memandangku tajam. Kau tahu? Masyarakat Aceh sudah kenyang dengan penderitaan, teror karena konflik GAM, dan kini bencana alam dan entah nanti apalagi. Sementara daerah lain? kenyang dengan kemaksiatan. Tapi argumen itu tidak cukup, kita tetap tidak akan pernah bisa menjawab, kenapa harus Aceh? Masyarakat Aceh, Sumut, mereka bukan sekedar bagian bangsa kita, tapi bagian dari jantung hati kita yang berdetak di tempat lain.

"Jakarta bukan tsunami, tapi meteor jatuh di laut Jawa," seseorang tidak menjawab, tapi memberikan argumen lain. 

Aku menyahut "Tidak perlu ada bencana. Seharusnya bukan semuanya..." bahwa kemudian kalimatku berhenti begitu saja, menggantung di langit-langit tenggorokanku, ketika teringat kisah kaum Nabi Nuh. Seharusnya tidak perlu ada kata 'Seharusnya' jika segala sesuatu telah digariskan oleh Nya. Sambil bertanya-tanya, mungkinkah hidup mundur sejauh ini? 

Di zaman yang berwarna-warni ini, potret bangsa kita terluka dalam cermin sebagai gambaran yang hitam pekat. Ada mereka yang setiap hari sibuk berpikir apa yang tersisa untuk dimakan. Menyeret langkahnya satu persatu di tengah teriknya panas atau sembilunya dingin malam. Tak tersisa kesempatan untuk berfikir istirahat dengan tenang. Bagi mereka hidup adalah usaha keras memeras keringat hingga bencana alam menutup akhir kisah perjalanan hidup mereka. Di luar itu semua, dalam realitas sosial di waktu yang sama, maksiat tetap ditawarkan dengan megah dan gempita. Bahkan terkadang harus bayar mahal untuk itu. Kasus rusaknya generasi dengan data-data yang mencengangkan begitu akrab di telinga dan mata lewat layar televisi, surat kabar dan selebaran-selebaran yang bertebaran di pinggir jalan. Mungkinkah? 

Inikah jawaban mengapa Allah mengambil anak-anak agar mereka tidak perlu tumbuh menjadi remaja yang disuguhi tayangan 'BCG', 'Virgin', dan semacamnya. Bukankah Allah menjamin anak-anak yang meninggal sebelum baligh akan masuk surga tanpa dihisab? Sementara kelebihan lain diungkapkan Rasulullah SAW dalam sabdanya , dari Abdurrahman bin Samurah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "...Aku melihat seorang dari ummatku (pada hari akhir) ringan timbangannya. Namun afrathnya (anak-anaknya yang meninggal masih kecil) mendatanginya dan memberatkan timbangan itu..."

Lewat catatan negeri ini yang digelar layar televisi, beberapa berita ditampilkan. Pemerintah mengumumkan dana 50 miliar rupiah untuk ratusan ribu korban bencana Tsunami yang dijanjikan dijaga dengan ketat agar tidak dikorupsi, sementara dalam waktu yang bersamaan seorang bupati di Jawa timur dituduh mengkorupsi dana 63 miliar selama jabatannya. Di Aceh, setelah kejadian bencana ada yang meneriakkan air agar masyarakat lari ketakutan dan mereka dengan bebas menjarah barang-barang berharga yang tersisa. Sementara di ujung daerah lainnya, ada pula pihak-pihak yang memanfaatkan nama lembaga penyalur bantuan dana dengan tujuan untuk memasukkan uang ke nomor rekening pribadi mereka. Lucu. Siapa bilang bangsaku ini tidak punya selera humor, bahkan dalam keadaan genting sekalipun?

Sedih rasanya ketika aku meninggalkan kantin dan keluar dengan disambut hujan deras. Sudah beberapa hari ini hujan turun dengan derasnya, tapi aku tau pasti apa yang dibisikkan hujan padaku hari ini, lewat tetes-tetes airnya yang tiada berhenti membasahai tanah pertiwi. Bahkan ketika malam tahun baru menjelang, hujan masih membasahi negeri ini. Senandung tangis keseharian menggema dan menggema lagi, sementara segala kenangan terbang jauh. Jauh menembus batas negeri yang terkoyak-koyak, melewati auman kata dan tatapan yang perkasa oleh pembangkangannya. Lembaran-lembaran kisah lama, sejumlah panorama kehidupan yang terbentang dalam masa dan kenangan yang berbeda. Semuanya hidup kembali. Seketika terasa ada sesuatu yang ganjil, kala bisikan menembus jiwa negriku sendiri, "Menangislah Indonesiaku, menangislah Negeriku".

Menangislah, karena kita memang pantas untuk mengakui betapa besar dosa-dosa kita dibandingkan besarnya gelombang air yang telah diperlihatkanNya. Menangislah untuk mengakui betapa lemahnya kita di hadapanNya, sementara ampunanNya jauh lebih luas dari lautan itu. Betapa Maha Besar Allah yang menunjukkan kebesarannya di Aceh lewat rumah-rumahNya yang masih berdiri kokoh di antara bangunan yang porak-poranda. Mungkin Ia kembali ingin mendengar keluhan-keluhan kita. Keluhan tulus yang kita sampaikan dengan penuh pengharapan. Seperti lagu yang disenandungkan Ebiet G Ade yang samar-samar kudengar saat aku meninggalkan kantin, mengakhiri berita yang ditayangkan layar televisi itu.

Ini bukan hukuman
Hanya satu isyarat
Bahwa kita mesti banyak berbenah
Bila kita kaji lebih jauh
Dalam kekalutan
Masih banyak tangan yang rela berbuat nista
Tuhan pasti telah memperhitungkan
Amal dan dosa yang kita perbuat
Kemana lagi kita kan sembunyi?
Hanya kepadaNya kita kembali
Tak ada yang dapat, bisa menolong
Hanya kepadaNya kita tunduk, sujud padaNya

<Aathierah at yahoo dot fr>