Dalam sejarah perjalanan bangsa setelah meraih
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustu 1945, Dunia pendidikan Indonesia tidak pernah
terlepas dari berbagai permasalahan-permasalahan yang mengikutinya. Salah satu
bidang pendidikan yang sering dirundung permasalahan adalah Proses belajar
mengajar ( PBM ) terutama pendidikan
formal . Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh sekolah ( guru
sebagai pendidik dan pengajar ) dalam proses belajar-mengajar antara lain
adalah:
Pertama,
Terbentuknya opini di masyarakat bahwa nilai ujian nasional seolah-olah menggambarkan
prestasi belajar secara utuh. Demikian pula kemenangan dalam olimpiade, kontes
idol, atau perlombaan olahraga dipandang sebagai cermin prestasi belajar yang
utuh. Apakah ukuran-ukuran ini valid dan dapat memberikan kontribusi
yang berarti bagi karakter, budaya dan kemajuan bangsa serta memberikan bekal
bagi anak-anak kita untuk menghadapi kehidupan di masa depan ? Untuk menjawab
pertanyaan ini , tentu harus dilakukan penelitian lebih mendalam.
Kedua, Belajar
yang terpisah-pisah baik antar mata pelajaran maupun antara satu kompetensi
dengan kompetensi lainnya. Apalagi dengan adanya “ pengkotakan “ matapelajaran
UN dan matapelajaran non UN bisa dan telah menimbulkan pola pikir anak yang
menilai ini mata pelajaran penting dan ini mata pelajaran yang tidak penting
dan tidak ada gunanya.
Ketiga, Proses
belajar-mengajar tidak berpusat pada peserta didik.Tetapi lebih banyak berpusat
pada guru. Masih banyak guru yang mengelola PBM menerapkan metode pembelajaran
yang lebih berpusat pada guru dengan berbagai alasan yang terkadang bisa
diterima akal. Misalnya, toh yang penting anak bisa mengerjakan soal-soal UN !,
atau anak-anak kalau diminta diskusi kelompok siswa yang aktif ya..itu ..itu saja ( maksudnya
hanya 1, 2 , 3 siswa yang aktif, sedang sisanya hanya menjadi penonton dan
bahkan tak peduli ).
Keempat,
Proses
belajar-mengajar yang belum mampu mendorong timbulnya kreativitas.
Proses
belajar mengajar lebih cenderung sebagai proses transfer ilmu dari guru
ke
peserta didik. Peserta didik bak botol kosong yang diisi cairan oleh
guru. Apapun jenis dan warna cairan yang dituangkan peserta didik tidak
boleh menolaknya. Dan lebih
celaka lagi , peserta didik seringnya hanya menyalin materi dari buku
sumber ke dalam
buku catatan untuk kemudian dihafalkan oleh mereka. PBM lebih sebagai upaya
untuk menguasai materi, bukan untuk menguasai akal dan hati / jiwa.
Kelima, Terbatasnya
sumber daya yang tersedia.
Sumber
daya dimaksud, adalah sumber daya fisik seperti gedung sekolah, media
pembelajaran, buku referensi, laboratorium dan lain sebagainya. Meskipun ada
sekolah sekolah yang telah memiliki semua sumber daya secara lengkap, namun itu
tidak lebih dari 25 % jumlahnya.
Keenam, Banyak
peserta didik berasal dari keluarga atau orang tua yang masih menunjukkan
rendahnya tingkat kesadaran mengenai pentingnya pendidikan, sehingga dukungan
pada peserta didik masih terbatas..Beberapa Orang tua berpandangan bahwa jika
anak sudah di sekolahkan maka tanggung jawab mereka tinggallah menyediakan “dana”
selama anak-anak mereka bersekolah. Ditambah lagi fakta adanya beberapa lulusan
sarjana yang menganggur tidak bekerja dan tidak produktif, sehingga terkadang
mereka berpikir untuk apa bersekolah toh itu anak saudara yang lulus SMA
sekarang masih pengangguran. Itu anak tetangga yang lulus sarjana hingga hari
ini belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmunya dengan gaji yang sepadan dengan
gelarnya.
Ketujuh, Banyak
guru belum terlatih secara baik dalam melaksanakan konsep belajar aktif. CBSA
malah sering diplesetkan sebagai Catat Bahan Belajar Sampai Abis.
Para guru
kebanyakan masih “sayang” dengan cara-cara lama dalam proses
pembelajaran, dan kurang ngeh dengan metode-metode pembelajaran terkini.
Kedelapan,Kemampuan
membaca, menulis, dan berhitung ( Calistung
) peserta didik di SD dan MI umumnya masih lemah, demikian pula keterampilan
berbahasa peserta didik
pada jenjang pendidikan menengah tampaknya juga masih banyak masalah.
Kesembilan,
Banyak peserta didik yang watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian serta
system berpikirnya
belum sejalan dengan moral dan norma keIndonesiaan. Dan ini lebih
diperparah lagi
oleh kenyataan banyaknya orang dewasa di sekitar mereka yang tidak mampu
memberi
contoh teladan kebaikan. Ingat pepatah mengatakan “ anak adalah cerminan
orang
tua / orang dewasa “. Bagaimana si anak ya seperti itulah orang
tuanya.Jika
orangtua / orang dewasa di sekitar anak selalu menampilkan sikap sopan,
menonjolkan sifat kejujuran baik ketika dilihat anak maupun ketika tidak
dilihat anak maka anak punya peluang besar menjadi manusia yang sopan,
manusia
yang menjujung tinggi nilai-nilai kejujuran.Bagaimana anak akan tergerak
belajar ketika di rumah, sementara mereka melihat dengan mata kepala
mereka sendiri orang tua / orang dewasa menonton acara TV di saat mereka
( para siswa ) harus belajar di rumah ?
Kesepuluh,
lingkungan sekitar ( sekolah maupun tempat tinggal ) peserta didik
kurang
mendukung kesadaran anak untuk belajar dan cenderung melemahkan semangat
belajar anak. Satu contoh misalnya fenomena “ jual-beli “ ijazah atau SK
Pegawai ( baik negeri maupun swasta ) sedikit banyak mempengaruhi pola
berpikir anak ( untuk apa belajar, toh nanti kalau saya sudah lulus dari
kuliah saya bisa diterima jadi CPNS karena orangtua saya duitnya banyak
? begitu mungkin pikiran mereka. Belum lagi tayangan media elektronik
yang tumbuh bak jamur di
musim penghujan telah menghujani panca indera anak dengan tontonan yang
terkadang tidak
mendidik, lebih banyak menampilkan kesenangan dan kemudahan dalam hidup.
Kemudahan-kemudahan dalam hidup yang didapatkan anak melalui perangkat
teknologi modern seperti play station, handphone / telepon seluller,
computer bahkan
akses internet sedikit banyak telah mempengaruhi pola pikir, pola
tingkah laku
dan sikap hidup anak-anak masa kini. Anak menjadi manusia-manusia pasif,
kurang
aktif melakukan gerak motorik. Bagaimana tidak ? hanya dengan duduk
bersimpuh
seorang, dua orang anak bisa bermain sepak bola hanya dengan menggunakan
dua
jari tangannya saja menggunakan perangkat bernama play station ataupun
computer.
Inilah sepuluh
masalah dari sekian banyak permasalahan yang merundung dunia pendidikan di
Indonesia. Semua permasalahan tersebut memang tidak boleh hanya sebatas menjadi
bahan diskusi, perdebatan maupun adu argumentasi. Jauh lebih penting dari itu
adalah melakukan langkah nyata mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut
dengan solusi yang cerdas , adil dan bijak.
Dan ini
menjadi tantangan besar bagi para pendidik dan pengajar selaku ujung tombak
pendidikan di Indonesia. Nasib bangsa ini 10 atau 20 tahun kedepan ada di karya
nyata Bapak dan Ibu Guru yang terhormat. Semoga.