BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Iklan
selalu hidup dan berada kapan saja dan di mana saja dalam kehidupan
kita. Benyamin Franklin adalah orang pertama yang memperkaya informasi
iklan dengan menambah ilustrasi sehingga efek iklan semakin kuat (Ferry
Darmawan, 2005: 103-114). Di Indonesia, pada masa perkembangannya,
bentuk iklan bersandar pada bahasa verbal yang tertulis dan tercetak. Kekuatan
utama iklan terletak pada bahasa, gambar, serta penggarapan kreatif
tata letaknya. Setiap pengiklan selalu menginginkan agar produk yang
dipromosikan laku. Sebab efek langsung dan cepat terhadap penjualan
menjadi salah satu ukuran keberhasilan iklan. Dalam rangka memenuhi
maksud tersebut, maka di dalam memproduksikan sebuah iklan, bahasa dan
gambar atau ilustrasi hendaknya digarap secara cermat. Karena pada
dasarnya iklan berperan penting dan sangat mempengaruhi proses pemasaran
dan hasil penjualan suatu produk. Kunci kesuksesan sebuah iklan
terletak pada kreativitas orang-orang yang terlibat dalam proses
pembuatannya. (Siminto, 2004) Sebuah iklan diciptakan dengan
memperhitungkan secara cermat aspek keberterimaan oleh masyarakat umum.
Berbagai
jenis layanan operator selular telah hadir di Indonesia. Tentu saja
media promosi yang digunakan melalui media untuk menyakinkan pengguna
handphone selular yang berlomba dapat meyakinkan pemirsa bagaimanapun
caranya. Proses penyampaian sesuatu hal yang dilakukan melalui media
untuk kepraktisan hidup. Hal itu diharapkan masyarakat menggunakan jasa
operator yang telah mereka tawarkan. Perusahaan penyedia jasa
telekomunikasi menjaring semua lapisan masyarakat, mulai dari;
anak-anak, remaja, pemuda, dan orang tua.
Dengan
peluang jejaring yang demikian, perusahaan operator selular menawarkan
beragam keunggulan dalam mencari pelanggan mereka. Beragam keunggulan
yang ditawarkan oleh perusahaan operator selular disampaikan melalui
bahasa. Bahasa yang memikat dengan pilihan kata yang kreatif selalu
dimanfaatkan oleh perusahaan operator selular dalam menjaring kaum
remaja yang berperan sebagi pengguna layanan kartu selular.
Dalam
tulisan yang muncul dalam iklan, setiap kalimat adalah suatu pernyataan
yang bisa diuji ulang, dicari relevansinya dengan kenyataan yang diacu
dan diusut arah logikanya secara berulang-ulang guna menguji
koheren-sinya. Akan tetapi, bahasa yang dipergunakan dalam iklan di
media massa dan elektronik seringkali tidak sesuai dengan kaidah bahasa
yang baik dan benar.
Iklan
memerlukan tampilan yang dikemas dengan bahasa membumi, kontekstual,
dan ‘gaul’. Kondisi ini yang menye-babkan ada keprihatinan pada banyak
kalangan. Ada yang berpendapat bahwa bahasa iklan tidak mesti sesuai
dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi belum ada
kriteria bagaimana sebaiknya bahasa iklan tersebut.
Pengembangan
laras bahasa iklan menjadi daya tarik untuk tujuan ekonomi dalam ranah
advertising. Selain itu, diharapkan melalui pene-laahan yang mendalam
eksistensi bahasa iklan memberikan informasi yang positif yang dapat
mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku yang dapat menyadarkan
masyarakat untuk dapat memilah mana yang diperlukan sehing-ga tidak
berperilaku konsumtif.
Sebagai bagian dari pengungkapan ide, Iklan operator seluler harus
memiliki kesatuan atau keutuhan wacana atau tulisan yang dapat
mencerminkan ide atau permasalahan yang ingin diungkapkan oleh penulis sehingga informasi atau hal-hal yang ingin diungkapkan oleh kreator iklan dapat dimengerti dengan mudah oleh masyarakat yang tertidri dari berbagai macam latar belakang yang berbeda-beda.
Suatu
wacana dituntut memiiki keutuhan struktur. Keutuhan itu sendiri
dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam sutau organisasi
kewacanaan (Mulyana, 2005: 25). Keutuhan tulisan ini dapat mencakup
kohesi, koherensi dan unsur-unsur gramatikal yang ada di dalam tulisan
yang ada di dalam “pos pembaca”. Kohesi dan kohernsi merupakan bagian
yang mutlak yang harus ada di dalam suatu tulisan. Kohesi dan koherensi
ini akan mencerminkan isi dari tulisan yang akan di baca oleh pembaca. Kohesi
dan koherensi dapat menjadikan tulisan yang dibaca bermakna atau
memliki ide atau informasi yang ingin disampaikan penulis kepada
pembaca. Selain kohesi dan koherensi,
di dalam suatu tulisan juga harus memperhatikan unsur gramatikalnya,
seperti: referensi, subtitusi, ellipsis, paralelisme, dan konjungsi. Dengan
kata lain, melalui pilihan kata yang tepat diharapkan iklan dapat
memberi pembelajaran yang positif pada berbagai kalangan masyarakat
Indonesia untuk malu melakukan sesuatu perbuatan, pekerjaan, kebiasaan,
dan tingkah laku yang kurang baik. Melalui sindiran, ejekan yang
bersifat sarkasme dan sinisme mampu mengungkapkan kondisi sosial,
budaya, politik, dan lain-lain.
Dunia
telekomunikasi seluler masih disibukkan dengan perang tarif. Namun
sejak kemunculannya pertama kali di tahun 90-an, saat ini jumlah
operator yang beroperasi semakin banyak, dengan posisi pasar yang
ditempati oleh pemain 'yang itu-itu saja'. Telkomsel masih tercatat
sebagai operator incumbent dengan penguasaan pasar lebih dari 50 persen,
disusul oleh Indosat, XL, lalu operator-operator kecil yang baru muncul
beberapa tahun belakangan.
Telkomsel
masih tercatat sebagai operator incumbent dengan penguasaan pasar lebih
dari 50 persen, disusul oleh Indosat, XL. Sampai saat ini telkomsel
sebagai operator telekomunikasi terbesar nomor satu di Indonesia, yang
seharusnya memberikan ancaman serius bagi operator Indosat, meski
potensi untuk melakukan 'pengejaran' masih jauh dari jangkauan. Namun
dalam setiap iklannya belakangan ini, operator tersebut malah berupaya
untuk 'menohok' iklan yang dilancarkan oleh operator nomor tiga (XL).
Saingan provider Telkomsel yaitu Kartu As dengan provider XL belakangan
terakhir terus memanas. Saingan yang terus terjadi antara Kartu As
dengan XL terutama terjadi dalam hal tarik- menarik pengguna baru taupun
hanya memperebutkan pengguna yang masih setia bertahan di jaringan GSM.
Dalam strategi marketing, terutama dalam iklan-iklan keduanya secara
terus menerus yang bertebaran di layar televisi, masing-masing provider
tersebut tidak mau kalah dan saling menyerang antara kedua provider
tersebut.
Iklan-iklan tersebut selalu berisi kritik sosial berperang
merebut hati pelanggan adalah target para pekerja iklan. Maka tidak
heran misalnya akhir-akhir ini terdapat rupa-rupa bentuk dan model
kemasan iklan pada televisi. Masing-masing pembuat iklan berjuang
mengungkapkan secara intens karakteristik model iklan dalam bahasa
tuturan yang secara semantik sedikit banyak memiliki pertentangan arti.
Bahkan cenderung terdapat di dalamnya ambiguitas bentuk dan makna. Para
pencipta iklan berlomba memenangkan produk dan merebut hati masyarakat.
Segala kemungkinan bentuk desain iklan diekspresikan dengan berbagai
cara agar tercapai sasaran yang akan dituju. Iklan tidak muncul tanpa
hambatan. Kaidah-kaidah, norma-norma, peraturan yang berlaku tertulis
atau tidak tertulis, ikut memaksa para kreator periklanan untuk lebih
berkreasi di tengah hiruk-pikuk persaingan ide dan gagasan.
Tidak
semua audiens atau pemirsa dapat memahami makna kontekstual dari setiap
slogan iklan yang ditayangkan pada layar televisi. Banyak di antaranya
hanya dapat memahami slogan-slogan tersebut secara konvensional.
Kesulitan audiens untuk memahami secara kontekstual slogan-slogan yang
digunakan di dalam iklan sedikit banyak disebabkan karena orang sulit
memahami bahasa dan struktur iklan. Dan karena itu adalah penting untuk
mengemukakan hakikat bahasa dan struktur pembuatan iklan. Juga penting
untuk membuat analisis wacana
kontekstual terhadap iklan-iklan yang ditayangkan pada layar televisi.
Setidaknya dengan itu audiens atau pemirsa diantar untuk memahami makna
kontekstual dari bahasa atau slogan yang digunakan dalam tayangan iklan.
Secara
ringkas, tulisan ini akan memaparkan pilihan kata yang digunakan dalam
bahasa iklan. Diharapkan melalui penelaahan lebih lanjut dapat
ditentukan pola pilihan kata dalam wacana iklan berbahasa Indonesia
seperti apa yang dapat menarik perhatian konsumen yang diungkapkan dalam
bentuk yang singkat, diketahui makna acuan apa saja yang terkandung
dalam wacana iklan berbahasa Indonesi. Tulisan ini adalan kajian singkat
terhadap iklan berbahasa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk pilihan kata, kohesi dan koherensi serta unsur gramatikal yang muncul dalam wacana iklan operator seluler (IM3 vs XL)?
2. Makna kontekstual apakah yang terdapat dalam pilihan kata wacana iklan berbahasa Indonesia dalam iklan operator seluler (IM3 vs XL)?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk dapat mendeskripsikan:
1. bentuk pilihan kata, kohesi dan koherensi serta unsur gramatikal yang muncul dalam wacana iklan operator seluler (IM3 vs XL)
2. Makna kontekstual yang terdapat dalam pilihan kata wacana iklan berbahasa Indonesia dalam iklan operator seluler (IM3 vs XL).
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari pembahasan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis.
a. Manfaat teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman baru bagi masyarakat dalam menganalisis wacana suatu iklan khususnya iklan operator seluler di ditinjau dari segi keutuhan wacana (baik kohesi, koheransi, dan unsur gramatikal) serta makna kontekstual yang terdapat dalam dalam iklan operator seluler (IM3 vs XL).
b. Manfaat praktis yang dapat diambil dari pembahasan ini adalah diharapkan masyarakat dapat memberikan kontribusi yang positif dalam bidang tulis-menulis agar memperhatikan keutuhan suatu wacana dan wacana kontekstual dalam iklan operator seluler.
BAB II
KAJIAN TEORI
KAJIAN TEORI
A. Iklan
Kata
iklan didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai berita
pesanan untuk mendorong, membujuk kepada khalayak ramai tentang benda
dan jasa yang ditawarkan; iklan dapat pula berarti pemberitahuan kepada
khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang didalam
media massa seperti surat kabar dan majalah (KBBI: 322). Informasi
melalui iklan dinilai berpengaruh langsung maupun taklangsung terhadap
persepsi, pema-haman, dan tingkah laku masyarakat (Darmawan, 2006).
Iklan
memiliki fungsi untuk menyebarkan informasi tentang penawaran suatu
produk, gagasan atau jasa. Keberadaan suatu barang atau jasa diketahui
konsumen lewat iklan. Iklan berusaha memberikan informasi tentang
keunggulan, kelebihan, manfaat dan sifat yang diberikan barang, jasa
atau gagasan yang dimaksudkan atau dianjurkan. Di sisi yang lain iklan
merupakan alat persuasi agar konsumen membeli atau menggunakan barang,
jasa atau gagasan tersebut. Berbeda dengan sebuah berita dalam
suratkabar, iklan tidak sekedar menyampaikan informasi tentang suatu
benda atau jasa, tetapi mempunyai sifat "mendorong" dan "membujuk" agar
orang menyukai, memilih dan kemudian membelinya. Dalam proses periklanan
terjadi proses yang berkaitan dengan disiplin psikologi; mulai dari
tahap penyebaran informasi sebagai proses awal, hingga ke tahap
menggerakkan konsumen untuk membeli atau menggunakan jasa adalah suatu
proses psikologi. Iklan dapat dikatakan berhasil apabila mampu
menggerakan konsumen untuk pertama kali saat melihat penampilan iklan
tersebut; rangsangan visual dari penampilan iklan langsung mendapat
perhatian dari pemerhati. Proses berikut adalah hadirnya penilaian akhir
terhadap isi atau pesan dari iklan, dengan mempertimbangkan perasaan
calon konsumen, yang memunculkan tindakan atau sikap sesuai dengan
penilaian akhirnya.
Fenomena-fenomena sosial-budaya seperti fashion, makanan, furniture, arsitektur, pariwisata, mobil, barang-barang konsumer, seni, desain dan iklan dapat dipahami berdasarkan model bahasa (Yasraf Amir Piliang,1995: 27). Pragmatik merupakan tataran yang ikut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa.
Fenomena-fenomena sosial-budaya seperti fashion, makanan, furniture, arsitektur, pariwisata, mobil, barang-barang konsumer, seni, desain dan iklan dapat dipahami berdasarkan model bahasa (Yasraf Amir Piliang,1995: 27). Pragmatik merupakan tataran yang ikut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa.
B. Analisis Wacana Kritis
Menurut
Douglas dalam Mulyana (2005: 3), istilah wacana berasal dari bahasa
Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut
kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana.
Kridalaksana
dalam Yoce (2009: 69) membahas bahwa wacana adalah satuan bahasa
terlengkap dalam hirearki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan
gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam
bentuk karangan yang utuh, seperti novel, cerpen, atau prosa dan puisi,
seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraph, kalimat, frase, dan kata
yang membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit linguistik yang
lebih besar dari kalimat atau klausa.
Menurut
Kamus Linguistik Dewan Bahasa dan Pustaka (1997) dalam Tengku Silvana
Sinar (2008: 5), wacana diterjemahkan sebagai discourse yaitu unit
bahasa yang lengkap dan tertinggi yang terdiri daripada deretan kata
atau kalimat, sama ada dalam bentuk lisan atau tulisan, yang dijadikan
bahan analisis linguistik. Kata wacana berasal dari kata vacana ‘bacaan’
dalam bahasa Sansekerta. Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa
Jawa Kuna dan bahasa Jawa Baru wacana atau vacana atau’ bicara, kata,
ucapan’. Kata wacana dalam bahasa baru itu kemudian diserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi wacana ‘ucapan, percakapan, kuliah’
(Poerwadarminta 1976: 1144).
Lukmana,
Aziz dan Kosasih (2006: 12) mengatakan bahwa analisis wacana kritis
(Critical Discourse Analysis) mempunyai ciri yang berbeda dari analisis
wacana yang bersifat “non-kritis”, yang cenderung hanya mendeskripsikan
struktur dari sebuah wacana. Analisis wacana kritis (Critical Discourse
Analysis) bertindak lebih jauh, diantaranya dengan menggali alasan
mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu, yang pada akhirnya
akan berujung pada analisis hubungan sosial antara pihak-pihak yang
tercakup dalam wacana tersebut.
Analisis
wacana kritis menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk
melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan
perkembangan sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang berbeda
(Jorgensen dan Philips, 2007: 114). Tujuan analisis wacana kritis
adalah menjelaskan dimensi linguistik kewacanaan fenomena sosial dan
kultural dan proses perubahan dalam modernitas terkini (Jorgensen dan
Philips, 2007: 116).
Secara
garis besar, dapat disimpulkan pengertian wacana adalah satuan bahasa
terlengkap daripada fonem, morfem, kata, klausa, kalimat dengan
koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu
mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau
tertulis ini dapat berupa ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan,
tetapi persyaratanya harus dalam satu rangkaian dan dibentuk oleh lebih
dari sebuah kalimat.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai di dalam berbagai disiplin ilmu dengan berbagai pengertian.Titik singgung analisis wacana adalah studi yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut A.S Hikam dalam Eriyanto (2001: 4) ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa. Pertama, pandangan positivisme-empiris; kedua, pandangan konstruktivisme; dan ketiga pandangan kritis.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai di dalam berbagai disiplin ilmu dengan berbagai pengertian.Titik singgung analisis wacana adalah studi yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut A.S Hikam dalam Eriyanto (2001: 4) ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa. Pertama, pandangan positivisme-empiris; kedua, pandangan konstruktivisme; dan ketiga pandangan kritis.
Dengan
demikian, analisis wacana kritis merupakan teori untuk melakukan kajian
empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial
budaya. Untuk menganalisis wacana, yang salah satunya bisa dilihat
dalam area linguistik dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat
dalam teks (novel) bisa menggunakan teori analisis wacana kritis. Teori
analisis wacana kritis memiliki beberapa karakteristik dan pendekatan.
C. Analisis Teks
1. Hakikat Kohesi dan Koherensi
Kohesi
merupakan salah satu unsur pembentuk teks yang penting. Menurut Mulyana
(2005: 26) menyatakan bahwa kohesi dalam wacana diartikan sebagai
kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk ikatan sintaktikal.
Kohesi wacana terbagi di dalam dua aspek, yaitu kohesi gramatika dan
kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain adalah referensi,
subtitusi, ellipsis, konjungsi, sedangkan yang termasuk kohesi leksikal
adalah sinonimi, repetisi, kolokasi.
Sejalan
dengan pendapat di atas Yayat Sudaryat (2008: 151) menyatakan bahwa
kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam organisasi sintaksis, wadah
kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan
tuturan. Sedangkan Abdul Rani, Bustanul arifin, Martutik (2006: 88)
menyatakan bahwa kohesi adalah hubungan antarbagian dalam teks yang
ditandai oleh penggunaan unsure bahasa. Oleh
karena itu, wacana dikatakan kohesif apabila terdapat kesesuaian bentuk
bahasa baik dengan ko-teks (situasi dalam bahasa) maupun konteks
(situasi luar bahasa). Menurut H. G. Tarigan (dalam Mulyana, 2005: 26)
mengemukakan bahwa penelitian mengenai kohesi menjadi bagian dari kajian
aspek formal bahasa. Oleh karena itu, organisasi dan struktur
kewacanaanya juga berkonsentrasi dan bersifat sintaktik gramatikal.
Brown
dan Yule (dalam Abdul Rani, dkk, 2006: 87) menyatakan bahwa unsur
pembentuk teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu
sebagai sebuah teks atau bukan teks. Hal tersebut juga diperkuat lagi
dengan pendapat Anton M. Moeliono (dalam
Sumarlam, dkk, 2009: 173) bahwa kohesi merupakan hubungan semantik atau
hubungan makna antara unsur-unsur di dalm teks dan unsur-unsur lain
yang penting untuk menafsirkan atau menginterpretasikan teks; pertautan
logis antarkejadian atau makna-makna di dalamnya; keserasian hubungan
antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga
terciptalah pengertian yang apik. Berdasarkan pendapat tersebut telah diperkuat dan disimpulkan oleh Mulyana (2005:31) bahwa hubungan koherensi merupakan sutau rangkaian fakta dan gagasan yang teratur yang tersusun secara logis.
2. Hakikat Unsur Gramatikal
a. Referensi
Menurut
Yayat Sudaryat (2008:153) menyatakan bahwa referensi atau pengacuan
merupakan hubungan antara kata dengan acuan. Kata-kata yang berfungis
sebagai pengacu disebut deiksis sedangkan unsur-unsur yang diacu disebut
antesede. Diperkuat dengan pendapat Mulyana (2005: 27) juga menyatakan
bahwa referensi (penunjukan) merupakan bagian kohesi gramatikal yang
berkaitan dengan penggunaan kata taua kelompok kata untuk menunjuk kata
atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya.
b. Subtitusi
Harimurti
Kridalaksana (dalam Mulyana, 2005:28) menyatakan bahwa subtitusi
(penggantian) adalah proses dan hasil penggantian oleh unsure bahasa
oleh unsure lain dalam satuan yang lebih besar. Penggantian dilakukan
untuk memperoleh unsure pembeda atau menjelaskan strukur tertentu.
Proses subtitusi merupakan hubungan gramatikal, dan lebih bersifat
hubungan kata dan makna. Sejalan dengan pendapat tersebut Yayat Sudaryat
(2008: 154) menyatakan bahwa subtitusi mengacu pada penggantian
kata-kata dengan kata lain. Subtitusi mirip dengan referensi.
Perbedaanya, referensi merupakan hubungan makna sedangkan subtitusi
merupakan hubungan leksikan atau gramatikal.
c. Elipsis
Yayat Sudaryat (2008: 155) mengemukakan ellipsis
merupakan penghilangan satu bagian dari unsure kalimat. Sebenarnya
ellipsis sama dengan subtitusi, tetapi ellipsis disubtitusi oleh sesuatu
yang kosong. Ellipsis biasanya dilakuakn dengan menghilangkan
unsure-unsur wacana yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan pendapat
harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana, 2005:280 elipsis
(penghilangan/pelesapan) adalah proses penghilangan kata atau
sataun-satuan kebahasaan lain.
4. Paralelisme
Menurut
Yayat Sudaryat (2008: 155) paralelisme merupakan pemakaian unsure-unsur
gramatikal yang sederajat. Hubungan antara unsure-unsur itu dituturkan
langsung tanpa konjungsi.
5. Konjungsi
Harimurti
Kridalaksana dan H. G. Tarigan dalam (Mulyana, 2005: 29) menyatakan
bahwa konjungsi atau kata sambung adalah bentuk atau satuan kebahasaan
yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung angtara
kata dengan kata, frasa dengan frasa, kalusa dengan klausa, kalimat
dengan kalimat dan seterusnya.
D. Analisis Konteks
Untuk membentuk wacana yang baik dan padu tidak cukup hanya mengandalkan hubungan kohesi. Menurut Cook (dalam Abdul
Rani, dkk, 2006: 872) menyatakan bahwa penggunaan alat kohesi itu
memang penting untuk membentuk wacana yang utuh, tetapi tidak cukup
meggunakan penanda katon tersebut. Ada faktor lain seperti relevansi dan
faktor tekstual luar (extratextual factor)
yang ikut menentukan keutuhan wacana. Kesesuaian antara teks dan dunia
nyata dapat membantu menciptakan suatu kondisi untuk membantuk wacana
yang utuh. Faktor lain seperti pengetahuan budaya yang juga membantu
dalam menciptakan koherensi teks.
Konteks
adalah sesuatu yang menjadi sarana untuk memperjelas suatu maksud.
Sarana yang dimaksud ialah bagian ekspresi yang mendukung kejelasan
maksud dan situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang
berupa bagian ekspresi yang dapat memperjelas maksud disebut ko-teks
(co-text). Konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan kejadian
lazim disebut konteks (context) ( Hallyday,M.A.K & Hasan R, 1976 :
29; Rustono, 1999 : 20; Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik, 2006 : 16). Hal
ini berarti bahwa konteks memiliki peranan yang sangat esensial untuk
menafsirkan makna yang terkandung baik dalam wacana lisan maupun wacana
tulisan. Sejalan dengan pendapat di atas Mey (2001: 39) pun berpendapat
bahwa konteks merupakan konsep yang dinamis dan bukan konsep yang
statis. Konteks
wacana dibentuk oleh berbagai unsur, yaitu situasi, pembicara,
pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode,
saluran (Hasan Alwi 1998:421). Konteks wacana meliputi:
a. konteks
fisis (physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian
bahasa pada suatu komunitas, objek yang disajikan dalam peristiwa
komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari pada peran dalam
peristiwa komunikasi itu.
b. konteks
epistemis (epistemic context) atau latar belakang pengetahuan yang
sama-sama diketahui oleh para pembicara maupun pendengar.
c. konteks
linguistik (linguistic context) yang terdiri atas kalimat-kalimat atau
tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam
peristiwa komunikasi.
d. konteks
sosial (social context) yaitu relasi sosial dan latar setting yang
melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar (mitra
tutur).
Untuk
mengkaji pemakaian bahasa (khususnya wacana kontekstual iklan operator
seluer), Hymes (dalam Mulyana, 2005: 23; Renkema, 1993: 44) mengemukakan
bahwa konteks dalam wacana dibentuk dari delapan unsur seperti yang
terdapat dalam setiap komunikasi bahasa. Hymes menyebut kedelapan unsur
tersebut di atas dalam akronim SPEAKING.
S : setting and scene, yaitu latar dan suasana. Latar (setting)
lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu terjadinya
tuturan. Scene adalah latar psikis yang lebih mengacu pada suasana
psikologis yang menyertai peristiwa tuturan.
P : participants,
peserta tuturan, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik
langsung maupun tidak langsung. Hal-hal yang berkaitan dengan
partisipan, seperti usia, latar belakang sosial, pendidikan dan
sebagainya juga menjadi perhatian.
E : ends, hasil, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomes), dan tujuan akhir (ends in view goals).
A : act sequences, pesan atau amanat, terdiri dari bentuk pesan (message form) dan isi pesan (message content).
K : key, meliputi cara, nada, sikap atau semangat dalam melakukan percakapan. Semangat percakapan misalnya akrab, santai dan serius.
I : instrumentaities
atau sarana, yaitu sarana percakapan. Maksudnya dengan media apa
percakapan tersebut disampaikan, misalnya dengan cara lisan, tertulis,
surat, televisi dan sebagainya.
N : norm,
atau norma, menunjuk pada norma atau aturan yang membatasi percakapan.
Misalnya apa yang boleh dibicarakan dan tidak, bagaimana cara
membicarakanny: halus, kasar, jorok dan sebagainya.
G : genres, atau jenis, yaitu jenis atau bentuk wacana. Hal ini langsung menunjuk pada jenis wacana yang.
BAB III
PEMBAHASAN
Bahasa
iklan adalah ragam jenis tulisan melalui perantara bahasa yang
digunakan dalam iklan operator selular di Indonesia. Semakin memikat
slogan yang digunakan dalam setiap iklan yang diterbitkan, semakin
tertarik masyarakat untuk menggunakan layanan operator kartu selular
dari perusahaan yang terkait.
Beragam keunggulan yang ditawarkan oleh perusahaan operator selular disampaikan melalui bahasa.
Bahasa
yang memikat dengan pilihan kata yang kreatif selalu dimanfaatkan oleh
perusahaan operator selular dalam menjaring pengguna layanan kartu
selular. Artinya, ada makna yang terkandung dalam setiap bahasa yang
disampaikan dalam slogan operator selular tersebut sehingga setiap
pilihan kata yang dipakai oleh perusahaan penyedia jasa operator
selular, memiliki makna yang ingin disampaikan dan mencerminkan karakter
dari setiap perusahaan jasa operator selular. Oleh sebab itu, dengan
semakin beragamnya operator seluler yang ada di Indonesia menimbulkan
persaingan guna mendapatkan hati penggunanya.
Perseteruan
operator seluler paling seru saat ini adalah antara XL dan Telkomsel.
Berkali-kali kita dapat melihat iklan-iklan kartu XL (PT Excelcomindo
Pratama)dan kartu as (PT. Telekomunikasi Seluler)
saling menjatuhkan dengan cara saling memurahkan tarif sendiri.
Persaingan kartu yang sudah ternama ini kian meruncing dan langsung tak
tanggung-tanggung menyindir satu sama lain secara vulgar. Kedua operator
ini secara bersamaan menggunakan Jargon “Telefon Murah.”
A. Iklan XL versi Sule, Baim, Putri Titian
Sule,
pelawak sedang naik daun di tahun 2010 sampai saat ini. Awalnya, Sule
adalah bintang iklan XL. Di XL, Sule bermain satu frame dengan bintang
cilik Baim dan Putri Titian.
Di iklan tersebut, Baim diberitahu Putri Titian untuk komentar, “om sule ganteng”, tapi dengan kepolosan dan kejujuran (yang tentu saja sudah direkayasa oleh sutradara ) si baim ngomong, “Om Sule jelek..”.
Setelah itu, sule kemudian membujuk Baim dan
memberikan dua buah makanan (entah permen or apaan) kepada Baim dengan
harapan Baim akan mengatakan ‘Om Sule ganteng’. Namun Baim masih
menjawab apa ada seperti jawaban sebelumnya.
“Dari pertama, Om Sule itu jelek. Dari pertama kalau Rp. 25,- XL, murahnya beneran.” jawab Baim lagi, dan seterusnya.
Sutradara : Break
(hp tasya berdering)
Putri Titian : (Kepada Baim) “Bilangin kakak Tiannya lagi tidur”
Baim : (menjawab telfon) Tadi kata Kakak Tiannya lagi tidur. Kakak Tiannya lagi mlototi baim nih.
Sule : Baim akrab banget ngobrolnya?
Baim : Emang Aim akrab banget sama kakak ini.
“SEAKRAB BAIM, SEAKRAB XL. BENERAN MURAHNYA. NELPON Rp 25/MENIT DARI MENIT PERTAMA”
Iklan
ini menampilkan tokoh anak kecil, yang secara tidak langsung bisa juga
mempengaruhi pola pikir anak kecil lain. Tujuan iklan ini adalah ingin
menunjukkan bahwa XL itu jujur seperti Baim yang masih kecil dan polos.
Selanjutnya Baim disuruh berbohong, dan dia tetap menolak untuk
berbohong. Di satu sisi, iklan ini bagus karena mengajarkan orang
terutama anak kecil untuk selalu jujur, tidak bohong. Penggunaan icon
anak kecil membawa dampak sama halnya menggunakan wanita sebagai icon
utama. Dalam iklan yang tidak berhubungan dengan produk untuk anak
kecil, seharusnya tidak dijadikan icon utama. Karena dapat dianggap
eksploitasi anak.
Baim
mengatakan bahwa Sule jelek, memberi kesan bahwa setiap anak kecil
berhak mengatakan bahwa seseorang itu jelek atau buruk rupa, meskipun
atas dalih kejujuran meskipun dalam konteks bercanda. Kejujuran yang
disampaikan bukan masalah bercanda. Secara tidak langsung, iklan ini
seperti ingin mengatakan bahwa “Sah-sah saja menjelekkan sesuatu yang
memang jelek. Etika atau perasaan seseorang tidaklah penting andai dia
atau apa yang dimiliki itu jelek.” Memang benar, barang jelek harus
dikatakan jelek. Hal itu tentu saja bersangkutan dengan dengan norma
etika dan kesopanan.
Eksploitasi terhadap anak terjadi dalam iklan XL tersebut. Sosok baim diajarkan oleh berbohong oleh Putri Titian, “om sule ganteng” dan “Bilangin
kakak Tiannya lagi tidur.” Dari kutipan tersebut tampak pada nilai yang
tidak patut dicontoh oleh anak tentang ajaran kebohongan meskipun pada
akhirnya, dengan kepolosan Baim menjawab sejujurnya apa yang terlihat
olehnya.
Di dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI) diatur beberapa prinsip tentang keterlibatan anak-anak di bawah umur -apalagi Balita- seperti antara lain:
- Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.
- Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adeganadegan yang berbahaya, menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.
- Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak.
Iklan
tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi daya rengek (pester
power) anak-anak dengan maksud memaksa para orang tua untuk mengabulkan
permintaan anakanak mereka akan produk terkait.
Dalam
iklan tersebut juga terdapat adegan penyuapan Sule terhadap Baim.
Penyuapan tersebut dalam bentuk permen yang diberikan kepada Baim agar
berujar “Om Sule Ganteng”. Tapi, hal itu juga tidak diucapkan oleh Baim.
“Dari pertama, Om Sule itu jelek. Dari pertama kalau Rp. 25,- XL, murahnya beneran.”
Dari
kutipan di atas, tidak ada koherensi antarkalimat satu dan dua. Kalimat
pertama tidak berhubungan dengan kalimat selanjutny meskipun di setiap
awal kalimat menggunakan repetisi ‘dari pertama’.
B. Iklan Kartu As versi Konferensi Pers
Perang
iklan antar operator sebenarnya sudah lama terjadi. Namun pada perang
iklan yang satu ini, tergolong parah. Belum ada bintang iklan yang
pindah ke produk kompetitor selama jangka waktu kurang dari 6 (enam)
bulan. Namun pada kasus ini, saat penayangan iklan XL masih diputar di
Televisi, sudah ada iklan lain yang “menjatuhkan” iklan lain dengan
menggunakan bintang iklan yang sama. Sebelum menjadi bintang iklan Telkomsel, Sule terlebih dahulu menjadi bintang iklan XL bersama dengan Baim dan Putri Titian. Iklan tersebut saya nilai cukup netral untuk sebuah iklan marketing yang tidak menjatuhkan produk lain.
Prinsip
sebuah tayangan iklan di televisi (khususnya) harus patuh pada
aturan-aturan perundang-undangan yang bersifat mengikat serta taat dan
tunduk pada tata krama iklan yang sifatnya memang tidak mengikat.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang menghimpun pengaturan dan
peraturan tentang dunia iklan di Indonesia yang bersifat mengikat
Hal
yang dilakukan oleh Sule tidak etis dalam dunia periklanan. Peran Sule
yang menjadi ‘kutu loncat’ ala tokoh parpol yang secara cepat berpindah
kepada pelaku iklan lain yang merupakan kompetitornya. Selanjutnya,
mengenai pengaturan Etika Pariwara Indonesia (EPI yang intinya mengenai
kasus Sule yang menjadi bintang iklan pada dua produk kompetitor tidak
terlihat sebagai sebuah pelanggaran kode etika pariwara Indonesia (EPI).
Kejadian
seperti itu sebenarnya telah terjadi jauh sebelum Sule mengalaminya
hari ini. Iklan produk Honda -Astrea Grand- yang dibintangi keluarga Si
Doel Anak Sekolahan. Mulai dari si Doel (Rano Karno), Mandra (Mandra),
mas Karyo (Basuki), dan Atun (Suti Karno), mereka semua membintangi
iklan motor bebek Honda Astrea Grand hingga semakin mengukuhkan
peringkat Honda sebagai pabrikan terlaris di Indonesia (kategori motor).
Namun sesudah itu, keluarga si Doel berpecah. Si Doel dan mas Karyo
beralih ke pabrikan Mocin (Motor China) bermerk Bangau; sementara Mandra
masih di Honda. Beberapa saat kemudian pun mas Karyo berpindah ke
Suzuki untuk mengiklankan “Si Gesit Irit”. Baik Honda, Jialing, dan
Suzuki merupakan produk sejenis yang merupakan kompetitor. Artinya,
kejadian Sule bukanlah kejadian pertama kali. dan yang paling penting,
hal itu sah-sah saja karena aku tidak melihat adanya pelanggaran kode
etik. Lain soal jika terkait persoalan materi kontrak.
Namun
demikian, yang patut dipersoalkan bukanlah pada peran Sule yang tampil
di dua iklan produk sejenis, tetapi pada materi iklan yang saling
menyindir dan menjelekkan. Dalam salah satu prinsip etika yang diatur di
dalam EPI, terdapat sebuah prinsip bahwa “Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.” Di
sinilah yang sebenarnya patut dijadikan sebagai objek pembahasan.
Sebagaimana banyak diketahui, iklan-iklan antar produk kartu seluler di
Indonesia selama ini kerap saling sindir dan merendahkan produk
kompetitornya.
Ronde
pertama perang iklan operator telkomsel (Kartu As) dimulai dengan
membelotnya komedian Sule ke Kartu As, setelah sebelumnya menjadi objek
penderita di iklan XL, saat itu ada dialog Sule di "hina" fisiknya oleh
seorang bocah (yang diperankan Baim), tuturan yangsangat menusuk adalah
pada saat Sule megatakan "...Jangan mau diboongin anak kecil!!",...
apalagi setelah itu ada seorang anak kecil dengan penampilan mirip Baim
turut membantu meyakinkan pemirsa dengan ucapan " ...Ternyata kartu As
paling murah ya om Sule ?..."
Sebagai
balasan dari iklan XL versi Sule, Baim, Putri Titian kemudian tayang
sebuah iklan dari provider Telkomsel (kartu AS). Dalam iklan tersebut
Sule menjadi bintangnya dengan menghilangkan aspek kreativitas dari
pembuat iklan yang mampu menjadikan Sule seolah-olah berkhianat dari XL
dan tentu saja hal ini merupakan tamparan telak tersendiri bagi operator
XL. Dapat disaksikan bahwa iklan-iklan tersebut sudah benar-benar
menjelek-jelekan produk lain. Pihak Telkomsel dapat merasa puas dengan
menghina dan menjatuhkaniklan XL. Tapi, masyarakat terganggu dengan
iklan-iklan Telkomsel tersebut. Iklan tersebut terkandung nilai-nilai
untuk terus mencemooh dan menjelek-jelekan produk lain. Hal ini
dibuktikan pada kutipan:
Sule:
“Tenang, pokoknya saya sudah tobat. Ternyata Kartu AS yang paling murah
langsung dari menit pertama, pagi siang malem, gak ribet, gak
dibates-batesin. Oke.”
“PALING MURAH Rp 20/MENIT LANGSUNG DARI MENIT PERTAMA. JUJUR DAN TRANSPARAN”
“PALING MURAH...YA KARTU AS”
Sule: Saya kapok diboongin sama anak kecil.
Seluruh
dialog dari bahasa iklan di atas meniru dari kompititor yang lainnya
yang mengunggulkan tarif telefon murah, yaitu XL. Operator X L
sebelumnya menggunakan “Beneran
murahnya. Nelpon Rp 25/menit dari menit pertama” yang kemudian kartu As
mengangkat slogan dalam iklannya “paling murah Rp 20/menit langsung
dari menit pertama. Jujur dan transparan”
Di
iklan Kartu As lainnya (yang tanpa Sule) dengan kalimat "Makanya,
jangan mau dibohongi anak kecil" (beberapa orang pemuda dengan
background lapangan futsal) atau "engga ada sulap-sulapan deh di sini
mah" (iklan Kartu As di dalam ruangan).
Sindiran
yang telak untuk menyerang operator XL adalah iklan yang menampilkan
Sule didampingi oleh kelompok musik pemenang Indonesia Mencari Bakat
(IMB), Klantink, tampilan awal langsung menggunakan kalimat "Ngapain sih
pake cek-cek 123? kelamaan", lalu di sesi akhir iklan tersebut langsung
menghadirkan seorang anak kecil berbaju biru, yang merepresentasikan
Baim di iklan XL, dengan mengucapkan kalimat "Ternyata Kartu As paling
murah ya, Om Sule".
“123”
merupakan nomor panggilan operator untuk pengecekan pulsa dan
pergantian layanan XL. Iklan Kartu AS tidak menggunakan registrasi kartu
terlebih dahulu ketika akan menggunakan fasilitas. Di akhir tayangan
iklan, ada muncul di layar anak kecil tampak dengan baju biru, rambutnya
panjang mengucapkan "Ternyata Kartu As paling murah ya, Om Sule"
merupakan sindiran kepada XL yang telah mengakui jika Kartu AS memang
yang paling murah dan tidak ribet.
Dalam
iklan awal XL dengan bintang iklannya yang biasa kita kenal dengan nama
sikecil baim dan sule, terlihat sangat kompak dalam mempromosikan XL.
Namun bukan itu pemicunya, pemicunya adalah sang bintang kedua yaitu
Sule yang kemudian ditarik pihak Kartu As untuk menjadi bintang utama
dalam Iklannya, dan menaruh kata-kata yang cukup panas menyinggung iklan
XL yang sebelumnya yang dia bintangi sendiri bersama Baim.
Sampai-sampai Sule yang sekaligus merupakan bintang besar komedi OVJ
(Opera van Java) mengatakan “Tobat dan Kapok dibohongin”. Dari Iklan
tersebut muncul iklan yang bisa dikatakan ‘balasan’ dari XL yang
menampilkan baim kecil kembali, dan membawa baner-baner pembuktian bahwa
tetap XL lah yang lebih murah, dengan gratisan dan promonya yang
menampilkan lebih baik dengan saingannya itu. Iklan Telkomsel versi ini tidak memiliki daya tarik selain penghinaan terhadap
produk lain. Iklan-iklan XL lebih menghibur daripada Telkomsel. Iklan
tersebut menampilkan humor yang lebih cerdas dan segar.
Hal ini bukan permusuhan Sule dengan Baim, tapi ini adalah rivalitas dua operator provider seluler terbesar di tanah air, Telkomsel AS dengan XL Axiata adalah bentuk persaingan yang tidak sehat.
C. Korban ketagihan sms Xl
Level berikutnya, pihak XL sepertinya tidak mau terpancing, dengan menawarkan konsep baru dalam strategi promosinya.
Lokasi di swalayan
Cewe : Beli tissue dong
(Seisi swalayan keluar dari toko) HaaaAaaAAh
Lokasi di halte bus
Cewe: Geser dikit dong
(semua orang yang berada di halte lari tunggang langgang)
Cewe masuk ke dalam bus
(seisi bus keluar sambil menjerit histeris)
Tulisan di slide
“KORBAN KETAGIHAN SMS’
“SMS-an 100% GRATIS GAK ADA BATAS KE SEMUA OPERATOR”
Narator : Ini dia korban ketagihan sms Xl.
Bahasa
iklan yang digunakan merupakan bahasa sehari-hari dalam percakapan
tindak tutur nonbaku atau ragam gaul dalam percakapan antar penutur
dengan usia sebanding. Kalimat tidak lengkap dan kata berikut adalah
ragam tak baku yang berbaur, campur kode dengan bahasa daerah atau lokal
dalam dialog tekstual iklan.
“Beli tissue dong”
“Geser dikit dong”
“SMS-an...”
Dalam sebuah wacana iklan,
aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menjaga pertalian
batin antara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan
keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya
hubungan-hubungan makna yang terjadi antarunsur (bagian) secara
semantik.
Iklan
merupakan cara berkomunikasi dengan masyarakat sehingga disesuaikan
dengan produk dan target market. Setiap iklan mengandung pesan yang
ingin disampaikan kepada masyarakat. Operator XL dalam hal ini
menggunakan strategi yang berbeda. Iklan hantu tersebut menyampaikan
pesan ketagihan mengirim SMS. Iklan seorang perempuan yang saking keasyikan mengirim SMS sampai lupa diri.
Pihak
XL mempergunakan ikon hantu perempuan dalam tayangan iklannya. Padahal
masih banyak ikon lain yang lebih ramah yang bisa digunakan untuk
tayangan iklan. Tayangan hantu tersebut dapat merusak psikologis dan
kejiwaan. Hal ini juga berlaku bagi iklan dan tayangan film lainnya yang
menggunakan ikon hantu.
Iklan
tersebut diperankan wanita berbusana putih dengan wajah tertutup rambut
panjang mirip hantu kuntilanak, produk iklan XL dikeluhkan banyak
pihak. Iklan tersebut tidak mendidik dan dinilai dapat merusak mental
anak-anak. Apalagi iklan tersebut ditayangkan televisi hampir setiap
jam. tayangan hantu perempuan dalam iklan XL membuat takut anak-anak. Apalagi, tayangan iklan XL versi Kuntilanak dilakukan secara rutin dan berkali-kali, khususnya di televisi-televisi nasional.
Di
lain pihak, sebagai respon dari tayangan iklan, biro iklan Pengiklan
atau perusahaan pengiklan sebaiknya menghormati pandangan dan masukan
dari masyarakat agar iklan hantu XL dihentikan. Jika tidak dihentikan, produk lain akan menyusul membuat iklan serupa.
Untuk memutuskan keberlanjutan iklan tersebut memerlukan prosedur
teknis termasuk kontrak “placement” dengan stasiun televisi yang
menayangkan iklan tersebut. Hal itu memerlukan waktu memprosesnya. Tapi, terlepas dari itu semua, pihak pengiklan sama sekali tidak memiliki maksud merusak generasi muda termasuk mental anak melalui penayangan iklan hantu tersebut.
D. Kartu AS versi Dongeng Putri Salju dan 7 Kurcaci
Kartu AS versi Kurcaci" yang
jadi lucunya iklan ini menceritakan dongeng putri salju dan 7 kurcaci,
si putri salju tiba-tiba pingsan saat selesai berteleponan lalu putri
salju mengatakan sebelum dia pingsan "MAHAL". Sang pangeran datang
sambil bernyanyi dengan menunggangi kuda, si pangeran mengatakan
"SEMUANYA TENANG ADA AKU. KESURUPAN SETAN MAHAL TUH!".SADARIN PAKE KARTU
AS. NELFON NOL RUPIAH PAGI, SIANG, DAN MALEM. GRATIS FACEBOOK DAN
CHATTING SEPUASNYA + GRATIS RIBUAN SMS KE SEMUA OPERATOR. DIJAMIN
GARIBET, GAK NAKUT-NAKUTIN”
Lalu
putri salju sadar setelah dia mencium KARTU AS dari sang pangeran,
akhir ceritanya tiba-tiba setan kuntilanak jatuh dari pohon, salah satu
personil Smash yang jadi 7 kurcaci mengatakan "TANTE SALAH LOKASI YA?"
Iklan Kartu AS versi “Dongeng
Putri Salju dan 7 Kurcaci” hadir dalam tayangan iklan pariwara di
televisi nasional sebagai balasan dari Iklan operator XL versi
“Kuntilanak Korban Ketagihan SMS”. Garis besar cerita tidak jauh dari
dongeng putri salju yang beredar di masyarakat. Jika dalam dengeng,
Putri Salju mati atau pingsan karena racun yang diberikan oleh penyihir
tua, dalam iklan Kartu As ini putri salju pingsan karena telefon mahal.
Kemudian sang pangeran (Sule) tidak memberikan ciuman bibir untuk
membuat Putri Salju siuman, tapi kartu perdana As yang diacungkan. Dalam
adegan ini ada adegan sindiran yang dilakukan Sule, yaitu tuturan
“..Kesurupan Setan Mahal” dan “Gak nakut-nakutin” Siapapun yang melihat
iklan tersebut, tentu akan menuju pada iklan XL versi “Kuntilanak Korban
Ketagihan SMS”. Sindiran yang lain adalah ketika di akhir iklan, ada
sosok perempuan mirip kuntilanak kesiangan jatuh di atas kuda Pangeran
Sule. Dengan kompak 7 kurcaci mengatakan "TANTE SALAH LOKASI YA?" “Tante
Kunti” untuk sebutan hantu Kuntilanak. Iklan Kartu As menyindir XL yang
menampilkan iklan Kuntilanak pada siang hari yang tentu saja tidak logis dan terkesan menakut-nakuti orang yang melihatnya.
Iklan Kartu AS versi “Dongeng
Putri Salju dan 7 Kurcaci” tidak menjadi kontroversi di masyarakat
karena tidak bersinggungan dengan norma kesopanan, adat istiadat
ataupunbudaya lokal. Kontroversi tersebut sebaats pada bahasa iklan yang
digunakan. Kalimat
yang dilontarkan oleh Sule dan Sm*sh yang tentunya sesuai dengan script
ternyata menuai kontroversial. Kalimat yang menjelek-jelekkan provider
lainnya sangat tidak professional dalam persaingan sehat. Oleh karena
itu, apabila kita kita ingin membuat ilan, setidaknya kita dapat
menengok kembali hal-hal apa saja yang bisa menciptakan iklan kita
bermutu baik.
Bahasa
iklan disampaikan dengan lugas. Kata yang digunakan dalam iklan
merupakan tuturan lisan nonbaku. Tidak ada kohesi dalam kalimat dari
wacana iklan”. Koherensi antarkalimat dapat ditemui dalam wacana iklan
ini. Kalimat-kalimat disajikan secara berurutan dan bertalian satu sama
lain. Hubungan
tersebut kadang terjadi melalui alat bantu kohesi, namun kadang-kadang
terjadi tanpa bantuan alat kohesi. Secara keseluruhan hubungan makna
yang bersifat koheren menjadi bagian dari organisasi semantis. Dengan kata lain, koherensi merupakan bagian dari suatu wacana, sebagai organisasi semantik, wadah gagasan yang disusun dalam urutan yang logis untuk mencapai maksud dan tuturan yang tepat.
Inilah
perang nyata dalam dunia bisnis operator seluler. Setiap operator
seluler berlomba-lomba menurunkan tarif, sms gratis, telefon gratis,
internet murah, dan lain-lain. Beberapa provider melakukannya secara
terang-terangan, saling lempar sahut-sahutan iklan. Sisi positif pihak
provider XL tidak merespons iklan-iklan tersebut secara berlebihan
seperti halnya Telkomsel. Selama ini, iklan XL dianggap mencerminkan
pemasaran yang bagus dengan mengedepankan fitur layanan dan tidak
membalas iklan-iklan Telkomsel yang jelas-jelas menghina produk mereka.
XL tetap tidak bergeming menghadapi goncangan dan lancaran cemoohan dari
Kartu AS. Xl secara terus-menerus dihina oleh iklan-iklan Telkomsel.
Jika perusahaan operator XL membalas iklan-iklan Telkomsel dengan iklan
yang serupa, tentu pihak Telkomsel akan membuat iklan yang jauh lebih
tidak beretika dari sebelumnya.
Dari
beberapa iklan yang tayang dan beredar di media, terkesan bahwa yang
melakukan serangan balasan adalah Kartu As dari Telkomsel. Persaingan
keduanya terlihat sedikit memanas, sampai berujung pada perang iklan yang tidak sehat.
Keduanya saling ngejek dan saling nyindir melalui iklan iklan-iklan
yang mereka buat. Perang tarif dan perang iklan tidak sehat seperti ini,
sebenarnya sudah lama terjadi, tidak hanya XL vs AS Telkomsel, tapi melibatkan hampir semua operator seluler.
Iklan
sudah menjadi bagian hidup. Hal itu sudah tidak dapat di pungkiri.
Iklan pun telah memberikan penghidupan bagi berbagai sektor, baik secara
langsung maupun tidak. Mulai dari jasa advertising, percetakan, media,
aktor/aktris yang menjadi bintang iklan dan masih banyak bidang lain
yang mengeruk keuntungan. Iklan dibuat dan ditayangkan tidak untuk
merusak, hal itu adalah proses kreatif. Iklan sebagai proses kreatif
dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Namun, cara berkomunikasi
tersebut kerap dan bisa saja diterima atau dipersepsikan berbeda-beda
oleh berbagai pihak.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, di bawah ini akan disampaikan kesimpulan, yaitu:
1. Bentuk pilihan kata, kohesi dan koherensi serta unsur gramatikal
yang muncul dalam wacana iklan operator seluler (IM3 vs XL) adalah
termasuk ragam tak baku. Bahasa iklan meniru dari kompititor yang
mengunggulkan tarif telefon murah, yaitu XL. Operator X L sebelumnya
menggunakan “Beneran murahnya. Nelpon Rp 25/menit dari menit pertama”. Koherensi
antarkalimat dapat ditemui dalam wacana iklan ini. Kalimat-kalimat
disajikan secara berurutan dan bertalian satu sama lain.
2. Terdapat makna kontekstual yang terkandung dalam pilihan kata wacana iklan berbahasa Indonesia dalam iklan operator seluler (IM3 vs XL) dan setiap
bahasa yang disampaikan dalam slogan operator selular tersebut sehingga
setiap pilihan kata yang dipakai oleh perusahaan penyedia jasa operator
selular, memiliki makna yang ingin disampaikan dan mencerminkan
karakter dari setiap perusahaan jasa operator selular. Oleh sebab itu,
dengan semakin beragamnya operator seluler yang ada di Indonesia
menimbulkan persaingan guna mendapatkan hati penggunanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik. 2006. Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing.
Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama
Cutting, Joan. 2002. Pragmatics and Discourse. London & New York: Routledge.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS
Ferry Darmawan. 2005. “Posmodernisme Kode Visual dalam Iklan Komersial”. Jurnal Komunikasi Mediator..
Halliday, M.A.K, and Ruqaiya Hasan, 1989. Language, Context, and Text: Aspect of Language in a Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University
Hasan Alwi. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka.
Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Philips. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lukmana dan E. Aminuddin Aziz dan Dede Kosasih. 2006. Linguistik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mey, Jacob L. 2001. Pragmatics: An Introduction. Australia: Blackwell Publishing.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana
Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Renkema, Jan. 1993. Discourse Studies: An Introduction Textbook. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.
Siminto. 2004. “Analisis Wacana Iklan Televisi Royko Rasa Terasi” dalam Sumarlan, Agnes Adhani dan Indratmo. 2004. Analisis Wacana. Bandung: Pakar Raya
Sumarlam. 2009. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Karya.
Tengku Silvana Sinar. 2008. Teori dan Analisis Wacana : Pendekatan Sistematik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.
Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Yasraf Amir Piliang. 1995. Jurnal Seni Rupa. Volume I/95, hal.27.
Yayat Sudaryat. 2008. Makna dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya